Kisah Ganjil Tentang Tangan Buntung
I
Andi Buntung. Begitu orang-orang menyapa tukang parkir di sebuah SMK swasta yang para siswanya terkenal suka tawuran itu. Tangan kanannya buntung hingga dekat pangkal sikunya. Tidak seorang pun yang tahu pasti penyebabnya. Termasuk tukang cukur langganannya
Andi Buntung selalu minta dicukur seperti cukuran tentara; cepak dan di bagian depan ada sedikit kuncungnya. Si tukang cukur tidak tahu alasannya dan belum pernah menanyakannya. Bisa jadi potongan rambut model seperti itu ada hubungannya dengan kisah tentang kakak Andi Buntung yang selalu didengar si tukang cukur pada setiap tanggal muda berikut ini:
Kakak Andi Buntung bernama Daeng Rewa; begundal, tukang bikin onar sekaligus aib bagi keluarganya. Suatu ketika bapaknya mengusirnya karena mencuri kambing tetangga. Sang kakak minggat ke Jakarta dan tak pernah pulang. Beberapa kali Daeng Rewa mengirimkan uang yang lalu disumbangkan bapaknya ke masjid di dekat rumahnya. Diragukan kehalalannya, kata bapaknya yang tukang azan itu.
Pada suatu hari yang gerimis tujuh tahun kemudian, atau dua hari sebelum Tsunami menerjang Aceh, anak yang hilang itu pulang. Namun, tanpa disertai nyawanya. Daeng Rewa disergap seseorang. Disabet celurit tanpa sempat membela dirinya. Pemuda lajang itu meregang nyawa berjam-jam di parkiran sebuah kafe di daerah Priok. Begitu kabar yang sampai ke kampung Andi Buntung.
“Barangkali saat itu orang-orang justru menjadikannya sebagai tontonan. Tidak segera menolong atau membawanya ke rumah sakit,” ucap Andi Buntung tanpa berusaha menyembunyikan kegeramannya. Tatapan mata yang dingin itu lurus ke arah cermin besar di hadapannya seakan-akan ingin menembus dan menjangkau masa lalunya.
Si tukang cukur tetap asyik memainkan guntingnya. Kisah itu telah didengarnya berkali-kali dalam berbagai versi dan variasi. Meskipun begitu, dia tidak mau menyelanya. Para langganan adalah raja dan harus dilayani sebaik-baiknya. Begitu mungkin motto yang pernah didengarnya. Di antaranya menyiapkan mulut untuk memberikan tanggapan seperlunya saja. Juga menyediakan telinga untuk mendengarkan apa saja. Sampah sekali pun.
“Pemakaman Daeng Rewa berlangsung dalam iringan isak tangis keluarga dan handai tolan…,” ucap Andi Buntung, lalu melanjutkan kisah yang sebenarnya sudah basi ini:
Sebagai adiknya, Andi Buntung tahu yang harus dilakukannya; Siri paranreng nyawa palao; membalas kematian. Meskipun si pembunuh itu telah dipenjara di Cipinang lima tahun, dosanya belum lah terampuni. Bahkan, Andi Buntung siap menukarkan sepuluh tahun kebebasannya demi kematian orang itu.
Bagaimanapun juga, meskipun sering kali ada percekcokan antar kakak-adik, banyak kenangan manis yang pernah Andi Buntung alami bersama kakaknya. Yang paling Andi Buntung ingat, kakaknya sering membuatkan mainan yang tak bisa dibelikan kedua orang tuanya. Ke mana-mana mereka berdua. Bahkan, ada yang mengatakan mereka anak kembar meskipun sebenarnya berselisih tiga tahun. Yang membedakan hanya cukuran rambutnya.
Ada beberapa teman sekampung Andi Buntung yang tinggal di Jakarta. Mereka terus mengabarkan perkembangan si pembunuh itu lewat surat. Hari berganti. Waktu berlalu. Ketika orang yang harus mati itu keluar dari penjara, Andi Buntung pun pergi ke Jakarta tanpa berpamitan dengan bapaknya sebab khawatir tidak diperbolehkan. Badik kesayangan itu dibawanya serta.
Andi Buntung segera melacak pembunuh kakaknya dan berlaku seperti anjing pemburu. Setelah dua hari, Andi Buntung berhasil menemukannya. Bahkan sempat naik bis yang sama.
