Memang benar, Mad Badal hanya senang memperhatikan sesuatu yang dirasa menarik perhatiannya. Karena itu, setiap tingkah seseorang yang sering diperhatikannya, bisa ia ikuti. Tetapi semua orang di kampung ini tahu, bahwa Mad Badal tidak mungkin bermain silat. Meski ia senang memperhatikannya, ia terlalu bodoh untuk melakukan hal serumit itu. Jangankan silat, untuk mengancingkan kemeja saja ia masih dibantu orang lain.
Saat terdengar kabar bahwa Ki Darja—ketua silat di kampung itu, mencari orang baru untuk dijadikan pemain silat karena kekurangan personel, orang-orang mengajukan nama Mad Badal. Entah dari mana lelucon itu berawal, tetapi itu benar-benar terdengar tidak masuk akal.
Mad Badal mengalami kelainan pada saraf motoriknya sejak lahir. Fisiknya normal, tak satu pun kurang. Tetapi, di usianya yang saat ini menginjak 40 tahun, ia bahkan kesulitan melakukan hal-hal sederhana yang seharusnya bisa dilakukan oleh anak-anak. Seperti mengancingkan kemeja, mengenakan celana, makan, dan berbicara dengan fasih. Ia bahkan tak pernah berjauhan dengan lap di lehernya karena setiap saat air liurnya akan berubah deras dan membasahi bajunya.
Seperti seorang anak kecil yang memiliki rasa penasaran tinggi, Mad Badal sering kali memperhatikan sesuatu terlalu fokus. Jika dirasa menarik perhatiannya, ia bahkan lupa untuk mengatupkan bibirnya dan air liur akan mengalir begitu deras dari mulutnya.
Salah satu hal yang selalu membuatnya tertarik adalah penampilan Silat Rohmadi. Pencak silat itu selalu dimainkan di setiap acara besar yang dilaksanakan di kampung itu. Dinamakan silat Rohmadi karena konon, orang yang pertama kali mencetuskan silat yang juga diiringi penampilan debus dan rampak gendang ini adalah seorang pria dengan ilmu ketahanan diri yang dimilikinya. Orang itu bernama Rohmadi. Hingga kini, Silat Rohmadi masih sering dipertunjukkan. Meski pencetusnya telah wafat, silat ini masih dilaksanakan oleh penerusnya.
Sore ini, Mad Badal bersama teman-temannya yang lebih pantas menjadi cucunya itu tengah menyaksikan para pemain Silat Rohmadi di sebuah pesta khitan. Keluarga yang mengadakan pesta khitan itu adalah seorang juragan di kampung itu. Mad Badal yang tengah sibuk memperhatikan pemain silat beraksi, tampak tak berkedip. Wajahnya menyimpan kekaguman dan matanya tampak berbinar-binar.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi ia begitu menikmati pertunjukan itu. Saat seorang pemain silat meliukkan golok di tangannya, riuh suara penonton terdengar. Di saat seperti itu Mad Badal akan terkejut dan teman-temannya yang memperhatikan selalu terkikik geli.
“Tepuk tangan, tepuk tangan. Hore, haha, hore.”
Katanya begitu semangat. Bocah-bocah yang duduk di sekitarnya hanya tertawa. Kemudian mereka akan bertepuk tangan karena Mad Badal menyuruh mereka melakukan hal sama.
Ketika azan magrib berkumandang, usai pula pertunjukan silat itu. Mad Badal memutuskan untuk pulang ke rumah setelah salah satu bocah itu mengingatkannya.
“Ayo, pulang. Sudah mau malam.”
“Sudah malam? Gelap?”
“Ya, langit sebentar lagi gelap.”
“Badal harus pulang, ayo kita pulang.”
“Ayo.”
Mad Badal berjalan beriringan dengan bocah-bocah itu hanya sampai pelataran surau. Saat berjalan menuju rumah, ia hanya sendirian karena teman-temannya pergi mengaji. Mad Badal berencana untuk libur mengaji karena ia merasa perutnya begitu sakit. Tetapi, saat ia hendak masuk ke dalam rumah, ia tak sengaja tertubruk seseorang.
Mad Badal tak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu. Seluruh wajah dan tubuhnya tertutup sempurna dengan sebuah kain. Mad Badal berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor. Setelah diam sejenak, ia segera masuk ke dalam rumah karena sesuatu yang mendesak tak tertahankan di bawah sana.
“Bagaimana tadi, Nak, apakah seru?”
