*Cerpen pilihan dari buku kumcer “Cinta dan Pala” karya Akhmad Idris
***
Saat ini Desa Purworejo sedang memasuki mangsa rendeng, tetapi belum setetes pun air turun dari langit. Salah satu penduduk desa memberikan usulan untuk membuat dewa-dewa/malaikat-malaikat di langit menangis agar tetesan air mata mereka menghujani desa. Benarkah hujan adalah tangisan dewa-dewa di langit? Biarlah itu menjadi harta karun tersembunyi yang akan terus dicari agar manusia tidak berhenti berpikir dan merenung. Dampak yang ditimbulkan dari kemarau panjang ini mulai dirasakan oleh penduduk desa. Penanaman padi tertunda, sebab padi membutuhkan asupan air yang cukup. Sungai-sungai sudah tidak lagi mengalir deras, bahkan terdapat sungai yang menjadi ‘rawa dadakan’; karena air sungai menjadi genangan air yang tertutup oleh tumbuhan-tumbuhan air. Sungai tak lagi mampu secara maksimal membantu Ibu-ibu mencuci baju. Mencuci baju di sungai masih menjadi pilihan utama daripada mencuci baju di rumah. Pilihan tersebut semata-mata atas dasar tingkat kepekaan sosial yang tinggi. Sungai menjadi tempat mengakrabkan diri antar-tetangga, membentuk ikatan persaudaraan, saling bercerita, saling bantu mencuci jika salah satu Ibu-ibu cuciannya selesai terlebih dahulu. Entah sejak kapan sungai tidak lagi menjadi tempat kepekaan sosial, tetapi justru menjadi tempat membicarakan keburukan orang lain. Wajar saja sungai marah dan melahap habis penduduk dengan banjir bandang. Sungai juga memiliki perasaan dan Ia marah karena telah digunakan tidak sebagaimana mestinya. Satu hal yang pasti, yakni hujan masih belum menetes hingga tiga minggu selanjutnya.
***
Seekor kucing berbulu cokelat halus dan berkaki lebih pendek dari kucing pada umumnya berjalan pelan melewati perkampungan Desa Purworejo. Mata bulat besar yang dimiliki membuatnya terlihat sangat lucu dan menggemaskan, sehingga siapa pun yang melihatnya akan rela berbagi ikan tongkol di piringnya. Kucing tersebut juga senang ‘menyapa’ setiap penghuni rumah di Desa Purworejo, meskipun sebagian penduduk menganggapnya bukan sapaan tetapi permintaan makan. Bunyi meong yang dikeluarkan juga berbeda dengan kucing-kucing lain. Meong kucing tersebut lebih halus dan menyentuh hati pendengarnya. Sebagai hewan penggemar ikan, ia tidak pilih-pilih dalam makanan. Segala jenis ikan yang diberi oleh penduduk dilahap habis. Sepertinya kucing tersebut lebih memahami makna nerima ing pandum daripada manusia yang cenderung lebih pilih-pilih dalam segala hal. Jika cocok mau, tetapi jika tidak cocok menggerutu. Satu hal lagi yang membuat penduduk semakin menyayanginya adalah kucing tersebut mengerti cara berterima kasih. Setiap selesai menghabiskan makanan yang diberi oleh penduduk, ia akan mendekati sang pemberi makanan kemudian mengeong tiga kali sembari menggesekkan kepalanya pada kaki atau bagian tubuh lain sang pemberi makanan. Penduduk mengartikannya sebagai ucapan terima kasih, bukan ungkapan makanannya kurang; sebab setelah melakukan hal tersebut ia segera pergi meninggalkan sang pemberi makanan. Satu di antara penduduk bahkan pernah bergumam di dalam hati, “bahkan kucing itu lebih mengerti cara berterima kasih daripada ‘mereka’ yang mengaku terhormat dan terpandang”.