“Mestinya saat itu aku langsung membunuhnya tanpa ragu. Tak perlu mempertimbangkan adanya sitobo lalang lipa. Perkelaian dalam sarung itu hanya untuk para ksatria. Pengecut itu tak pantas menerima penghormatan semacam itu,” kata Andi Buntung.
Si tukang cukur tidak menyahut. Diamat-amatinya rambut pada bagian sisi kanan-kiri kepala langganannya itu. Kurang tipis. Begitu barangkali menurutnya. Dia mengguntingnya lagi setengah mili. Setelah kembali memeriksa hasil cukurannya, diambilnya semprotan yang berisi air mawar. Dibasahinya rambut yang mulai beruban itu lalu menyisirinya.
“Sebenarnya aku ingin membunuhnya dengan cara yang istimewa. Cara yang tak bakal dilupakan oleh orang yang harus mati itu meskipun sedang digulang-gulung oleh Malaikat Malik di neraka sana. Aku ingin mengulitinya lalu melumuri luka itu dengan perasan jeruk nipis dicampur garam dan membiarkan darahnya menetes hingga tetesan terakhir,” kata Andi Buntung lagi.
Ucapan yang panjang seperti gerbong kereta api barang tersebut kemudian jeda dan si tukang cukur--seperti bulan-bulan sebelumnya--sepertinya menganggap itulah saat yang tepat baginya untuk membuka mulutnya. Si tukang cukur menoleh ke Andi Buntung. Sementara silet untuk mengerik anak rambut itu tak segera dia keluarkan dari wadahnya.
“Bagaimana akhirnya?” tanya si tukang cukur. Dipasangnya telinganya baik-baik. Bersiap mendengar ending yang sudah berbulan-bulan ingin diketahuinya itu.
Namun, seperti yang sudah-sudah, Andi Buntung justru pilih memberikan jawaban yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan tadi:
“Orang tua adalah pusaka. Jangan sekali-kali membantahnya!” katanya. Setelah itu menghela napas panjang. Lalu melirik tangan kanannya yang buntung. Selanjutnya mengamat-amati wajah pada cermin itu. Juga rambutnya.
***
II
Di daerah Pangkep, Minahasa, cerita tentang tangan Andi Buntung yang buntung itu tetap menjadi misteri sampai sekarang.
***
III
Adalah Ghofar di sebuah terminal saat langit pekat dan bulan pucat dengan awannya yang berlipat-lipat seperti lapisan pada wafer cokelat. Sementara itu, cahaya tampak temaram pada pojokan WC tak jauh dari tempatnya sedang berdiri mencangkung. Bau air seni menyengat. Membaur di antara pori-pori udara. Jaket kulitnya tersingkap. Menampakkan kulit lengannya yang dipenuhi tato bergambar angka-angka; jumlah hukuman penjara yang pernah dijalaninya.
Sudah dua jam Ghofar menunggu di terminal tua yang dipenuhi sampah itu. Bis yang akan membawanya pulang mogok dan sedang diperbaiki sedangkan jarak rumahnya masih dua ratus kilometer lagi.
“Moga-moga suatu hari nanti kamu mendapatkan hidayah-Nya,” kata bapaknya malam itu, sepuluh tahun yang lalu.
Ghofar dan bapaknya adalah sebuah antitesis. Bapaknya keturunan priyayi dan dipanggil Pak Kiai. Hobinya bersedekah. Memberikan sebagian hasil panennya kepada para tetangga. Sementara anak satu-satunya itu adalah berandalan pembuat onar. Malam itu Ghofar memutuskan pergi agar tak lagi membuat malu keluarganya. Bapak-ibunya melepasnya dengan iringan doa. Juga air mata.
Nasib membawa Ghofar ke Jakarta dan kota yang dipenuhi udara bertuba itu pun segera menerkamnya seperti serigala disodori daging rusa. Berwajah biasa, bertubuh kecil, berkulit hitam dan tak rapi serta cekungan mata yang kelewat dalam adalah sebuah kutukan. Barangkali para pemilik pekerjaan merasa ketakutan dan mengiranya anjing kurap yang bakal menulari mereka dengan lepra. Tak ada yang mau mempekerjakannya walaupun sebagai buruh atau pesuruh saja.
