AKU terperenyak ketika sampai di lobi kantor dan menemukan sosok yang sepertinya aku kenal sedang duduk di luar pintu masuk. Sosok itu duduk meringkuk sambil memeluk kakinya seolah itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk mengusir sepi. Di sebelahnya ada sebuah tas punggung berwarna biru yang kemudian menyadarkanku bahwa itu Bintang.
“Lho, belum pulang, Bin?” aku mendekatinya. Kepalanya mendongak dan kemudian memberikan senyumnya, “Belum dijemput, Mas.”
Aku berjalan sampai di satu undakan di bawahnya, lalu duduk ... aku duduk menjajarinya kaki yang ia peluk. Dari balik lututnya, aku bisa melihat sekilas wajah ayunya yang tertekuk. Wajah yang menandakan bahwa ia sudah cukup lama menunggu. Kuyu. Dingin angin berembus membawakan debu-debu jalanan bersama. Bintang yang memakai kaus hitam tertutup cardigan, celana jin biru belel, rambut yang senantiasa dikuncir dengan kuncir warna tosca semakin merapatkan pelukan di kakinya.
“Mau bareng saja? Kontrakanku sama rumahmu kan searah.”
“Mmm... enggak ngrepotin?”
“Enggaklah, Bin.”
“Boleh deh!”
***
AWAN gelap mulai terlihat mengental. Kentalnya serupa iklan-iklan susu yang sering berseliweran di TV-TV Nasional. Angin-angin berestafet ... berlari-lari sembari membawa serta bulir-bulir hujan juga seberkas rasa dingin yang menyiksa. Para pengemudi motor yang kami lalui mulai menepi, membuka jok motornya, mengeluarkan jas hujan warna-warni, mengenakannya, lalu bersiap menerima curahan hujan Jakarta yang terkadang begitu aduhai.
Aku menawari Bintang apakah ia ingin berhenti terlebih dahulu dan memakai jas hujan milikku. Namun, dari spion aku melihatnya menggeleng. Lantas ia rapatkan duduknya di sadel. Tangannya yang pada awal mula berpegang di pinggir jok, mulai berpindah ke pinggir pinggang, mencengkeram pinggiran jaket abu-abu yang selalu setia aku pakai. Sebuah pertanda bahwa aku mesti segera memacu laju motorku.
Hujan yang menderas tepat ketika aku mulai menarik lebih dalam gas. Derasnya seolah membuyarkan hening waktu. Aku menarik gas lebih dalam lagi. Motor bebek yang sudah setia dari aku kuliah itu pun mengerang.
Setengah berteriak untuk menghalau suara deras hujan aku mengajak Bintang untuk mampir ke kontrakanku lebih dulu. Aku tak tega melihat badannya yang sudah kuyup itu. Bintang masih tak menjawab, ia hanya merapatkan duduknya. Tangannya yang awalnya memegang pinggir jaketku bergeser ke pinggangku. Ia memelukku erat.
***
KONTRAKANKU terletak di sebuah daerah perumahan murah. Jalan menuju ke sana tidak bisa dikatakan mudah. Setelah dari jalan utama, perlu membelok di sebuah gang kecil di samping toko-toko yang kalau pagi hari selalu ramai dengan ibu-ibu kompleks membeli dan mengerumpi. Dari gang kecil itu ada sebuah diskotek underground yang menjual beragam miras oplosan. Jika Jakarta tidak sedang hujan sederas ini, biasanya di depan diskotek underground itu akan banyak pemuda yang kehabisan uang nongkrong di depannya. Setelah melewati diskotek dan membelok ke arah kanan, kami melewati sebuah terowongan dekat dengan jalur kereta api. Keluar dari terowongan, tepat di sebuah pertigaan, kami membelok lagi. Sebuah toko rokok kecil dengan lampu luar yang teperling ... toko rokok langgananku, menjadi pertanda letak kontrakanku yang persis di depannya.
Sebenarnya, jika diukur dengan jarak. Jarak dari kontrakanku dengan kantor tidaklah terlalu jauh. Hanya, jalanan yang perlu banyak membelok membikin perjalanan sering terasa jauh. Namun, malam itu, di tengah derai hujan yang turun membabi buta itu, perjalanan itu terasa menyenangkan.
Bahwa selain harga dan jarak, rumah minimalis satu lantai dengan dua kamar tidur, satu dapur, satu kamar mandi, satu ruang tamu kecil yang diisi dengan karpet, beanbag, sofa kecil warna merah, juga sebuah TV layar datar berukuran 32 inchi yang dilengkapi dengan sebuah PlayStation yang kabel stiknya tak tergulung rapi. Rumah itu juga memiliki sebuah halaman kecil yang oleh Kakak perempuanku ditanami rumput jepang dan sebuah pohon sawo yang baru, sebuah taman belakang kecil yang dijadikan tempat jemuran, sebuah dapur yang kulkasnya tak pernah tak paceklik, wastafel yang kadang airnya mampet merupakan hal-hal yang membikinku jatuh cinta sejak pandangan pertama dengan rumah itu.
