Biar Kata-kata Itu Mengalir
Biar kata-kata itu mengalir di sungai geram
Menjelma sajak-sajak kelam
Menabrak batu kesewenang-wenangan
Pelarung deras kritik yang sembunyi di balik meja rapat
dan tubuh kelas yang retak
Secangkir Kopi Paling Seksi
Pagi ini kopi rasa musik jazz
Kepul tanggal tua
Dansa telanjang dada
Liuk utang-utang sintal di pangkal lidah
Menyesap kopi paling seksi
Jam kerja tua renta
Gerayang pekat dedak-dedak gaji
Menanti perayaan awal bulan yang singkat
Matahari Terbit
Di Suryalaya
Matahari terbit dari pusar
menyusur ke sekat-sekat dada
Dalam pejam adalah seorang kembara
mengharap bertemu paras-Mu yang kekal
Gema tahlil menjuak ke angkasa
Hela nafas bersama cahaya menyuruk
ke dalam batinmu dan batinku
Di bawah matahari terbit
Embun pagi membubuk nafsu-nafsu sekeras batu
Melarung hasrat yang aku adalah aku
Menyemai mesti yang aku adalah milik-Mu.
Aku dan Musim yag Kian Cemas
Matamu semburat cahaya bulan
di atas kemarau
Menikam tanah retak
di ladang ketabahan
Menatap dahan-dahan pertobatan
yang kering
Dalam rindang aku mengangin
Menuju ke Barat
Berkilah pada rimbun syukur
Dan kembang-kembang yang arif
Aku dan musim yang kini kian cemas
Di tempat yang jauh
Memekik ke arahmu
Menanti pengampunan walau titis
Di Malam Kabut
Di jalan ikrar yang mengabut
Arah hilang ditelan ragu memagut
Kita melangkah pelan
Dicampakkan waktu
Aku dan daun basah yang menunggu
terang pagi
sedang kau adalah embus angin
Impian makin samar
Gadis Belia
Di ruang kelas yang senja
Tersimpan senyum gadis belia
dengan kursi dan meja
yang terpaut jauh usia
Di ruang kelas yang muram
Di antara dinding kusam
Kau memancar bibir manis
Berlapis gintu tipis
Di ruang kelas yang resah
Terpancang tiang penuh iba
Aku menopang dagu dalam tegun
Memandang tekun, gadis belia anggun
Di Hampar Ladang Ini
Kita tak mesti menjadi musim semi
Tak pernah ada yang dituai
Selain kepalsuan
yang rekahnya tak kekal
Kita telah dikelabui
Saling menuding siapa yang enggan
menanam belas kasih
Di hampar ladang ini
Kita yang tak fasih
Membaca cuaca dalam diri
Terburu-buru menyemai prasangka
Para Pelancong
Kami yang tak lekang menghitung jarak
Antara kelalaian dan batas pengampunan
Adalah para pelancong
Berjalan di tamanmu yang suci
Memetik kembang sabdamu
Di taman ini, apakah kita akan tertemu?
Masih tak terlihat pendar rupamu
Di matamu, mungkinkah kami
hanya mungkar yang mengabu
Terembus angin
Di tamanmu yang hilang tepi
Kamilah, para pelancong
Yang tak ingin hilang arah
Mendekatlah!
Mari Kita Berbincang
Andai kau di waktu senggang
Aku ingin banyak berbincang
Di tempat sunyi
Antara kau dan aku yang mengaduh
Sebab kau umpama beringin:
Dalam diam menebar teduh
Abai pada ulat-ulat kuasa
Di dalam sebuah pertanyaan:
Apakah kau pernah sangsi
Pada seri berukir duri
Atau lautan khianat berbalut khidmat?
Apakah kau hanya sibuk menalar
Lubuk batin dan langit yang arif?
Dalam tatap berteman ratap
Membayang kau yang tak pernah risau
Tentang Kita, Keadian, Dan Kekuasaan
Di luar, orang-orang berdemontrasi, kekasih
Desahmu bercampur pekik di jalanan
Perihal kekuasaan yang telanjang dada
Menanggalkan zirah keadilan
Kau bertanya, “Apa yang kau tahu tentang
keadilan dan kekuasaan?”
Seumpama di kamar kita
Remang lampu itu keadilan
Sinarnya surut, nyaris sirna
Aku menduga kekuasaan
Seindah buah dadamu
Sukar berjarak dari cengkraman
Perjuangan Belum Pupus
Jika api tak padam pada kita
Saat dingin menjarah muka
Berarti juang masih menyala
Kala gila zaman kerap mendera
Pantang dirundung gelap petang
Kita mesti menjelma kerlip bintang
Menjadi corak di langit lengang
Cahaya negri kian diberangus
Kita berjalan terus
Serupa waktu yang lurus
Perjuangan belum pupus
Tepi Laut Matamu
Ombak pasang-surut di tepi laut
adalah aku yang datang dan pergi
dengan kebimbangan
Bibirmu rona pasir
Aku melihat hampar jejak seorang pria
Kau karang berpeluk lengan ombak
Langkahku terantuk, memar-luka
Angin menghembus aku
Ke pulau yang jauh
Dari tepi laut matamu
Jaga, Jagalah Tanah Airmu
Jika kau bertanya: “Apa yang bisa kuberikan
saat ini untuk menebus kisah masa lalu?”
