Agalmatophilia
Di sebuah desa yang tenang, hiduplah seorang pengrajin patung bernama Kanta. Ia mengerjakan berbagai macam patung dari lilin. Hasil karyanya sangat indah sehingga ia segera menjadi seorang seniman yang terkenal sampai ke ibukota. Sering kali ia dipanggil ke istana untuk membuat patung lilin permaisuri dan raja, serta beberapa anggota kerajaan lainnya. Kanta dihadiahi banyak uang emas. Meski demikian ia selalu hidup sederhana. Ia menggunakan uang yang berlimpah itu untuk membantu warga desanya. Seluruh warga sangat menghormati Kanta dan menyukainya.
Kanta yang memiliki paras tampan dengan bakat luar biasa dan karakter hebat yang dimilikinya, entah mengapa ia tidak kunjung memilih seorang gadis untuk menjadi istrinya. Setiap gadis yang jatuh cinta padanya, demikian pula para orang tua yang berebut memintanya untuk dijadikan menantu, selalu ia tolak dengan halus. Kanta seolah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk membuat patung tanpa memedulikan dirinya sendiri.
Malam itu Kanta baru menyelesaikan pesanan patung dari kerajaan. Sebuah patung lilin miniatur Sang Raja yang sedang memegang panah berburu menunggangi kuda yang gagah. Patung indah setinggi satu setengah meter itu rencananya akan disimpan di atas meja pualam di ruang baca pribadi Sang Raja. Setelah membereskan ruang kerjanya, Kanta bergegas menuju ke kamarnya. Meski kelelahan namun matanya memancarkan semangat menggebu.
Ia menggeser pintu kamarnya, satu-satunya ruang di rumahnya yang dipasanginya daun pintu. Sebuah patung seukuran manusia berdiri di pojok ruang kamar, bersebelahan dengan tempat tidurnya. Patung itu belum selesai dibuat. Kedua bagian lengannya yang terulur terbuka dengan posisi seolah hendak memeluk dan bahunya belum sempurna benar. Bagian kepala yang dibuat agak condong ke kanan dan wajahnya masih dipahat samar. Meski belum jelas sosoknya, secara keseluruhan bentuk manusia itu mirip perempuan, atau jika pun menjadi patung pria, maka pastilah seorang pria yang cantik dengan garis wajah dan lekuk halus pada otot tubuh dan bentuk yang ramping seperti wanita.
Kanta mendekati patung itu. Ia mengelusnya dengan hati-hati dan tatapan penuh cinta memancar dari kedua mata Kanta. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah patung itu, “Kau adalah karya dan obsesi terbesarku. Kau adalah kesempurnaan yang akan tercipta.” Bisik Kanta di telinga patung itu. Ia menyentuh dan mengecup lembut lekuk belum sempurna bibir patung itu. “Malam ini, aku akan membentuk riak rambutmu.” Gumam Kanta, “Lalu aku akan memberimu nama yang indah, Samara.” Ia mulai mempersiapkan peralatannya dan bekerja, tak terasa hingga lewat tengah malam. Saat tidur Kanta mimpi bercinta dengan Samara.
*
Tiga hari kemudian seorang utusan kerajaan datang ke rumah Kanta dan memberitahukan bahwa untuk menjemput patung raja yang tengah berburu itu, minggu depan Sang Raja sendiri yang akan datang ke tempat Kanta. Sambil berlutut dan menundukkan kepala di hadapan utusan yang membacakan pesan raja, jantung Kanta terasa lepas. Sang Raja akan ke rumahku. Perasaannya bercampur aduk antara tegang, kaget, gembira dan bangga luar biasa. Dia menyadari keistimewaannya karena tidak sembarangan seorang raja sudi mendatangi rumah rakyat jelata. Bahkan ia berani bertaruh, tak ada satu pun pejabat istana atau bangsawan yang pernah dikunjungi oleh raja.
Minggu depan, Samara sayangku. Kanta menatap patung di samping tempat tidurnya. Sang Raja akan datang ke rumahku. Bukankah itu suatu kehormatan tertinggi bagi seorang rakyat jelata? Kanta senang dan bersemangat sekali, seharian ini ia membersihkan rumah dan menata seluruh ruangan.
