Bahkan matahari masih menyapa dengan teriknya, muncul sebuah bulan yang tidak tahu dari mana asalnya. Ini bukan mimpi, bulan itu semakin mendekat. Sepertinya, ia bersiap menabrakkan diri ke rumah. Aku memanggil ibu dan ayah. Mereka hanya bergeming sambil mengeratkan tangan. Aku bingung. Bulan ini benar-benar akan menghantam rumahku, menggusur kamar baruku.
***
Senang sekali. Aku rasa ini adalah hari ulang tahun terbaik dalam hidup. Tepat di usia 8 tahun ini, aku mempunyai kamar sendiri bersama dengan pintunya juga. Sebelumnya, aku diam-diam menjadikan ruangan salat Ayah dan Ibu menjadi kamar meski tanpa pintu. Cukup untuk menikmati waktu menggambar seperti biasanya.
Akhirnya aku memiliki kamar yang sempurna, tidak ada yang kurang satu pun. Ayah dan ibu membuatnya sesuai dengan harapanku. Ini merupakan pencapaian besar pertama sebagai seorang anak. Aku mempunyai kamar sendiri. Anak kecil mana yang tidak memiliki mimpi seperti ini? Aku sudah tidak sabar ingin memberi tahu kepada teman-teman di sekolah tentang kamar baru.
“Kok belum tidur?” Ibu muncul dari balik pintu kamar. Aku hanya menyodorkan gambar sebuah kamar yang dipenuhi ornamen.
Ibu memahami maksudku.
“Teman-teman pasti iri, Bu. Kala, punya kamar sendiri!” ucapku sambil semangat dan berdiri.
“Sudah pasti. Kala, sudah berani tidur sendiri, loh.” Ibu meraih tubuhku sambil membawaku menuju tempat tidur, “sekarang waktunya tidur. Besok, Kala harus bangun pagi ke sekolah.” lanjut ibu sambil mengecup kening dan memakaikan selimut.
Tidurku tidak sepenuhnya nyenyak. Tentu saja, sebetulnya aku masih agak takut tidur sendiri. Selain itu, aku mendengar suara yang ramai dari arah ruang tamu. Sepertinya ayah dan ibu kedatangan banyak tamu akhir-akhir ini. Sesekali aku mendengar perbincangan soal “apa kita mengalah saja”, atau “kita tidak boleh pergi”, atau “kita pertahankan” atau semacamnya. Aku tidak tahu pasti apa sebenarnya yang menjadi permasalahan para orang dewasa hingga mengganggu tidur anak-anak. Malam ini lebih berisik dari biasanya. Aku semakin tidak bisa tidur mendengar percakapan menuju perdebatan di antara mereka.
“Bu…, Kala haus!” Aku berjalan keluar kamar dan mencari ibu di balik tiang dekat ruang tamu.
Aku tidak melihat banyak hal di sana. Hanya saja aku merasa penuh emosi dan gelisah dari orang-orang dewasa itu. Meja di ruang tamu penuh dengan kertas-kertas lebar. Aku mengedarkan mata dan menemukan ibu juga ayah di sana. Ibu yang menyadari kehadiranku lalu menghampiri dan membawaku ke dapur untuk mengambilkan air minum.
“Kok, ramai sekali Bu? Tadi Kala juga melihat ada Pak RT. Sedang ada rapat ya Bu?” Ibu hanya tersenyum dan mengangguk sambil menuangkan air ke dalam botol.
“Ini, dibawa ke kamar saja. Supaya, kalau Kala haus, tidak perlu keluar kamar lagi.” Ibu mengantarkanku kembali ke kamar dan menyuruh untuk segera tidur.
Aku tidak terlalu menghiraukan perintah ibu. Bukan karena aku anak yang tidak patuh, tetapi aku belum mengantuk ditambah suara orang-orang di ruang tamu yang semakin berisik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan orang dewasa sampai larut malam. Apakah mereka suka menggambar sepertiku juga? Mungkin saja, karena tadi aku melihat ada kertas-kertas berserakan dan spidol warna-warni.
“Seharusnya mereka mengajak anak-anak juga. Kan yang pandai menggambar anak-anak. Orang dewasa mah tidak jago!” Aku menggerutu sambil merebahkan diri di balik pintu kamar.
Tiba-tiba hari sudah pagi. Ibu membangunkanku dengan lembut seperti biasa. Tidak ada adegan ibu membuka jendela kamar. Jangan harap, bukan tanpa alasan, karena kamar ini tidak memiliki jendela. Sepertinya itu akan menjadi harapan selanjutnya setelah memiliki pintu di kamar.
“Kala, nanti langsung pulang ya jangan main-main dulu.” Seperti biasa, ibu mengantarku ke sekolah dan berpesan hal yang sama setiap harinya.
“Siap, Ibuku sayang!” Aku segera masuk kelas dan menemui teman-teman.
“Hai, Kala. Kamu sepertinya senang sekali.” Rina menyambut kedatanganku pagi itu.
“Kamu tahu tidak, Rin?”
“Ya tidaklah, memangnya ada apa?”