Tanya ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makan untuk Mad Badal. Ia mengangguk-angguk begitu semangat. Tangannya bertepuk dan matanya kembali berbinar.
“Seru, seru. Hore.”
“Mau menontonnya lagi?” Ibu mengelap air liur di dagu Mad Badal.
Mad Badal mengangguk berulang kali.
“Badal mau nonton, Badal mau nonton.”
“Baiklah, kalau begitu kau harus makan yang banyak supaya besok bisa menontonnya lagi.”
Mad Badal menerima suapan itu ke dalam mulutnya. Tetapi saat ibunya akan menyuapinya lagi, Mad Badal tiba-tiba saja mengangkat telunjuknya ke atas. Itu adalah gerakannya ketika mengingat sesuatu.
“Ada apa , Badal? Apa kau mengingat sesuatu?”
Badal mengangguk-angguk lagi. Kali ini ia menunjukkan luka di sikutnya.
“Apa Badal jatuh?”
Badal mengangguk, “Badal jatuh.” Ia kemudian mendorong bahunya sendiri.
“Apa Badal habis tertabrak seseorang?”
Badal mengangguk-angguk lebih cepat.
“Temanmu?”
Badal menggeleng.
“Kau lihat wajahnya?”
Badal menggeleng. Kemudian ia mengangguk. Tetapi ia kesulitan untuk mengatakannya. Seperti sebuah ilham, ia tiba-tiba ingat pada teman-temannya yang selalu bermain sarung saat mengaji. Badal mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Ninja! Ninja!”
Ibunya seperti terkejut, tapi ia tak begitu menghiraukannya. Ia justru menyuruh Mad Badal untuk segera tidur.
Setelah menghabiskan sepiring nasi, Mad Badal pergi ke kamar. Ia tertidur begitu pulas setelah lelah menyaksikan pertunjukan silat yang begitu ia sukai.
***
Pagi itu, dari bilik kamarnya, Mad Badal mendengar suara berisik orang-orang di luar. Sangat berisik sehingga membuatnya segera bangun. Begitu keluar kamar, ia segera mencari keberadaan ibunya. Ia pergi ke dapur, ibunya tak ada di sana. Ia lantas pergi ke kamar mandi, kamar yang tak terpakai dan kini beralih fungsi menjadi ogah. Tetapi ibu tak ada di sana juga.
Semakin kencang suara ribut di luar sana, jantungnya semakin berpacu cepat. Tak biasanya ibu pergi sepagi ini. Mad Badal sudah berlinang air mata. Ia kerepotan mengelap ingus dan air matanya.
Ia kemudian keluar rumah. Saat melihat ke arah barat pekarangan rumahnya, ia menemukan ibunya tengah berbincang dengan para warga. Mad Badal menghampiri ibunya.
Seorang pria setengah baya tampak berjalan bolak-balik. Beberapa warga terlihat berusaha menenangkannya. Ternyata, semalam telah terjadi pencurian. Tepatnya setelah magrib.
Pria paruh baya yang mengenakan sarung dan singlet sambil berjalan mondar-mandir itu adalah korban pencurian. Ia kehilangan 2 ekor kambing miliknya. Selain itu, si pencuri yang serakah itu juga mencuri 3 ekor ayam jantan, 1 ekor ayam betina beserta anak-anaknya yang baru menetas dan sepasang cendet beserta kurungnya.
Semua warga terlihat begitu kesal dan menyumpah serapahi si pencuri yang begitu serakah itu. Mereka berencana untuk menangkap pencuri itu malam ini. Mereka bekerja sama dengan petugas pos kambing untuk membuat jebakan.
Mad Badal hanya diam menahan lututnya yang gemetar. Saat ibu menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah, Mad Badal terlihat ingin mengatakan sesuatu. Ia juga menggerak-gerakkan tangannya untuk meminta atensi dari warga yang lain. Namun, bukan kata-kata yang keluar, air liurnya justru yang mengalir membasahi dagu dan bagian dadanya.
Para warga tampak melengos dan akhirnya kerumunan itu terurai perlahan.
“Kenapa kau sudah bangun sepagi ini, Badal?”
Badal menutup telinganya dan berteriak. Air liurnya semakin tumpah ruah ke mana-mana.
“Oh, kau mendengar suara berisik dari luar sehingga membuatmu terbangun?”
Badal mengangguk.
“Pencuri?”
Ibunya hanya menoleh pada Mad Badal.
“Ya, ada pencuri semalam. Sehabis magrib. Ketika Badal pulang dari menonton pencak silat.”