Seluruh penduduk Desa Purworejo tidak ada satu pun yang mengetahui asal-muasal kucing berbulu cokelat halus tersebut. Sebagian besar penduduk merasa memilikinya, meskipun pada kenyataannya kucing tersebut tak pernah berdiam diri pada satu tempat. Ia selalu berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Orang tuanya juga tidak dapat dideteksi. Penduduk Desa Purworejo tidak ada yang bisa menggunakan Bahasa Kucing kecuali meong, sehingga mengalami jalan buntu dalam menggali informasi tentang asal-usul kucing tersebut. Kucing tersebut dapat dikatakan sejenis dengan Jailangkung, karena datang tak dijemput pulang tak diantar. Berita tentang kucing berbulu cokelat halus mulai menyebar ke seluruh penjuru kampung, termasuk di sebuah Pos Ronda yang dihuni oleh Samin. Kodir, dan Tejo.
“Aku merasa ada yang aneh dengan kucing tersebut”, ungkap Tejo sebagai lelaki tertua di antara mereka bertiga. Usia Tejo 2 tahun lebih tua dari Samin dan Kodir, sedangkan Samin dan Kodir berusia sama hanya terpaut hitungan bulan.
“Aneh bagaimana, Jo?”, tanya Kodir.
“Apakah kalian tidak takut jika ternyata kucing tersebut adalah kucing jadi-jadian sejenis Kolor Ijo yang akan ‘menunggangi’ gadis-gadis cantik di desa ini?”
“Apakah kamu sudah mengetahui jenis kelamin kucing tersebut?”. Kali ini Samin yang bertanya pada Tejo.
“Anggap saja Jantan, Min. Jika kucing tersebut betina, berarti ia akan ‘memperjakai’ pria-pria lajang di desa ini”, jawab Tejo.
“Semoga yang ‘diperjakai’ itu kamu, Jo. Biar kamu segera menikah. Tak ada gadis, kucing pun jadi. Hahaha”, canda Kodir yang diiringi derai tawa bersama-sama dan umpatan tak terima oleh Tejo. Kehadiran kucing tersebut masih menjadi misteri.
***
Suhu dingin malam ini berbeda dengan suhu malam-malam sebelumnya. Angin yang lebih kencang membuat Samin merapatkan jaket yang ia kenakan. Ia baru saja selesai membantu Mbah Marju mengangkat kayu dari kebun untuk dibawa ke belakang rumah Mbah Marju. Jarak antara kebun dan rumah Mbah Marju kira-kira 500 sampai 700 meter. Mbah Marju memang secara garis keturunan bukan Nenek bagi Samin, tetapi bagi Samin; semua penduduk Desa Purworejo adalah keluarganya. Entah berhubungan darah atau tidak. Mbah Marju adalah seorang Janda sebatang kara. Suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit misterius. Pernah sekali dibawa ke Rumah Sakit provinsi, tetapi ditolak dengan alasan tidak disertai surat pengantar dan kamar sudah penuh. Hal tersebut yang membuat Mbah Marju membenci Rumah Sakit. Pernikahan Mbah Marju tidak dikaruniai anak, sehingga ia menikmati sisa hidupnya sendirian. Samin tak tega kala melihat Mbah Marju membawa beberapa potong kayu dengan nafas ngos-ngosan. Beberapa potong kayu juga sempat jatuh dari gendongannya. Akhirnya Samin memutuskan membantunya, meskipun hari hendak memasuki malam dan angin semakin kejam.
Di pertengahan perjalanan pulang, Samin melihat kucing berbulu cokelat halus yang sedang menjadi buah bibir penduduk meringkuk di bawah kursi anyaman rotan pada salah satu halaman rumah penduduk. Kaki kucing tersebut bergetar dan matanya berkedip-kedip sambil mengeong parau. Bulu-bulu halusnya tak lagi mampu melindunginya dari terpaan angin yang semakin kencang. Samin segera mengambil dan menggendong kucing tersebut. Kemudian ia masukkan kucing tersebut ke bagian dalam jaketnya agar terlindung dari hembusan angin. Ia buka sedikit resleting atas jaketnya agar kucing tersebut mendapatkan udara untuk bernafas sambil ia gunakan dua tangannya untuk menyangga tubuh kucing tersebut. Dari kejauhan, Samin terlihat seperti Ibu-ibu hamil 8 bulan mencari suaminya yang menurut cerita tetangganya sedang berselingkuh dengan seorang pelakor.
