Dulu, saat kuliah Marni terkenal cantik dan pintar. Tapi sampai kini tak pernah terdengar kabar ada lelaki yang sudah memperistrinya.
"Aku sudah punya calon, tapi—jujur—tak begitu sayang," pernah Marni menulis pesan singkat itu, belasan tahun lalu. Ya, belasan tahun lalu saat awal kepindahannya dari Bandung ke Bali.
Tapi Rudi mengalihkan pembicaraan itu pada hal lain. "Buku puisimu sudah rampung, Mar?" Marni pun tak menjawab. Sejak itu mereka putus kontak.
Tapi hari ini Rudi menunggu kabar dari Marni. Apakah jadi datang ke Bandung? Kemungkinan Marni naik kapal laut dari Bali, dan hari kedua barulah tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Dari Priok langsung ke Bandung akan memakan waktu lebih dari enam jam. Bisa dibayangkan tubuh Marni remuk redam karena kecapaian. Tapi mengapa belum ada kabar jadi berangkat atau tidak?
"Atau apakah Marni hanya bikin April Mop?" Pikir Rudi. April mop itu semacam ‘menghalalkan berbohong’ pada saat tanggal satu di bulan April. Rudi penasaran, dia lirik kalender di ruangan kerjanya. Ah, ini sudah bukan lagi Bulan April.
Atau bisa jadi Marni sengaja tidak mengabari untuk bikin kejutan. Rudi pun tahu Marni mendapat undangan sebagai pembicara pada seminar di salah satu kampus di Bandung.
Tentu panitia sudah menyiapkan tiket pesawat berikut akomodasinya. Jadi kalaupun tidak berniat khusus bertemu dengannya, Marni tetap akan ke Bandung memenuhi undangan panitia.
Malam itu, sekitar jam sembilan Rudi menikmati kopi hitam pada sebuah kafe. Tiba-tiba HP-nya berdering. Ada panggilan dari Marni. Rudi tersenyum.
"Aku jemput sekarang?" girangnya.
"Nggak usah, Rud!" jawab Marni. Dan Rudi kaget. "Lho, kenapa?!"
"Aku sudah sampai Bandung, dan aku ada di belakangmu!" Jawab Marni seperti lelucon.
Rudi tak percaya, tapi tak urung dia balikkan badan- nya. Dan memang Marni sudah berada di belakangnya sambil memegang HP. Rudi terkaget-kaget. Ajaib!
"Ajak aku makan, tapi jangan di sini. Aku lapar banget, Rud!" tanpa basa-basi Marni menarik lengan Rudi.
Walau Rudi masih kaget dan setengah bingung, antara percaya dan tidak, dia pun menuruti Marni. Ah,
Marni belum berubah, pikir Rudi. Sejak dulu suka bikin surprise!
Suasana rumah makan tak begitu romantis karena Rudi memilih tempat makan biasa dan sederhana. Tak ada live musik. Hanya suara pengamen yang mencari uang recehan, datang dan pergi bergantian.
"Capek, ya?" Rudi menatap Marni yang langsung mengangguk dan tersenyum. Rudi tak percaya senyum yang manis itu nyata sekali di hadapannya.
"Ya, selesai ini anter aku cari hotel untuk istira- hat," pinta Marni sambil mulai menggigit ayam goreng pesanannya.
"Gampang, kita cari hotel terdekat." Jawab Rudi semangat.
Setelah Marni mendorong sendok terakhirnya, Rudi segera membayar dan mereka langsung mencari penginapan.
Tak sampai dua puluh menit, mobilnya sudah sampai di depan Hotel bintang di kota yang tak pernah tidur ini. Bandung kini, berbeda dengan saat mereka kuliah di jalan Dago dulu, sekira tahun 90-an.
Kota ini sudah seperti Jakarta atau metropolitan lainnya. Kota yang dulu dijuluki kota kembang ini pun mulai panas. Hingga tak jarang, walau masih pagi, baju kita sudah basah oleh keringat.
"Ini hotel yang nyaman untuk istirahat," kata Rudi sambil turun dari mobil dan menguncinya.
Marni tengadah memandang hotel berlantai 12 yang menjulang depan matanya. Langit malam pun penuh bintang seperti hotel yang benderang itu. Lalu mereka masuk dan menunggu di lobby.
Setelah petugas front office memeriksa kamar kosong dan menyiapkannya, seorang resepsionis yang wajahnya mirip Dian Sastro itu memberitahu: "Kamar 510, sudah siap. Untuk atas nama siapa? Mohon KTP-nya," katanya lembut. Marni pun menyerahkan kartu tanda pengenalnya.
"Selamat istirahat," si Dian Sastro mengucap salam setelah menyerahkan kunci kamar.
Mata Rudi nyaris tak berkedip melihat perem- puan itu, sekiranya Marni tak berdehem.
"Apa semua lelaki mata keranjang?" Marni me- nyenggol.
"Aku suka perempuan yang menarik," jawab Rudi sambil berjalan menuju lift.