“Aku punya kamar sendiri sekarang!”
“Hah?! Yang bener kamu, Kala. Tidak boleh bohong loh ya.”
“Kamu boleh main ke kamarku kalau kamu mau!” ajakku kepada Rina agar dia percaya bahwa aku tidak berbohong.
Rina menjadi lebih bersemangat dari dugaanku. Ia akan main ke rumah sepulang sekolah nanti bersama Desi dan Syasa.
Aku merasa hari ini sangat menggembirakan. Teman-teman sangat bersemangat mendengar ceritaku mulai dari tentang bagaimana hadiah kamar itu aku peroleh, suasana tidur sendirian, dan bagaimana aku menghadapi rasa takut ketika tidur sendiri. Rasanya aku menjadi pencerita yang hebat. Ibu guru bahkan mengetahui ceritaku karena teman-teman sibuk memberitahunya ketika di kelas.
“Wah, Kala hebat ya sudah berani tidur sendiri. Kalian juga harus belajar berani seperti Kala ya anak-anak.” Ibu guru rasanya seperti memberikan pujian, dan membuatku menjadi lebih bersemangat lagi.
Bel sekolah sudah berbunyi. Memaksa aku dan teman-teman untuk berpisah. Ibu guru memberikan PR kepada kami. Aku dan teman-teman setuju untuk mengerjakannya bersama di kamar baruku sepulang sekolah. Tentu saja, kami adalah anak-anak yang patuh dan harus pulang dulu ke rumah masing-masing untuk menjalani rutinitas wajib pulang sekolah. Begitulah kami menamainya, pulang sekolah ganti baju, makan siang, tidur siang apabila tidak ada jadwal bermain, tapi hari ini kami melewatkan jadwal tidur siang.
Aku pulang bersama Rina karena rumah kita hanya berbeda gang. Kami berpamitan dengan Desi dan Syasa di depan pintu gerbang karena berbeda jalan pulang.
“Nanti jangan lupa ya, Desi, Syasa. Aku tunggu sama Rina di rumah.” Desi dan Syasa mengiyakan dan kami mulai fokus melangkah kembali ke rumah masing-masing.
Rina masih bersemangat dengan cerita kamar baru. Aku juga tidak kalah semangat menceritakan kembali bagaimana ayah dan ibu menyiapkan kamar itu untukku. Kami berdua biasa berjalan kaki sendiri ketika pulang sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah juga tidak terlalu jauh dan kami sudah terbiasa dengan ini. Sesekali ketika di antara kami dijemput, yang lain akan saling menumpang. Kami sangat dekat dan bertetangga dengan baik.
Kami sudah dekat dengan rumah. Akan tetapi, ada suasana aneh yang menyambut kami. Ramai sekali orang berseragam dan seram, menghadang orang-orang yang hendak masuk ke arah rumah. Aku dan Rina bergandengan tangan sangat erat. Orang dewasa tentu sibuk dengan orang dewasa lainnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku bingung melihat banyak orang dewasa berkumpul dan berdesakan. Ada yang menangis tiada henti, ada yang mengamuk dan matanya merah. Aku dan Rina terpisah karena begitu sesaknya. Aku mencari jalan menuju rumah. Sementara ibu dan ayah berada di balik kerumunan. Aku menemukan celah. Ini bukannya siang hari? Aku ingin bertanya kepada seseorang tetapi sepertinya orang dewasa sangat sibuk.
Aku melihat sebuah bulan muncul. Bahkan matahari masih menyapa dengan teriknya. Bulan itu sembarangan bergerak ke sana-kemari dan tidak tahu dari mana asalnya. Ini bukan mimpi, bulan itu semakin mendekat. Ia kini siap menabrakkan diri ke rumah. Aku masih mencari dan memanggil ibu dan ayah. Akhirnya aku melihat mereka di depan kerumunan. aku memanggil dengan sekuat yang aku bisa. Mereka hanya bergeming tidak mendengar, di sini terlalu sesak. Aku bingung. Bulan ini benar-benar menghantam rumah, kamar baruku.
Aku tidak tahu bulan itu dari mana. Tetapi, aku tahu bulan itu digerakkan oleh manusia yang duduk di atas mesin yang besar. Aku tidak menyangka bahwa ini adalah benda yang selama ini aku kira bulan, kesukaanku. Meratakan segala mimpi kecil dan harapan. Mimpi mempunyai kamar sendiri. Mimpi untuk tidur sendiri. Mimpi untuk mempunyai adegan ibu membuka jendela di pagi hari.
Rumahku masih ada, tapi tinggal potongan saja. Kamar beserta pintu yang baru aku dapatkan kemarin masih ada, tapi sisa daun pintunya saja.
Kamarku sekarang mempunyai jendela, lebih luas dari yang aku kira.
Karisma Nur Fitria, seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan berbagai genre baik fiksi maupun non fiksi. Beberapa karya jurnalistik dan sastra pernah diterbitkan seperti features, esai, opini, cerpen, puisi, dan ulasan buku, di berbagai media online maupun cetak. Instagram @karismaa_nf