Sesampainya di rumah, Samin segera memasuki kamar dan meletakkan kucing tersebut di atas ranjang bambu beralas tikar. Kucing berbulu cokelat halus tersebut mengeong sebentar kemudian menggeliat dan melingkarkan tubuhnya serta memejamkan mata. Samin segera mengambil baju paling tebal dan menyelimutkannya pada tubuh kucing tersebut. Setelah itu, Samin juga tertidur tepat di samping kucing tersebut. Tidur yang nyenyak mengantarkan Samin pada sebuah mimpi. Ia seperti berada di tengah-tengah pedesaan yang indah, subur, dan memberikan kesan gemah ripah loh jinawi. Tetiba seekor kucing berbulu cokelat halus sedang berlari menuju ke arahnya. Lama-kelamaan wujud kucing tersebut berubah menjadi seorang gadis cantik yang berpakaian seperti seorang putri dari kerajaan besar.
“Namamu Samin, kan? Namamu menunjukkan sikapmu. Nama ‘Samin’ bermakna mengutamakan kepentingan rakyat dan itu tercermin dalam tindakanmu”, jelas sang putri.
“Dari mana anda mengetahui semua itu? Apakah anda seekor kucing berbulu cokelat halus itu?”, tanya Samin dengan nada terputus-putus karena gemetar dan takut.
“Siapa yang menyayangi ‘yang dicipta’, maka ia akan disayangi oleh ‘Sang Pencipta’. Ingat itu baik-baik, Samin”, kata sang putri tak memedulikan pertanyaan Samin kemudian menghilang bersamaan kesadaran Samin dari mimpi.
Samin terbangun dengan keringat membasahi kaos partai yang sudah molor semua. Samin menyapu pandangan pada semua sudut kamarnya dan tak menemukan kucing yang tadi tertidur di sebelahnya. Ia segera bangkit dari ranjang dan mengelilingi seisi rumah. Tetap saja kucing tersebut tak dapat ditemukan. Samin kembali ke kamar, mengatur nafas, dan menidurkan kembali tubuhnya. Ia bergumam di dalam hati, “ternyata kucing yang cantik itu benar-benar ada”.
***
Rintihan kucing berbulu cokelat halus mengundang rasa sedih dan bingung bagi segenap penduduk Desa Purworejo. Rintihan yang berbunyi meong tersebut cenderung seperti kesakitan dan keluhan. Beragam pendapat mulai bermunculan mulai dari ditinggal rabi oleh pasangannya hingga dinodai keperawanannya. Tak ketinggalan; Tejo, Kodir, dan Samin juga turut andil menyumbangkan pendapatnya.
“Kucing itu marah karena tidak menemukan gadis cantik di desa ini”, kata Tejo mengawali adu pendapat tentang rintihan kucing.
“Ngawur kamu! Menurutmu gadis di desa ini tak ada yang cantik?”, sergah Kodir atas pernyataan Tejo.
“Bukan begitu, Dir. Cantik bagi kucing kan yang semakin pesek. Gadis di desa ini semuanya kan mancung. Hehehe”, jawab Tejo dengan sedikit terkekeh.
“Kalau menurutku, kucing tersebut kecewa karena hanya diberi janji tanpa bukti”, Kodir mengungkapkan gagasannya.
“Ini bukan kampanye, Dir. Tak ada kucing yang ingin menjadi presiden, kecuali Kucing Garong”. Komentar Samin yang dibalas dengan wajah cengengas-cengenges dua temannya.
Tetiba kucing berbulu cokelat halus tersebut mendekati mereka bertiga dan menggesekkan tubuhnya pada Samin, Tejo, dan Kodir secara terus menerus. Sesekali ia mengangkat tinggi-tinggi bagian ekornya. Seketika hal tersebut dapat dipahami oleh Samin dan kawan-kawan. “Jo, sekarang kita sudah mengetahui bahwa kucing ini ternyata betina. Kita harus memberitahu penduduk”, kata Samin kepada teman-temannya. Akhirnya mereka bertiga mengambil ancang-ancang untuk berteriak bersama-sama. “Kucing ini minta kawin!”, teriak mereka bertiga dengan lantang kepada semua penduduk Desa Purworejo. Teriakan mereka sejenak membuat penduduk bingung kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Satu di antara penduduk bersuara, “lalu apakah kita harus mencarikan dia jodoh? Kita sudah seperti orang tua yang sibuk mencari mantu saja”. Namun ada juga beberapa penduduk yang ingin mencarikan jodoh untuk kucing tersebut. Akhirnya, atas dasar ingin membantu kucing tersebut; beberapa penduduk segera mencarikan ‘pangeran’ untuk kucing tersebut, termasuk Samin dan kawan-kawan. Setelah semua kucing jantan di Desa Purworejo terkumpul, perjodohan pun dimulai. Satu per satu kucing jantan disodorkan kepada kucing berbulu cokelat halus tersebut. Kucing jantan pertama langsung diserang oleh kucing berbulu cokelat halus. Penyerangan saat usaha pengawinan menunjukkan tak ada rasa cinta di antara kucing jantan dan betina. Ternyata urusan mencintai dan dicintai juga berlaku untuk ras kucing.
