Darasastra: Membahas Puisi-Puisi Karya Yusuf Mohammad Kustiana

10/12/2024

 

PUISI-PUISI

YUSUF MOHAMMAD KUSTIANA

 

MELIHATMU

Melihat pipimu
Aku ingat pada bantal yang menerima tangisku
Melihat kerut di dekat matamu
Aku ingat pada selimut yang sabar memeluk kesedihanku
Melihat matamu
Aku ingat bahwa aku memiliki rumah untuk pulang

Melihat bibirmu
Aku ingat pada tirai jendela kaca yang setiap pagi ingin aku buka, terang dan panas yang mendatangiku membuat seolah aku baru terlahir kembali

 

MATA YANG LAYAKNYA

Dalam semoga;
Kelak kau akan berjumpa
Dengan mata yang tenang

Mata  layaknya lautan
Yang membuka jalan
Bagai nabi Musa dan umatnya
Dari kejaran Firaun dan tentaranya

Mata layaknya lautan
Yang menenggelamkan Firaun dan tentaranya
Pun segala ketakutan dan keangkuhan

Kita dan kata hanya selembar daun di sakit perut Nabi Musa

Sampai malaikat Jibril datang;
“Wahai Nabi Musa, daun itu tidaklah dapat menyembuhkan sakit perutmu, yang menyembuhkan sakitmu adalah Allah, maka bermunajatlah kepada-Nya, memohon ampunlah kepada-Nya atas kekeliruanmu ini”.

 

ZIARAH

Kepada bibirmu
Aku berziarah kepada kening yang hidup kenang
Aku berdoa dengan gelap yang berharap melihat terang

Setelah itu aku senang berziarah
Sebab saat dunia menggodaku untuk berpaling
Berziarah membuat aku ingat untuk pulang

 

PANGANDARAN

Apakah Tuhan menciptakan matamu berbarengan dengan laut Pangandaran?
Tubuhku selalu dibawa kembali ke Pangandaran
Dan aku senang memotret setiap sudutnya
Sebab akan aku abadikan bagaimana pertama kali aku jatuh cinta kepada laut

 

LALU LALANG

Tidak semua air mata yang berlinang adalah nyanyian sumbang, ia bisa jadi berkat dari Yang Maha Sayang.

Kau bilang “untuk apa terus berlalu lalang?, mending di sini menabung kekayaan.”

Tapi jika itu bicara soal uang, aku sedang membeli ulang tempat-tempat yang pernah dijarah dalam tubuhku, aku sedang membangun ruang dari reruntuhan yang pernah di ledakan penjajah berwajah kemewahan.

 

TUBUH DAN HUJAN

Sesekali
Aku pun ingin menjadi hujan yang menepikanmu dari buru-buru, yang menemani air matamu bermain perosotan di pipimu.

Sampai tubuhmu memilih hari liburnya dari padatnya tugas-tugas, dari kemacetan dan kebanjiran yang mulai menjadi penduduk tetap kota ini.

Kita butuh cuti dari tubuh yang sudah banyak lebam serta demam yang sesekali di iringi dendam.

 

RUANG ARSIP

Setelah pertemuan itu aku mulai curiga
Jika tubuhmu menyimpan banyak arsip rahasia negeri ini

Meski beberapa arsip telah aku baca dari seorang pedagang gorengan, kupat tahu,dan  nasi kuning, sebagai bungkus yang menjadi teman obrolan.

Tapi tubuhmu juga masih memiliki ruang yang sengaja kau kosongkan, entah untuk kesendirianmu atau kepulanganku. 

 

PINTU PULANG

Aku melihat Tuhan bersemayam di matamu
Sesekali Dia tersenyum
Karena aku diam-diam melirik matamu

Ternyata matamu yang memancarkan terang
Terdapat malaikat penjaga pintu pulang
“Bagi siapa pun yang hanya memberi malang
Jangan berani datang.”

Sebab itu mataku yang berdosa sering-sering berdoa

 

PADA MATAKU

Jangan menatap mataku
Seolah kau sudah mengenaliku
Mataku adalah hutan terlarang
Di mana aku sendiri pun sering tersesat
Bahkan hampir-hampir aku mati tenggelam di danau kesedihan
Kau mungkin bisa melihat rindangnya pepohonan
Terlebih ketika jemari matahari memeluknya

Tapi apa yang akan kau lakukan ketika bertemu binatang buas di dalamnya?