Mad Badal seperti teringat sesuatu. Ia berteriak tidak jelas dan menarik-narik lengan ibunya.
“Kenapa Badal? Ada apa?”
“Ninja. Ninja”
Mad Badal mengetahui sesuatu tetapi ibunya justru membujuknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Apa Badal ingin sarapan?”
Badal mengangguk-angguk. Ia selalu bersemangat kalau tentang makanan.
***
Menjelang magrib, ketika malam menggelarkan gelapnya, rumah-rumah mulai menyalakan lampu. Semua tirai jendela ditutup. Mad Badal sudah siap dengan kopiah di kepalanya. Ia mendekap sebuah iqra di dadanya.
“Badal, nanti ibu akan menjemputmu ke surau. Jika sudah selesai, jangan ke mana-mana dan tunggu saja sampai ibu datang, ya?”
Badal mengangguk. Ia lantas pergi ke surau setelah mengucapkan salam.
Rupanya ia menjadi orang pertama yang tiba di surau. Karena itu, ia selesai mengaji lebih awal. Mad Badal tak pernah nakal. Jika sudah selesai mengaji, ia hanya akan berdiam diri di dekat beduk sambil menunggu ibunya datang menjemput.
Tetapi, malam itu, ia melihat sesuatu yang tak beres. Mad Badal melihat seorang ninja yang menabraknya kemarin malam. Terlalu penasaran, ia akhirnya mengikuti si ninja itu.
Mad Badal melihat si ninja berjalan mengendap-endap. Ia tak tahu ada di mana, ia rasa semak-semak setinggi dadanya itu semakin menghalangi jalannya. Tetapi Mad Badal tak boleh kehilangan si ninja. Ia benar-benar penasaran dan ingin berkenalan dengan si ninja.
Karena terlalu asyik membuntuti si ninja, ia tidak menyadari bahwa dirinya berada di belakang rumahnya. Malam ini, Mad Badal begitu ingin berteman dengan si ninja. Sehingga bagaimanapun, ia harus bertemu dengannya. Tetapi, di depan sana, ia melihat si ninja menghampiri seorang wanita tua. Di tangannya sebuah balok kayu seukuran lengan orang dewasa.
Berpikir bahwa ibunya berada dalam bahaya, Mad Badal segera berlari menerjang ninja itu. Tubuhnya setengah terbang. Kakinya mendarat tepat di punggung si ninja sehingga dia tersungkur. Balok kayu itu terlempar dan menimbulkan suara sehingga menarik perhatian ibunya. Begitu berbalik ke belakang, ia begitu terkejut melihat putranya tengah menghajar seseorang.
Di tengah perkelahian itu, para warga yang berniat menangkap si pencuri datang terengah-engah. Sementara itu, Mad Badal tak hentinya menghajar si ninja. Pemandangan itu membuat orang-orang di sana tak percaya. Mereka memastikan berulang kali kalau yang menghajar seseorang itu adalah Mad Badal. Saat dirasa tak ada lagi perlawanan, Mad Badal menghentikan pukulannya. Ia berdiri.
“Ninja. Pukul ibu.”
Ibunya tampak terkejut. Sesaat ia menyadari sebuah balok kayu yang beberapa waktu lalu melayang di dekatnya. Para warga laki-laki dan petugas pos kamling mengamankan pria itu. Setelah dibawa ke rumah pak RT, ninja itu sadar. Ia kelojotan dan berusaha kabur. Matanya tampak mengawasi sekitar.
Di situasi lain, Mad Badal yang masih penasaran wajah si ninja yang hendak memukul ibunya itu datang ke rumah pak RT. Saat kepala Mad Badal menyembul di balik kerumunan dan secara langsung menatap wajah babak belur di hadapannya, si ninja itu berteriak. Ia memberontak hendak lari. Semua warga heran. Tetapi akhirnya, perkara telah ditemukan titik terangnya.
Si Ninja itu adalah pelaku pencurian kemarin malam. Ia mengakui perbuatannya dan berulang kali memohon ampun pada Mad Badal.
“Semua yang saya curi akan saya kembalikan, tetapi saya mohon ampun Pak, Bu. Jangan biarkan orang ini menghajar saya lagi.” Si Ninja menunjuk wajah Mad Badal. Semua orang mematung dan heran.
Dila Azka Nabila, lahir dini hari di kota Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Puisi-puisinya pernah di muat di media daring dan cetak. Dapat ditemui di instagram @dilaazn atau email dilaazkan243@gmail.com.