Semua kucing yang telah dikumpulkan oleh penduduk Desa Purworejo tidak ada yang membuat kucing berbulu cokelat halus tertarik. Beberapa kucing jantan diserang dan sisanya ditolak ‘secara halus’ dengan cara mendesis seperti suara ular. Ketika semua penduduk hampir menyerah dengan perjodohan tersebut, kedatangan Tejo dengan membawa kucing gemuk berbulu hitam putih mampu menarik perhatian penduduk. Tejo menjelaskan bahwa kucing tersebut ia peroleh dari temannya di Desa Arjowinangun. Semua penduduk menganggap kucing berbulu cokelat halus akan menolak kucing yang dibawa Tejo, karena kucing yang dibawa Tejo sama sekali ‘tak level’ jika dibandingkan dengan kucing berbulu cokelat halus tersebut. Kucing yang dibawa Tejo terlalu gemuk dan kumal, berbeda dengan kucing berbulu cokelat halus yang terlihat lucu dan bersih. Namun semua anggapan tersebut sirna seketika kala kucing jantan mendekati kucing berbulu cokelat tanpa kendala sedikit pun. Kucing jantan mulai menciumi area ekor kucing berbulu cokelat halus, kemudian menaikinya dan menggigit tengkuknya. Terjadilah ‘Tang-Ting-Tung’ antara kucing jantan dari Desa Arjowinangun dan kucing betina dari Desa Purworejo. Memang benar, cinta tidak memandang rupa. Konon katanya tahi kucing rasa cokelat. Mungkin seperti itu yang dirasakan kucing jantan ketika menjilati area ekor kucing betina.
***
Keesokan harinya awan gelap menyelimuti langit dan perlahan tetes air hujan mulai turun hingga menjadi hujan deras di Desa Purworejo dan sekitarnya. Semua penduduk bersuka ria dan bersyukur atas nikmat yang telah lama dinanti. Salah seorang penduduk berseru, “kucing berbulu cokelat halus itu telah memintakan harapan kita kepada Sang Pencipta karena kita menyayanginya seperti anak sendiri”. Penduduk yang lain juga mengangguk setuju dengan yang disampaikan oleh orang tersebut. Di sebuah pos ronda yang tak jauh dari keramaian penduduk, percakapan hangat juga sedang terjadi.
“Jo, kau yang curiga tetapi kau juga yang paling berhasil membantu kucing tersebut mendapatkan jodohnya. Kau telah membantu semua penduduk Desa Purworejo”, puji Samin pada Tejo yang tersipu malu dibuatnya.
“Apa benar sebab kita mengawinkan kucing tersebut desa ini diberikan hujan yang penuh berkah ini?”, tanya Kodir pada dua sahabatnya.
“Entahlah, Dir. Yang jelas Pencipta menyukai sekelompok orang yang menebarkan kasih sayang, bahkan terhadap seekor kucing sekalipun”, Jawab Samin mantap.
“Jika mengawinkan kucing menjadi tradisi tiap tahun untuk menghindari kemarau panjang bagaimana? Apa tidak sesat?”, tanya Tejo dengan hati-hati.
“Tradisi itu ibarat api. Api bisa digunakan untuk memasak dan juga bisa digunakan untuk membunuh. Kita mau memasak atau membunuh?”, jawab Samin yang disertai dengan keheningan.
***
*Cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen berjudul “Cinta dan Pala” karya Akhmad Idris. Dapatkan bukunya (di sini) untuk mendapatkan potongan harga.
Akhmad Idris. Lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang lahir pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Dapat dihubungi di fb Akhmad Idris, dan ig @elakhmad dan @wnkuri_official.