Mari kita berbincang lewat lembar buku
Tak perlu menaruh dendam di ujung peluru
atau menghunus amarah di runcing bambu
Jaga, jagalah tanah airmu
Jangan sampai terpecah belah
Eratkan dengan tali bahasa ibu
Saat ini kau adalah pengendara waktu
Membawa seberkas harapan bangsamu
Jadi, jadilah pahlawan tanapa senapan
Terpancang di garis depan
Berperang dengan berjuta wawasan
Jadi, jadilah sekuat besi
Bukan kapas rentan dilalap api
Mengunjungi Dermagamu
Perahu bersandar di dermaga
Adalah aku yang tiba di pangkuanmu
Membawa resah yang membongkah
Padamu aku berkisah
Tentang angin malam yang membawaku
ke lautan nestapa
Di dermaga itu kudengar senandung rindu
Dari lubuk dadamu pada sang Maha Tahu
Aku ingin menetap di dermagamu
Mengasinkan badai nafsu yang memburu
Rahasia Malam
Daku bercermin pada pergantian
siang-malam
Usai hari benderang mata langit mulai pejam
Ke kamar ini udara dingin datang
Memeluk daku di waktu senggang
Gigil bertaut kegelisahan
Pada pertemuan yang diburu waktu
Kau yang lugu dan bermata sayu
Menelan kata demi kata
Entah tahkik ataukah dusta
Daku yang menimbun beribu rahasia
Di dalam gulita, di punggung mega-mega
Burung Merpati
Pucuk pagar yang ditinggalkan merpati
Masa kecil dicengkeraman kaki
Melayang terbawa ke langit
Menjauh dari tubuh seorang laki-laki
Akankah masa itu kembali
Hinggap di beranda yang sepi
Membawa girang pada hati
Sebab sesak dililit dengki
Di kepak sayap burung merpati
Adalah kedamaian terbang tinggi
Kumenanti ia kembali
Singgah di beranda hati yang sepi
Setegar Bumi
Katanya negri kita adalah paru-paru bumi
Sementara segerombol pohon dimamah api
Di sisa-sisa tanah yang angus
Aku menatap harap seorang guru
yang diberangus
Pembalakan di mana-mana, Borneo, Papua
dan rindang haknya
Mungkinkah tanah itu
Dataran yang dilubangi kerakusan
Adalah tubuh seorang guru
Pikiran dan tenaga
Bagai hampar emas yang tertanam
Dikeruk mata bengis, seolah tak berdosa
Namun, kau setegar bumi
Menjadi pijakan segunung mimpi
Masa Yang Gesa
Aku menjengkal sisa usia, di hadapan cermin
Dari rambut putih yang tergerai
Berjatuhan bagai hujan
Di seberang jendela
Serupa akar urat-urat menjalar
Namun, masa adalah sebaliknya
Mengutuk diri menjadi hari
Tanpa musim selain semi
Bagai seorang belia menolak tua
Seumpama taman
Masa adalah anak kecil berlari tak kenal henti
Sementara aku pohon renta di tengahnya
Memandang kaku
Namun puisi adalah kebalikannya
Walau aku terhuyung menyusuri makna
Ia lebih setia dari masa yang gesa
Di Ladang Keningmu
Biarkan rerumput tumbuh di keningmu
Jadi ladang penggembala
Datang menggiring kecupan
Jadi tempat rebah kita yang lelah dibuntuti rekah zaman
Langit terbentang di matamu
Bercorak burung-burung terbang
Kembali ke sarang
Di antara waktu menjelma awan
Bergegas di langit senggang
Saat jemari langit menjentik
Siang jadi malam
Terang jadi muram
kau tetap asri semerbak puisi
Tertanam beribu arti
Di Rimba Tubuhmu
Kita menari di sulur waktu
Menampik terpa angin dan deras zaman
Aku menjelma akar
mencengkeram liuk tubuhmu
Di antara pohon menjulang cinta terbilang
Kata yang mengembun di tubuhku
Menjadi puisi di tengah belantara
Tanah bersimbah resah itu keningmu
Sementara aku bagai telapak cahaya
Melumas puisi hangat ke tubuhmu
Dalam rimba
Saat rimbun menghadang mata bulan
Rerumput itu menari
Menerbangkan puisi
Serupa kunang-kunang mengitarimu yang sepi
Cinta Gelandangan
Kau adalah lebam di ingar bingar kota
Dipupuri cinta sepasang kekasih
dan taman-taman perayaan
kau tak lebih dikenal
daripada nama kedai kopi dan pusat belanja
Punya rindu kah, kau?
Atau berandai seseorang menjadi cahaya
di lorong-lorong gelap
menyuruk ke tempat ringkuk nasib
aku yang menafsir cinta
serupa jalan raya yang rela
di setiap akhir pekan
begitukah, kau?
Di Kota Ini
Akhir pekan di kota ini
Di alun-alun angin mengalun
Ironi menyambangi setiap manusia
Meminta selembar harapan
Saat langit sembunyikan bulan
Sepi berjatuhan di jalanan
Namun itu saatnya
Ia bertekuk tangan
Walau di tempat yang jauh
Lautan memadu
Gedung-gedung melagu
Sebab rindu, kita kembali
Barangkali sebab cinta
Kita rela datang ke tempat yang sama