Azis Fahrul Roji
Dalam hari yang masih dingin, Pedro meringkuk tak berdaya. Pelipis kanan dan hidungnya terus mengucurkan darah. Ia meringis kesakitan. Matanya terbelalak menatap pintu-pintu pertokoan yang belum terbuka. Dada kurus yang berkilauan memar dan luka dipeluk erat kedua tangan yang sudah tak memiliki ibu jari lagi.
*
Sudah hampir setengah dekade, Kota Saint Polish diporak-porandakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Orang-orang dibuat tak berdaya oleh mikro-virus yang menyebabkan tenggorokan menjadi bengkak. Hidung yang mampat. Dan suara yang semakin menghilang. Di mana-mana, orang-orang membawa pulpen dan buku. Tak ada percakapan di antara mereka. Yang ada hanya tulisan-tulisan yang mereka jadikan sebagai alat komunikasi. Radio-radio sudah tak beroperasi lagi. Dan televisi? Ya, hanya menampilkan video-video bisu dengan teks-teks yang menggaggu estetika penglihatan saja.
Di jalan-jalan, di pinggir-pinggir pertokoan, pedagang-pedagang kaki lima ramai meniup terompet, memukul-mukul lonceng, botol bir, piring, gelas, dan benda-benda yang sekiranya bisa menghasilkan bunyi dan menarik perhatian para pembeli. Mereka juga ‘bisu’ tak ada riuh tawar-menawar. Mereka saling mencatat dan menunjukkan catatan yang mereka buat.
Di depan pintu gerbang istana, orang-orang berdemo membawa spanduk dengan tulisan berbagai rupa. Tak ada teriakan-teriakan orasi, tak ada getar-getar pembacaan puisi. Semua diam. Hening tanpa suara manusia. Di dalam istana? Sama sekali tak ada suara-suara percakapan. Yang ada hanya ketak-ketik tombol komputer dengan layar besar yang menampilkan tulisan-tulisan percakapan mereka.
“Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk!”
Begitulah salah satu tulisan yang terpampang di layar yang mereka tatap dengan wajah semringah menyaksikan orang-orang ‘bisu’ berdemo di balik dinding kaca. Mereka senang melihat orang-orang berdemo tanpa suara bising yang mengganggu pendengaran mereka. Para penghuni istana tak perlu repot-repot menanggapi tuntutan-tuntutan yang disampaikan melalui pamflet-pamflet dan spanduk-spanduk itu. Mereka tak perlu takut orang-orang di luar sana merangsek menuju istana. Sebab ribuan barikade tentara ‘bisu’ dengan popor senapan mengacung sigap menjaga stabilitas pagar istana.
“Kembalikan suara kami anjing-anjing BISU!”
“Kami tahu, ini rencana yang telah kalian susun untuk melumpuhkan kekuatan kami!”
“Kami mungkin bisu! Tapi kami tidak tuli! Kami tidak buta! Kami tidak gila seperti kalian!”
Tulisan-tulisan spanduk itu seolah berbicara bahwa perjuangan mereka yang masih peduli dengan keadaan bangsa tak bisa dipatahkan oleh apa pun. Sementara itu, di tempat yang berbeda, Pedro, bersama Forum Ibu Jari yang beranggotakan 20 orang mahasiswa dan aktivis masyarakat melakukan perlawanan dengan meretas grup percakapan para penghuni istana dan mengirimkan teror-teror pesan singkat untuk orang-orang yang mereka sebut bisu, tuli, buta, dan gila itu.
Beberapa bulan sebelumnya, Pedro berhasil menyadap percakapan mereka dan mengetahui apa yang sedang diperbincangkan saat itu.
“Setidaknya dengan kondisi seperti ini membuat kekuatan mereka sedikit melemah.”
“Dengan begitu, kita bisa langsung merealisasikan proyek penambangan bijih besi di pesisir Pulau Polish itu.”
“Ini strategi yang sangat brilian, membisukan masyarakat kota yang sok pintar, dan kita bisa dengan mudah membodohi orang-orang pesisir itu dengan iming-iming uang dan wanita.”
“Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.”
