Madeline

18/09/2024

 

Di layar tv, terlihat wajah tegang seorang pilot. Dia adalah Philip Mehrtens, pilot Susi Air dari Selandia Baru, yang diculik oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di Nduga, Papua, sejak 7 Februari 2023. 

Aku melihat Mehrtens dikelilingi oleh anggota TPNPB yang memegang senapan dan busur. Di antara kerumunan, bendera Bintang Kejora berkibar. Konon, adalah simbol perjuangan kemerdekaan bagi rakyat Papua. Maka, tak heran ketika TPNPB menuntut pengakuan kemerdekaan, sebagai satu-satunya syarat untuk membebaskan Mehrtens.

Saat berita itu bergulir. Sebuah kekuatan magis menarikku ke masa lalu. Sosok ibu tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Dulu, kami sering mengobrol tentang berbagai hal, dari berita politik hingga gosip ringan, sambil menikmati makan malam bersama.

Jika aku masih tinggal bersama ibu, topik ini pasti jadi bahan obrolan hangat di meja makan. Aku membayangkan ibu dengan suara lembutnya bercerita tentang situasi di Papua dengan bersemangat.

Sambil senyum-senyum sendiri, aku mulai menerka-nerka, apa yang akan ibu katakan tentang situasi ini.

Apakah ibu menganggap mereka sebagai pemberontak, dan melabelinya sebagai kelompok separatis? Atau ibu justru mendukung perjuangan TPNPB untuk kemerdekaan Papua? 

***

Malam itu, meja makan sederhana kami dipenuhi dengan hidangan yang menggugah selera. 
Ada nasi putih yang masih mengepul, sepiring ayam serundeng, dan semangkuk sayur asem yang baunya sangat harum. Lalu, di sampingnya, hadir sambal terasi yang terlihat pedas dan segar, serta kerupuk udang yang begitu menggoda. 

Sambil menyantap hidangan, ibu bercerita. “Kamu tahu gak, ini cerita dari tetangga ibu di kampung dulu. Tetangga ibu dapat cerita ini dari orang tua di sana,” katanya sambil menyuapkan nasi dan potongan ayam serundeng ke mulutnya. 

Ibu bercerita tentang seorang lelaki bernama Kusuma. Ia mencintai seorang perempuan bernama Madeline. Kusuma pun melakukan segala cara untuk mendapatkan hati Madeline. Ia tak ragu mengeluarkan banyak uang, hingga berhutang pada orang-orang terdekatnya.

Tiap hari, Kusuma memberikan bunga dan puisi kepada Madeline. Kusuma bahkan mengorbankan waktu dan tenaganya, untuk membantu menyelesaikan tiap masalah hidup Madeline, secara sukarela. 

Selama bertahun-tahun, Kusuma tetap setia. Ia selalu berharap usahanya membuahkan hasil. Hingga akhirnya, setelah bertahun-tahun berjuang, Kusuma berhasil memenangkan hari Madeline.

Cinta Madeline, perlahan tumbuh. Mereka mulai menikmati kebersamaan dalam hubungan asmaranya. Tawa dan bahagia sudah menjadi makanan sehari-hari. Pokoknya, dunia seolah-olah cuma berpihak pada mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka mulai retak. Kusuma mulai menunjukkan sifat aslinya. Sikapnya berubah kasar dan tak lagi menghargai Madeline. 

Ternyata Kusuma adalah seorang mucikari. Ia memaksa Madeline untuk menjadi budak seks. Menjualnya kepada lelaki lain untuk mendapatkan keuntungan. Madeline harus melayani pria-pria yang membayar mahal untuk tubuh indahnya.

Tiap kali Madeline minta putus, Kusuma tak segan-segan menyiksanya. Maka, tubuh Madeline selalu penuh luka lebam. 

Meski begitu, masih banyak pria yang ingin menikmati tubuhnya tanpa rasa kasihan. Mereka tidak peduli dengan penderitaannya. Mereka hanya melihatnya sebagai objek untuk memuaskan nafsu.

Begitulah cerita yang disampaikan ibu. Saat cerita selesai, makanan di meja sudah habis. Namun, rasa penasaranku tentang kisah Kusuma dan Madeline masih tersisa. Ibu berjanji akan melanjutkan ceritanya besok malam saat makan.
Tapi keesokan harinya, kami justru lupa, dan berbincang tentang hal lain.

***

Kesadaranku kembali ke kamar kos. Nama TPNPB dan Mehrtens berlarian di kepalaku. Jejak-jejak kakinya pun meninggalkan banyak pertanyaan di benakku.

Demi menghapus kebingungan ini, aku mulai menyelam di internet. Artikel demi artikel kubaca. Mencoba sedikit memahami akar permasalahan di Papua.

Membaca paragraf demi paragraf. Dadaku terasa berat. Nafasku mulai tersedat-sedat. Hingga aku terpaksa berhenti sejenak. Aku tak sanggup melanjutkannya tanpa menghela nafas panjang. 

Selesai nafas panjang kudapatkan. Lidahku mengecap rasa asin bulir-bulir air mata yang masuk dari pinggiran bibirku. Aku mulai meratap. Betapa ironisnya, sebuah pulau yang begitu kaya, justru dibiarkan untuk menernak kemiskinan.

“Tak mengherankan,” pikirku. 

Di balik hutan-hutan rimbun dan gunung-gunung yang kokoh di Papua, tersimpan kemarahan yang tersembunyi. Seperti bara yang terpendam. Amarah itu terus menyala. Menanti waktunya kapan untuk meledak.
Aku terhanyut dalam angan-angan sambil menutup mata. Membiarkan pikiranku melalang buana. Hingga akhirnya semua angan-angan itu memupuk menjadi satu pertanyaan. 

Apa yang bisa dilakukan untuk mengukir kembali kepercayaan rakyat Papua?

***

Aku terdiam. Mencoba meredakan kekacauan dalam pikiranku. Pertanyaan demi pertanyaan terus berlari-larian di kepalaku. Tak henti-henti, dan malah membawaku pergi kepada kisah yang pernah diceritakan ibu.

Kisah Kusuma dan Madeline yang diceritakan oleh ibu menjadi refleksi yang relevan. Seperti Madeline yang mengharapkan ketulusan cinta dan kebebasan. Papua juga mengharapkan keadilan dan kesejahteraan.

"Papua, engkau seperti Madeline" bisikku.

Aku membayangkan tanah Papua yang terkoyak, hutan-hutan rimbun lenyap, sungai-sungai tercemar, serta sumber dayanya dihisap sampai kering. Baik Papua maupun Madeline sama-sama menjerit, tetapi jeritan mereka tak pernah didengar. Suara mereka tenggelam oleh teriakan kerakusan dan keserakahan yang lebih nyaring.

"Seberapa lama lagi mereka akan bertahan? Papua, engkau seperti Madeline" bisikku.

Baik Papua maupun Madeline sama-sama menjerit, tetapi jeritan mereka tak pernah didengar. Suara mereka tenggelam oleh teriakan kerakusan dan keserakahan yang lebih nyaring.

"Seberapa lama lagi mereka akan bertahan?" tanyaku dalam hati.


Muhammad Ridwan Tri Wibowo, mahasiswa PBSI UNJ 2022.
Instagram: @mridwantw