Awalnya aku tinggal berdua bersama Kakak perempuanku di rumah itu. Namun, sudah sejak ia memutuskan menikah dan tinggal bersama suaminya, tiga bulan yang lalu, aku tinggal sendiri. Di kamar yang dulunya ditempati oleh Kakakku, masih ada beberapa pasang baju dan pelbagi alat rias dan koleganya yang ditinggal. Di kamar itulah aku meminta Bintang untuk memanfaatkan seluruh waktunya untuk berganti baju dan memakai apa pun yang perlu ia pakai dari meja rias yang ada di kamar Kakakku.
Sementara Bintang sibuk dengan pelbagai urusannya, aku yang sudah selesai dengan urusan berganti baju, berjalan menuju ke dapur dan membikin dua gelas teh panas. Satu teh panas yang aku bikin untuk Bintang aku letakkan di sebuah meja kecil yang ada di ruang tamu, tentu setelah menyingkirkan asbak penuh abu dan punting rokok di atasnya. Sembari menunggu Bintang keluar dari kamar, aku merebah di beanbag sembari menghidu wangi teh yang aku bikin.
Saat tengah meminggirkan tas dan sepatu milik Bintang yang basah, aku terperangah melihat sosok Bintang yang baru saja keluar dari kamar. Ia keluar dengan mengenakan kemeja milik Kakakku yang sedikit kedodoran, panjang kemeja yang sampai ke atas lututnya menutup celana pendek yang ia kenakan. Ia baru saja selesai mengeringkan rambutnya manakala keluar dari kamar. Wangi parfum tercium serta-merta mengalahkan wangi teh yang aku bikin. Untuk beberapa detik lamanya, aku membatu.
“Mas Yo, tasku aman?”
Pandanganku masih terpaku ke dirinya. Sampai ketika Bintang menaikkan intonasinya. “MAS YO, TASKU AMAN?!”
Aku gelagapan dan hanya ‘e...’ dan lebih banyak ‘e...’ yang mampu aku keluarkan. Untuk menutupi rasa maluku, aku hanya bisa menjawab bahwa tasnya basah. Bintang mendekat, wangi parfum yang ia pakai mengobrak-abrik pertahanan hidungku. Bintang merengkuh tasnya lalu mengeluarkan beberapa berkas di dalamnya.
“Semua aman kan?” tanyaku.
“Iya. Aman Mas. Cuma ini berkas revisi skripsiku agak basah.”
“Ini minum dulu tehnya, Bin, aku ambilkan hairdryer di kamar.”
Setelah mengambilkan pengering rambut ke Bintang, aku duduk bertafakur di beanbag sembari menyeruput tehku pelan-pelan. Mataku sibuk memandang Bintang yang sibuk membolak-balikkan kertas berkas skripsinya sembari mengeringkannya sambil sesekali menyeruput teh.
Menyadari bahwa Bintang sudah hampir selesai mengeringkan berkas skripsinya, aku mengolet sembari berkata apakah ada makanan di bisa dimakan di dalam kulkas. Kata ‘makanan’ tampaknya membinarkan mata sipit Bintang. Orang boleh bilang bahwa hujan itu terdiri dari air dan kenangan, tetapi hari itu, bagi kami, hujan itu terdiri dari dingin dan lapar.
Aku berjalan ke arah dapur dan Bintang mengekor di belakangku. Sesampai di kulkas yang ada di pojokan dapur, aku membuka satu pintunya. Embus dingin dari dalam kulkas sejenak mampu membuat gerakku terhenti. Mataku menelisik, mencari di setiap wadah yang ada di dalamnya ... menelisik apakah ada sebentuk makanan yang bisa kami nikmati pada hari yang hujan ini.
Hidup seolah selalu memberikan segala hal yang tak pernah kita harapkan. Begitu aku membuka kulkas, yang dapat ditemukan oleh mataku hanya beberapa yogurt siap minum, dua butir telur yang tampaknya sebentar lagi basi, terlihat dari kulitnya yang mulai pucat, tiga potong sosis yang bahkan satu potong di antaranya isinya tinggal sepertiga. Ada satu boks susu yang isinya masih mungkin cukup untuk berdua, beberapa lembar roti tawar yang esok sudah masuk masa kedaluwarsanya, dan dua buah kotak putih.
Bintang yang sedari awal mengekorku membuka kulkas mengulurkan tangannya mengambil dua kotak putih itu. Rasanya, dari sekian isi kulkas yang tak banyak, hanya dua kotak putih itu yang menarik perhatian dan selera makannya.
“Wah!!” tiba-tiba Bintang memekik. “Ternyata isinya risol,” serunya bahagia. Bintang lalu menghidu risol yang ada di dalam kotak putih itu. Senyumnya yang terbit seolah menandakan bahwa risol yang ada di dalam boks itu masih layak makan. “Tapi perlu dihangatkan ini, biar makin enak... Mas Yo, aku boleh pakai kompornya?”