“Hahahahahahahahahahahahahahaha! Dasar orang-orang bodoh!”
Dengan bekal jejak digital dari percakapan para pemangku negara itu, Pedro mulai menyebarkan info ke media-media massa. Dan Forum Ibu Jari semakin geliat menyuarakan kritik-kritik mereka terhadap pemerintah Kota Saint Polish.
*
“Pemerintah Kota Sanit Polish secara diam-diam memperbincangkan realisasi proyek penambangan bijih besi di pesisir utara Pulau Polish. Berikut ini kami tampilkan bukti-bukti percakapan antara wali kota dengan para jajarannya.”
Salah satu media massa memberitakan hasil penyadapan yang dilakukan Pedro dan Forum Ibu Jari terkait rencana Pemerintah Kota Saint Polish menambang bijih besi di pesisir Pulau Polish. Hal itu pun diketahui pihak pemerintah dan membuat wali kota sangat geram.
“Bedebah! Siapa yang sudah berani meretas grup percakapan kita?” Wali kota mengirimkan sebuah pesan singkat kepada ajudannya. “Sekarang, kau pergi ke kantor jaringan! Periksa semua grup percakapan dan cari cara agar percakapan kita tetap aman!”
Ajudan pun pergi menuju kantor jaringan untuk melaksanakan perintah wali kota. Wali kota sangat marah dan kesal dengan persitiwa itu. Ia memerintahkan agar para militer sigap dalam memantau dan menjaga segala aktivitas masyarakat kota. Sebab ia tahu, penghalang dari semua rencana busuknya adalah aktivis dan mahasiswa kota yang selalu melindungi masyarakat pesisir Pulau Polish.
Sejak dua tahun terakhir, Pedro—yang gencar membela hak-hak masyarakat dan melindungi masyarakat pesisir Pulau Polish—menyelidiki kasus penyakit aneh yang menyebar melalui partikel ludah manusia itu. Ia merasa ada yang janggal ketika pemerintah kota yang seharusnya bertanggungjawab menangani kasus ini, justru membiarkannya. Dan media-media pro pemerintah dianggap sekongkol menutup-nutupi penyebab kemunculan penyakit ini. Mereka menutupinya dengan dalih penyakit itu disebabkan oleh infeksi virus dari ludah anjing. Pedro tahu, itu adalah langkah pemerintah kota untuk mengurangi intensitas ‘serangan’ dari para aktivis yang memprotes rencana pengeksploitasian alam pesisir Pulau Polish. Penyebaran virus tidak terkontrol, sehingga pihak pemerintah pun ikut terpapar dan semua warga kota, kehilangan suaranya. Nahas, hingga detik ini, belum ada obat yang mampu memulihkan kembali suara warga kota yang telah hilang. Mulai dari saat itulah, Pedro merintis gerakan yang tetap menyuarakan dukungan bagi masyarakat tanpa harus bersuara. Pedro mendirikan Forum Ibu Jari seorang diri. Berjalannya waktu, forum pembela masyarakat itu semakin mendapat perhatian dari aktivis dan mahasiswa kota yang muak dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Saint Polish.
*
Darrr!
Senapan dikokang, peluru melesat membuyarkan rencana aksi untuk membongkar rahasia di balik penyakit V-go yang menjadi kedok eksploitasi alam. Puluhan militer bersenjata mengepung markas Forum Ibu Jari yang berada di pusat perbelanjaan kota. Mereka meringkus semua orang yang ada di sana, termasuk Pedro. Pedro langsung diseret dan disiksa tanpa ada basa-basi. Kepalanya ditinju, ditendang hingga rubuh. Beberapa orang memukulinya dengan kayu. Dada, punggung, dan bahu remuk memar akibat serangan itu. Sementara, sang komandan menebas kedua ibu jari tangan Pedro hingga tak menyisakan pangkal sedikut pun.
Darrr!
Komandan memberikan tanda peringatan untuk membubarkan pasukannya. Pedro ditinggalkan seorang diri. Dan anggota Forum Ibu Jari lainnya diamankan dan dikurung di penjara Pulau Vektas.
-Selesai-