Burhan
Sepulang dari sekolah dengan motor matic yang goyang setangnya. Burhan singgah di warung kopi langganannya. Sambil mengibas-ngibas tangannya ke leher. Matahari terik di atap seng warung. Debu tertiup angin, memutar ke wajah Burhan yang kusut. Burhan mencari empunya warung. Mengibas pandangnya ke seisi ruang. Mungkin ia sedang keluar, pikir Burhan.
Ia duduk dengan lunglai. Keningnya masih kerut, menjalarkan gurat dari tepi ke tepi. Burhan mengipas-ngipas lagi tangannya. Kini di tambah dengan menarik-narik kerah agar angin masuk ke bajunya.
Ponselnya berdering. Ia merogoh saku celananya. Di layar depan, ia lihat laporan pesan masuk dari nomor yang tak ia kenal, menawarkan pinjaman dana besar. Selalu saja pesan seperti ini, gerutu Burhan. Ia membuka menu lain, menyentuh Whatsapp. Tak ada laporan apa pun di sana. Ia tahu, kuota internetnya habis sudah dua hari ke belakang.
Di sekolah, ia diberi amplop untuk honornya sebulan. Amplopnya tak tebal. Hanya ada tiga lembar seratus ribuan. Burhan selalu menarik napas dalam jika mengingat upah yang ia dapat begitu kecil. Namun menjadi seorang pendidik baginya bukan berbicara tentang finansial, namun berbicara kemanusiaan.
“Eh, Kang Burhan keliatan berseri nih di tanggal muda.”
Si empunya warung tiba di punggung Burhan. Senyuman Burhan menuju si empunya warung. Bibirnya tak tulus memberi senyuman sesungguhnya. Ia tahu maksud si empunya warung bicara demikian. Mengingat Burhan sering ngebon mie rebus dan kopi dadak di sana. Dan mungkin Burhan sudah tak ingat sudah makan berapa bungkus selama sebulan ini.
“Kopi hitam biasa, Bi.”
Burhan menyobek sisi amplopnya. Mengambil selembar seratus ribu di sana.
Pikiran Burhan melaju ke segala arah. Ia membagi pikirannya untuk menghitung berapa yang harus ia bayar ke si empu warung. Juga menghitung untuk biaya membeli kuota internet ponselnya, lalu membeli sabun wajah, parfum, dan minyak rambut. Belum lagi pasta gigi dan sebagainya.
Pikirannya pecah mendadak seperti kembang api. Menyadari bahwa uang di amplopnya takkan cukup untuk memenuhi itu semua.
Ibunya di rumah masih dengan harapan yang sama. Selalu berharap Burhan membawa bekal uang untuk makan sebulan. Sebab ayahnya sudah tiada, adiknya sekarang kuliah. Begitu berat beban yang Burhan pikul.
Dari kejauhan, deru motor terdengar semakin keras. Seorang pemuda dengan dus-dus label rokok di jok belakangnya. Ia mememarkirkan motor di halaman warung, lalu membuka helm dan kain penutup wajah.
Burhan menilik wajah pemuda itu. Ia sangat mengenal wajah kawan sesekolahnya. Burhan berdiri menghampirinya. Pemuda itu menatap wajah Burhan agak lama. Seketika tawa menyambar mereka. Jabat tangan dan pelukan singkat menjadi salam pertemuan.
“Sekarang kau jadi guru, ya?” kawannya menggoda dengan menyapu pandang pada seragam Burhan. Burhan menimpali dengan tawanya. “Kau jadi seles rokok.”
Burhan menuntunnya duduk bersama, sambil memesan segelas kopi lagi.
“Wah, Pak Guru sudah subur sekarang. Perutmu mulai berisi.”
Burhan menimpali dengan kembali membumbungkan tawa ke langit-langit warung yang penuh dengan sarang laba-laba yang hitam debu.
“Maaf aku tak datang ke pernikahanmu dulu. Aku tahu di grup Whatsapp kelas. Tapi aku tak bisa meninggalkan sekolah.”
Kawannya merasa tak harus membahasnya. Ia membuka ritsleting jaketnya. Lalu merapikan kemeja di dalamnya.
Angin menyisir leher mereka. Debu jalan kembali memusing, mengantar pada daun-daun di halaman warung yang usik.
“Kau kapan nyusul,” kawannya itu kembali menggoda, “atau memang gak laku?” timpalnya kembali.
“Sepertinya aku belum siap.”
“Siap tidak siap itu hanya alasan. Menikah itu ibadah. Bukan masalah mengumpulkan kesiapan.” ia menyalakan rokok, lalu menyodorkan bungkus rokoknya kepada Burhan. Burhan menggelengkan tanggannya.
“Aduh. Kau saleh sekali.” Ia menyimpan kembali rokoknya ke saku kemeja. “Kau sudah menjadi guru, apalagi coba? Gajimu pasti sudah enak. Kau tinggal menikah, lalu hidup dengan tenang. Guru kan enak, banyak waktu luang. Pulang ke rumah gak malam. Beda sama aku, berangkat pagi, kerja di jalanan, pulang malam karena harus laporan setiap hari.”
Burhan menatap mata kawannya itu. Dari matanya, Burhan melihat hari-hari yang keras. Hari-hari yang selalu disinggahi rasa khawatir. Hari-hari yang selalu tak ingin ia jalani. Kawannya terus bercerita tentang pekerjaannya yang melelahkan. Pikiran Burhan tak berada di dalam pembicaraan kawannya. Burhan memikirkan kebutuhan-kebutuhannya, dan utang-utangnya yang harus segera di bayar. Belum lagi bulan depan ia harus sudah menyiapkan uang bayaran untuk kuliah adiknya.
Kawannya memegang pundak Burhan. “Gajimu sudah enak. Sudah sejahtera. Jangan tunggu lama lagi.” Burhan menjawab dengan senyuman.
Burhan tak tahu harus menjawab apa. Ternyata mereka selalu menganggap guru hidup sejahtera dengan upah besar. Mungkin mereka berpikir bahwa pengetahuan seorang guru selalu dibayar besar.
Burhan ingin sekali mengatakan kepada kawannya. Bahwa hanya di sekolah, pengetahuan dibayar dengan tidak sesuai. Namun, ia tak mau menyakiti dirinya sendiri, juga menyakiti pandangan kawannya tentang guru di sekolah.
Mufidz At-thoriq S. lahir di Bandung, 26 Juni 1994. Cerpen dan puisinya juga tergabung dalam beberapa antologi bersama. Buku kumpulan cerpen tunggalnya “Bapak Kucing” (2015), “Batu yang Dililit Ari” (2016), dan “Gelanggang Kuda” (2018). Ia pendiri Langgam Pustaka dan sekarang menjadi Ketua Rumpun Sastra Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya. Dapat dihubungi via ponsel 0821-2893-0646, facebook/surel: mufidzatthoriq@gmail.com, instagram: @mufidzatthoriqs.