***
AKU tak pernah tahu dari rahim mana bahagia itu lahir. Mungkin juga ia kekal abadi. Serupa Tuhan, bahagia itu tak lahir dan dilahirkan. Ia muncul serta-merta. Zat yang muncul dari balik sunyi yang hinggap di sana-sini.
Melihat Bintang yang tengah memanasi risol membuatku sadar bahwa bahagia tak pernah benar-benar membutuhkan jutaan rupiah untuk mewujudnyatakannya. Tak perlu usaha sekeras Bandung Bondowoso yang sampai rela menjual jiwanya. Tak perlu usaha segila Sangkuriang untuk mendapatkan cinta ibunya, Sumbi. Bahagia juga tak perlu banyak pengorbanan. Seperti Sinta yang rela terjun ke bara api hanya demi membuktikan dirinya masih perawan di depan Rama. Atau seperti Seb, tokoh rekaan Damien Chazelle dalam film La La Land, yang rela mengalah demi mendukung Mia dalam mewujudkan cita-citanya walau pada akhirnya berpisah juga.
Bahagia yang aku rasa hanya cukup dengan melihat Bintang sedang memanaskan risol untuk makan kami berdua. Bahagia, bagiku adalah ketika aku menyandarkan diri di kusen pintu sambil melihat Bintang dari belakang ... melihat rambutnya yang digelung ke atas memperlihatkan leher putihnya; melihat gerakan tangannya yang lincah membolak-baliknya risol dengan spatula dan menghindari cipratan minyak panas; mendengar sayup-sayup dendangan sebuah lagu yang keluar dari bibirnya. Bagiku, bahagia adalah merasakan gelitik kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku. Seketika aku sadar. Bahagia itu ternyata lebih dekat dari nyawa yang paling pekat. Bahagia itu di sini. Bahagia itu bisa kita ciptakan sendiri.
***
“ENAK nih Bin, risolnya,” kataku sambil meniup-niup ujung risol yang baru saja aku gigit. Bintang masih sibuk meniriskan beberapa potong lagi sebelum akhirnya mengambil satu yang ia rasa sudah tak terlalu panas. Risol yang diambilnya itu terlihat begitu menggiurkan. Warna yang keemasan, dengan remahan tepung yang tersebar di semua bagiannya tanpa sela, lengkap dengan teksturnya yang renyah.
Risol yang diambil Bintang berisi cokelat yang menjadi cair setelah dipanaskan. Kontan ketika gigitannya mengoyak tubuh lembek risol itu, cokelat langsung meleleh pelan melalui ujung kiri bibirnya. Refleksku bekerja lebih cepat dari kilat. Lewat setengah detik kemudian tangan kananku sudah menempel di ujung bibir kirinya. Mengusap, menghapus bekas cokelat yang menggantung indah di sana. Tangannya juga bergerak cepat ... tangannya menangkap tangan kananku yang masih lekat di bibirnya. Waktu seakan berhenti. Jiwa kami seolah lepas meninggalkan raga kemudian terjerembap di dalam pigura. Diam. Kaku. Selamanya.
Bintang lalu menarik tangannya perlahan. Tersenyum simpul dalam tundukan kepalanya lalu memutar badannya dan memilih untuk menghabiskan beberapa jeda untuk menikmati beberapa batang risol yang tersisa.
Langit masih setia merawat anak-anak airnya yang riang gembira turun dari lubang rahimnya. Dingin yang juga lahir dari rahim hujan membuat kami memilih duduk merapatkan diri satu sama lain. Di ruang tamu, bersama tayangan 500 Days of Summer, kami menikmati risol yang hangat dengan kisah cinta yang tak terjawab dari Summer dan Tom Hansen.
Dingin yang semakin jahat, membuat duduk kami semakin rapat. Aroma parfum Bintang kembali mengusak-asik pertahanan apa pun yang aku bangun. Tak hanya wangi parfumnya, degup jantung Bintang pun terdengar bertalu-talu bak genderang perang. Jantungku rasanya ingin mencelos ketika kepala Bintang tetiba ia sandarkan di dadaku. Sesaat, aku tahu bahwa kini tak ada yang perlu aku sembunyikan lagi dari Bintang.
Aku kini sadar bahwa cinta memang harus dialamatkan bukan disimpan di relung perasaan yang tak tersampaikan.
Bintang mendongak ke arahku ... setelahnya, aku hanya ingat ada sebentuk kehangatan yang menjalar.
Wahyu N. Cahyo, seorang penyunting buku yang gemar melamun sembari menunggu kopinya dingin. Buku yang sudah dituisnya berjudul Perjalanan Setelah Pulang: Kisah-Kisah tentang yang Hilang dan tak Kembali (2021). Tentang Teman Seperjalanan (2022), Yang Dikenang dari yang Hilang (2023).
*Cerita ini dipilih dari buku Tenatang Teman Seperjalanan karya Wahyu N. Cahyo. Miliki bukunya di sini dan dapatkan potongan harga.