Kanta mengusap lembut wajah patung yang diberi nama Samara, yang telah ia selesaikan sedikit demi sedikit. Wajah yang cantik, dengan rambut sebahu yang beriak. Kanta tampak sangat menggilai hasil karyanya itu. Ia melanjutkan pekerjaannya mengukir lekuk pada lipatan pakaian patungnya. Kanta tidak membentuk rok atau gaun, namun membuat jubah pakaian dan celana pria untuk patungnya meski wajah patung itu sangat cantik seperti wanita. Kanta mengerjakan patungnya seperti biasa sampai lewat tengah malam, dan ia jatuh tertidur memeluk kaki patung Samara di lantai. Mata indah patung yang telah selesai diukir tengah menatap kosong ke depan.
*
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba! Seluruh desa terkaget-kaget dengan kedatangan rombongan Sang Raja. Kepala desa bahkan hampir pingsan menatap tandu kerajaan yang lewat di depan rumahnya. Ada dua tandu yang beriringan, Sang Raja dan Permaisuri.
Begitu iring-iringan tiba di depan rumah Kanta, sang tuan rumah langsung tersungkur di halaman menyambut Sang Raja.
“Hahahaha, sudahlah tidak perlu bersikap sungkan, kita ini teman lama, Kanta.” Kata raja mempersilakan Kanta berdiri.
“Yang Mulia, ini kehormatan yang sangat tidak pantas hamba terima.”
Kanta mempersilakan rombongan menuju rumahnya, “Maafkan hamba yang tak punya tempat yang layak untuk Yang Mulia.”
“Tak apa, aku paham. Aku ingin melihat karya-karyamu secara langsung.”
Kanta mengajak Sang Raja dan Permaisuri ke ruang tengah rumahnya dan memperlihatkan patung pesanan raja. Suara decak kagum tak henti terdengar dari rombongan kerajaan. Demikian pula Sang Raja yang tak henti mengelus patung dirinya itu.
“Aswi!” seru raja.
Seorang pria setengah baya membungkuk hormat. “Hamba, Yang Mulia.”
“Berikan dua kantung uang emas pada Kanta. Aku sangat menyukai karyanya ini. Begitu gagah dan mewah, sangat cocok untuk ruang baca di istana.”
“Terima kasih, Yang Mulia.” Kanta segera membungkuk. Hatinya gembira sekali raja menyukai karyanya.
“Kanta, aku ingin melihat ruang di mana kau ciptakan karya-karya luar biasa itu!” Sang Raja menepuk pundak Kanta.
“Mari saya antar, Yang Mulia.” Kanta berjalan melewati pintu kamar dan berbelok menuju ruang kerjanya.
“Tunggu!” raja menghentikan langkah semua orang.
“Kanta, aku sungguh merasa penasaran, di rumahmu hanya ruang itu yang ada daun pintunya. Aku ingin tahu ruang apakah itu?” Sang Raja menunjuk ke arah pintu kamar Kanta.
Dengan jantung berdebar, Kanta menunduk di hadapan raja, “Yang Mulia sa..sangat cermat. Itu kamar tidur hamba, Yang Mulia.”
“Kau tinggal sendirian di rumah ini, untuk apa memasang daun pintu di kamarmu?” raja masih terus menyelidik. Kanta terkesiap.
“Karena...hamba... karena itu ruang pribadi hamba, Yang Mulia...”
“Benar, ruang pribadi seorang seniman! Aku ingin melihatnya, jangan-jangan kau menyembunyikan karya paling indah di dalam situ.”
“Tidak!” belum sempat Kanta menghalangi Sang Raja, pintu sudah digeser terbuka oleh raja dan betapa terkejutnya raja begitu langsung berhadapan dengan patung maha indah yang berdiri di samping tempat tidur Kanta.
“Ohhhh!!” suara tertahan sekerumunan orang pun terdengar begitu mereka melihat patung Samara. Sang Raja terbelalak tak berkedip. Sang Permaisuri tak kalah terpesona. Ia menangkup kedua tangan di mulutnya.
“In...indah sekali..” suara Sang Raja bergetar.
“Itu...sebenarnya itu bukan untuk publik, itu...” Kanta berkata terpatah.
“Berapa harganya?” tanya Sang Raja, bergeming menatap patung Samara.
“Patung itu tidak hamba jual, Yang Mulia.” Jantung Kanta berdetak makin kencang. Ia merasakan firasat buruk bakal terjadi.
“Berapa harga yang kau inginkan, sebutkan!” kata raja dengan kalimat tegas.
Kanta gemetar tersungkur di kaki Sang Raja, “Hamba...hamba tidak menjualnya, itu karya pribadi yang hanya....”
“Aku menginginkannya!” raja memotong kalimat Kanta, “Aku nyatakan semua pesanan yang pernah kupesan dan yang akan kupesan, akan kubayar seluruh harganya 10 kali lipat demi patung ini!” seru Sang Raja.