 

SAMUDRA KEMUNGKINAN

Selepas badai yang menerjang, aku tenggelamkan diri pada samudra kemungkinan, pada ombak yang tidak tahu akan ke mana tubuhku dibawanya.

Kemarin langit sore tidak berjumpa dengan hujan, aku kubur semua puisi di jantung hati, entah siapa yang akan datang:antara seorang peziarah atau seorang penjarah.

Akan aku ajak langit malam datang ke kamarku, biar dia membaca segala ingatan, nota-nota yang telah aku bayar dari ketidakberhasilan yang selalu ibu tanyakan; “untuk apa?.”

 

 

 

"PUISI-PUISI BAIK HATI PUNYA KANG YUSUF"

OLEH INDRA RAHAYU

 

Baik hati atau berbudi baik, biasa ditemukan pada sosok atau seseorang yang memberikan kenyamanan, perhatian, dan ketulusan. Beruntunglah siapa pun yang masih dikerumuni orang-orang dengan sifat tersebut ... selain pada manusia, ditemukan juga pada puisi-puisi yang ditulis oleh Kang Yusuf. Banyak cara si baik hati untuk menyenangkan orang lain. Dua hal yang tersorot yaitu, tak perlu kita susah payah memahami, sebab keterbukaannya dan merelakan waktunya untuk jadi kawan bincang, bahkan mencurahkan rasa. 

Saya menduga penulis menjadikan kawannya untuk berbincang, menyandarkan segala keluh kesah pun rasa bahagia. Mereka begitu dekat. Saya pun menduga puisinya menerima dengan suka hati, dan penuh kepasrahan. 

Selain baik hati bagi penulis, puisi-puisi ini pun baik hati pada pembaca. Sampai-sampai saya yang biasa menggaruk-garuk kepala kala membaca puisi, tetapi ketika membaca puisi Kang Yusuf, itu tidak terjadi.  Senang bukan main, membaca puisi-puisi ini saya merasa kembali muda. Bukan belantara yang saya alami, tetapi taman bermain dengan wahana yang dicoba satu per satu. 

Melihat pipimu
Aku ingat pada bantal yang menerima tangisku
Melihat kerut di dekat matamu
Aku ingat pada selimut yang sabar memeluk kesedihanku
Melihat matamu
Aku ingat bahwa aku memiliki rumah untuk pulang

(Melihatmu)

Pada puisi tersebut tertemu diksi bantal, ini cukup representatif dalam konteks kehidupan remaja. Ketika di kamar dan tetiba ‘sakit’ itu terasa. Apa pun penyebabnya, bantal adalah tempat sembunyi mata yang sembab. Ada bantal dan selimut, gemes banget, kan? Walau bernuansa melankolis, tetapi saya tidak merasakan itu. Saya lebih terbawa oleh suasana yang gemas. 

Lemparlah puisi ini ke sosial media, niscaya akan jadi bunga-bunga pohon yang banyak dipetik netizen. Puisi ini memiliki kemampuan bersaing yang tinggi jika dibandingkan dengan kata-kata bijak ‘Tiktok’.

Terlepas dari perihal hubungan dengan manusia, penulis pun becerita pada puisinya tentang hubungannya dengan Tuhan. Seperti pada penggalan puisi berikut.


Kita dan kata hanya selembar daun di sakit perut Nabi Musa

Sampai malaikat Jibril datang;
“Wahai Nabi Musa, daun itu tidaklah dapat 
menyembuhkan sakit perutmu, yang menyembuhkan 
sakitmu adalah Allah, maka bermunajatlah kepada-Nya, 
memohon ampunlah kepada-Nya atas kekeliruanmu ini”.

(Mata Yang Layaknya)

Saya meyakini Kang Yusuf punya ranting informasi yang rimbun dalam literatur keagamaan. Ini bisa menjadi ciri khas bagi penulis. Dengan mengimplikasikan sepotong kisah dalam sebuah puisi, ini menjadi hal menarik yang saya temukan. 

Masih sangat banyak akar ide yang saya rasa masih disimpan oleh Kang Yusuf. Pada puisi-puisi yang saya baca, mungkin ini belum separuhnya. Saya sangat menantikan karya baru dari Kang Yusuf.