Waktu terus berjalan sementara perut harus diisi dan Ghofar telah menemukan salah satu rahasia kehidupan: kekuasaan ternyata lebih nikmat daripada kelamin perempuan. Apalagi dia sudah memiliki modalnya. Nyalinya segede gajah bengkak. Ditambah celurit yang mengilat seperti kaca, sempurnalah semuanya. Seperti sandal jepit kiri untuk si kanan. Seperti asap rokok bagi secangkir kopi ekspreso.
Di kawasan Priok dan sekitarnya, Ghofar dijuluki “Raja Tega” dan dia sangat menikmati penghargaan itu. Korban keganasannya berjatuhan seperti daun kering tertiup angin. Tak ada yang ditakuti Ghofar di dunia ini kecuali hantu. Cerita kebengisan para hantu yang terus diulang-ulang ibunya ketika Ghofar masih Balita itu sungguh berhasil guna.
Korban terakhirnya adalah seorang daeng. Si Bugis itu mencoba merebut lahan parkir yang sudah dikuasai Ghofar selama dua tahun. Keduanya duel di parkiran Café Free Doom. Badik melawan celurit. Banyak penontonnya waktu itu. Suasananya riuh dan gaduh seolah-olah sedang berada di arena sabung ayam.
Setelah lima jurus, Ghofar tertikam pipinya sedangkan sabetan celuritnya merobek perut si Daeng. Membuat ususnya terburai. Wajah si Daeng yang memucat dengan ekspresi yang sangat kesakitan itu tak pernah bisa dilupakan Ghofar selamanya. Wajah itu seakan-akan mengingatkan dirinya suatu ketika bakal mengalami nasib serupa.
Akhirnya si Daeng mati kehabisan darah. Sementara itu, selain mendapatkan codet pada pipinya, Ghofar juga menerima ganjaran lima tahun penjara. Menambahkan jumlah hukuman yang pernah dia jalani sebelumnya.
….
“Ada yang mencarimu,” kata salah satu temannya sepuluh hari setelah Ghofar keluar dari penjara.
Kabar itu mengusik Ghofar seolah-olah dengung nyamuk pada malam sepi. Lima lahan parkir yang dia kuasai adalah alasan utama bagi orang-orang yang punya cukup nyali untuk melenyapkannya. Walaupun para bajingan susah matinya, Ghofar memutuskan untuk pergi dari kota Jakarta untuk sementara. Bukan karena takut. Tiba-tiba dia kangen kepada bapak-ibunya. Sangat kangen. Sudah sepuluh tahun dia belum pulang.
….
Selesai kencing, Ghofar berniat kembali ke bisnya. Dia ingin tidur. Namun, tiba-tiba dilihatnya sosok itu. Ghofar terkesiap. Hantu! Mayat itu hidup lagi! Mendatanginya sambil menghunus badik. Bahkan, terlihat melayang. Kakinya tak menyentuh lantai.
Dengan menahan ketakutannya Ghofar segera mengeluarkan celurit dari balik punggungnya. Sebelum badik itu menembus perutnya, ditebasnya tangan yang sedang terjulur itu sekuat-kuatnya. Tangan itu pun buntung. Jatuh ke lantai. Berlumuran darah. Namun seolah-olah masih bisa bergerak-gerak. Bahkan lalu terbang dan berkitar-kitar di udara.
Ghofar memekik-mekik. Dilemparkannya celuritnya ke arah potongan tangan yang sepertinya hendak mencekik lehernya itu. Lalu terbirit-birit. Menjauhi terminal. Meninggalkan semuanya. Melupakan segalanya. Disusurinya tepi jalan raya yang ratusan ribu kilometer jauhnya. Dia ingin segera sampai di rumahnya. Demi bisa mencium telapak kaki bapak-ibunya.
***
IV
Kabar yang beredar di kampungnya, Ghofar belum tiba di rumahnya sampai sekarang.
Kajen, 25 November 2021
Catatan:
Siri Paranreng Nyawa Pala = harga diri yang rusak hanya bisa dibayar dengan nyawa lawannya
Sitobo lalang lipa = ‘dikurung’ dalam satu sarung yang sama lalu saling tikam menggunakan badik.