Seluruh negeri mengerti benar bahwa perkataan raja adalah undang-undang. Bagi mereka yang membangkang itu berarti hukuman mati.
Keheningan menyelimuti seluruh ruangan selama beberapa saat. Bahu Kanta bergetar.
“Baiklah..” Kanta menatap nanar, ia berdiri dari lantai. Ia melangkah gontai dan mengangkat Samara ke hadapan raja.
“Luar biasa, luar biasaa!” Raja bertepuk tangan dan mengangguk-angguk. Lalu menyentuh tiap senti patung itu, mengagumi tiap lekuk tubuh Samara. Hati Kanta terasa perih teriris-iris melihat Samara miliknya disentuh sedemikian rupa oleh orang selain dirinya. Ia mengambil sebilah pahat dengan ujung yang tajam, lalu bergerak mendekati Samara.
“Yang Mulia, patung ini hamba beri nama Samara.” Kanta menorehkan pahat itu di kedua cekungan alis, mata dan bibir Samara, mengerjakan wajah patung itu, sehingga wajah Samara memancarkan raut kesedihan yang mendalam.
“Apa yang kau lakukan?!” geram Sang Raja, “Kau merusak patungnya! Kau merusak wajahnya!”
“Dia memiliki perasaan yang halus, Yang Mulia. Jika dia harus pergi dari sisiku, dia pasti merasa sangat menderita, demikian juga hamba.” Kanta berkata seraya terus bekerja.
“Hentikan!” seru Sang Raja, “Hey! Hentikan orang ini!”
Beberapa ajudan berusaha memegangi kedua tangan Kanta untuk mencegahnya menoreh wajah Samara lebih lanjut. Kanta terkulai, air mata menyembul dari sudut matanya, mengalir perlahan di pipinya. Ia menatap Samara yang juga menunjukkan wajah sedih.
“Kita dipisahkan, Samara. Padahal aku tidak bisa berpisah denganmu. Aku bahkan belum menyelesaikan sentuhan terakhir pada wajahmu.” Kanta tiba-tiba menusukkan ujung pahatnya ke lehernya sendiri. Darah segar dengan segera mengalir. Seluruh isi ruangan itu menjerit kaget dan ngeri. Sang Raja mundur beberapa langkah, khawatir jubahnya terkena noda darah.
Kanta berjalan terhuyung ke arah Samara yang tengah berdiri menatapnya pilu dengan kedua tangan yang terbuka seakan hendak memeluk Kanta. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati, Kanta menjulurkan tangannya yang gemetar dan berlumuran darah. Ia mengoleskan darahnya di bibir Samara.
“Yang ingin kuselesaikan adalah memberi warna merah merona pada bibir indahmu.”
Lalu Kanta ambruk ke lantai.
Samara dengan bibir merah oleh darah Kanta bergeming dengan tangan terbuka dan raut wajah duka mendalam.
ALEXANDREIA WIBAWA, lahir di Tasikmalaya tanggal 12 Agustus pada hari Jumat. Sehari-hari bekerja sebagai Notaris dan PPAT Kota Tasikmalaya.
Hari libur digunakan untuk melamun.
Karya hasil melamun dipajang di Instagram @kuya_ijo .
Ikut lomba cerpen karena butuh uang.
Tulisan yang pernah dipublikasikan :
2005 - “BERONDONG JAGONG” (Pemenang 1 Lomba menulis cerpen kategori umum,
Zona Kreasi Pitimos dan M&C);
- “SELAMAT NATAL, FAJAR” (dimuat dalam rubrik Ranesi, RNW website Radio
Nederland);
2006 - “LABIRIN” (Pemenang Lomba Cerita Thriller Stephen King On Writing, yang
diadakan Penerbit Qanita-MIZAN);
2007 - “HILANG” (10 Besar Nominasi Cerpen Terbaik Balai Bahasa Bandung).
2011 – “KUCING HITAM” (buku kumpulan cerpen diterbitkan melalui Nulisbuku.com)
2018 – “WARUNG GEMERLAP” (Buku kumpulan Cerpen diterbitkan Nulisbuku.com)
2019 – “SUPATA SANGKURIANG” (Novel diterbitkan Langgam Pustaka)
2020 – “SEBOTOL KECIL RACUN” (Antologi Fiksi mini diterbitkan Langgam Pustaka)
2021 - “PERJALANAN” (15 cerpen terpilih dibukukan oleh KONTRAS)
- “AKU TERLIPAT DALAM BUKU” (antologi puisi diterbitkan Langgam Pustaka)