"Yang seperti apa?" tanya Marni sambil berjalan mengikuti Rudi. Mereka harus naik lift untuk mencapai kamar di lantai 5. Bau kemenyan tiba-tiba menusuk hidung. Aneh, pikir Rudi, hotel semegah ini masih percaya klenik.
"Yang pandai dan cantik seperti kamu!" rayu Rudi sambil masuk ruang lift diikuti Marni yang mencibir. Mereka keluar lift setelah pintu lift terbuka di lantai lima. Tak lama berjalan setelah belok kiri, mereka me- nemukan kamar nomor 10.
Marni menggesekkan kartu kamar ke sebuah titik yang menyala dekat gagang pintu, yang secara otomatis berbunyi dan membuka pintu kamar.
Tempat tidur, bantal, guling dan selimut berwarna putih terlipat rapi. Dilengkapi televisi, AC dan toilet dengan shower dan air panas. Kamar yang sungguh nyaman untuk kencan.
Diciumnya mulut Marni untuk pertama kalinya. "Mimpi indah, ya..," Rudi segera pamit mengingat wajah Marni yang tampak sangat pucat. Mungkin terlalu capek. Rudi lalu memijit tombol lift turun. Bau tak sedap tiba-tiba menusuk hidungnya lagi.
Besok harinya Rudi menghubungi Marni lewat telepon genggamnya. Tapi tak diangkat. Kemudian melalui WA, tapi juga tak diangkat.
Rudi menulis WA lagi, bertanya harus menjemput jam berapa. Karena kalau tak salah ingat, Marni mesti jadi narasumber pada jam pertama seminar, sekitar jam 09:00 pagi. Ditunggu lima menit tak ada jawaban, Rudi pun menyusul ke hotel tempat semalam Marni menginap. Takut Marni terlelap.
Setelah diantar seorang office boy ke lantai 5, Rudi pun mengetuk kamar Marni. Beberapa kali diketok lagi, kamar tak dibuka. Rudi melihat nomor kamar untuk meyakinkan. Ini lantai 5 benar, kamar nomor 510. Ya. Tapi tak ada jawaban dari kamar itu. Rudi pun menyerah dan turun ke resepsionis untuk minta tolong.
"Kamar nomor 510 itu sejak kemarin kosong, Pak. Tak ada yang mengisi. Namanya siapa?" Resepsionis bertanya.
"Marni, Marni Nia Susilawati," terang Rudi. Resepsionis dengan cermat meneliti daftar tamu.
Telunjuknya yang mungil dan lentik pelan-pelan menelisik daftar tamu yang menginap dan check in sejak kemarin.
"Bapak yakin nama itu? Bapak yakin dia nginap di hotel ini? Tapi mohon maaf, tak ada nama tersebut, Pak."
"Yakin, Mbak. Malahan saya yang mengantarnya sampai kamar," jelas Rudi.
Rudi pun menerangkan ciri resepsionis yang memberinya kunci kamar, jam check in serta detail lainnya. Tapi dengan yakin resepsionis mengatakan tak ada nama Marni sebagai tamu. Dia pun menerangkan tak ada karyawan FO dengan ciri yang disebutkan Rudi karena yang bertugas malam kemarin kebetulan lelaki. Rudi pun meninggalkan lobby hotel dengan seribu pertanyaan.
Marni memang tak jadi ke Bandung untuk mengisi acara seminar sastra, ternyata. Ada sesuatu yang terjadi pada dirinya yang tak diketahui Rudi sebelumnya. Dan ini sangat mengejutkannya.
Dia dapat kabar dari Anton, kawan Rudi yang dosen sekaligus panitia acara yang mengundang Marni itu. Bahwa, pesawat yang ditumpangi Marni dari Denpasar ke Jakarta, mengalami kecelakaan. Oh, Rudi teringat berita di TV yang mengabarkan hal tersebut.
Tak terbayang kalau ternyata Marni naik pesawat yang jatuh itu. Walau belum diketahui pasti berapa penumpang yang meninggal atau selamat.
Lalu siapa yang ditemaninya makan malam kemarin itu kalau bukan Marni? Siapa yang diantarnya ke kamar hotel itu?
Baru pertama kali ini, dalam seumur hidupnya, Rudi mengalami hal yang sangat misterius itu.
Dedi Tarhedi lahir di Bandung, 6 April. Setelah pulang dari Timor Timur sekitar tahun 2000, cerpen-cerpennya dimuat di koran daerah Kabar Priangan, Radar, Tribun Jabar, Pikiran Rakyat dan Media Indonesia.
*Cerpen ini diambli dari buku kumpulan cerpen berjudul “Darah Maria di Sudut Dili” karya Dedi Tarhedi. Banyak cerpen lainnya yang sangat menarik untuk dibaca di buku kumpulan cerpen “Darah Maria di Sudut Dili”. Dapatkan bukunya di sini untuk mendapatkan potongan harga.