Menara Emas di Tengah Kota

15/01/2025

 

“Semoga arwah sahabat kecil kita diterima di dalam Taman Keabadian dan di sana tidak ada lagi rasa sakit, lapar dan penderitaan.” Pendeta Simeon menutup kitabnya. Tanah kuburan di kakiku yang telanjang terasa hangat, sisa  matahari dan air mata. Aku berdiri di sisi kuburan sambil menggenggam sebatang tongkat kayu. Aksi pemberontakan oleh warga kota akan dilakukan tengah malam, setelah pemakaman Maria Ferina ini selesai dilaksanakan. Gadis berusia 8 tahun yang mati itu menjadi cincin granat yang telah dilepas. Sebelum aku memberitahu kalian bagaimana aksi pemberontakan ini terjadi, aku akan menceritakan kejadian yang dialami kota ini. Tropolo, kota kecil tempat kelahiranku dan sekitar 800 warga lainnya, di sebuah negeri kecil bernama Isodil.

Selama ini aku beranggapan bahwa kematian selalu datang kepada orang-orang yang sudah tua. Misalnya Papa Fredrico yang meninggal tahun lalu, pria berusia 82 tahun pemilik toko roti, atau yang dulunya pernah memiliki toko roti. Bertahun-tahun sebelum Papa Fredrico meninggal ia sudah menutup tokonya karena tidak sanggup membayar beban pajak. Kata ayahku, kematiannya seharusnya bisa ditunda sampai Papa Fredrico berusia 100 tahun. Pria itu sangat sehat, selalu tersenyum dan baik hati, semua orang menyukainya, bahkan saat warga miskin menatap etalase tokonya, Papa Fredrico akan keluar sambil memberikan sekantung roti tawar. Namun kondisi itu tidak lagi bisa dipertahankan. Selain karena harga gandum yang makin mahal akibat para penimbun, juga pajak yang dipungut sangat tidak masuk akal. Menurut ayahku, pajak selain menghabisi seluruh kekayaannya juga menghabisi nyawa Papa Fredrico. Aku tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang dikatakan ayahku saat itu. 

Pajak, lagi-lagi aku tidak terlalu paham selain dari uang yang selalu diminta oleh pria-pria berseragam yang dikawal serdadu yang membawa senjata ke rumah-rumah warga setiap awal bulan. Sebenarnya pungutan pajak sudah berlangsung ratusan tahun sejak kota Tropolo berdiri, namun tidak pernah menyakiti warga seperti yang terjadi di tahun-tahun terakhir ini, begitu yang dikatakan ayahku. Saat Aldera, walikota yang memerintah kota sepuluh tahun lalu, kehidupan warga terjamin. Kebutuhan pokok selalu tercukupi. Warga miskin hanya segelintir. Namun setelah Aldera lengser dan digantikan secara curang oleh walikota yang sekarang yakni Rubell, kondisi kota menjadi terpuruk. Mulai dari kenaikan pajak yang tidak diiringi sarana kesejahteraan bagi warga, sulitnya akses warga memperoleh kebutuhan pokok karena barang-barang yang masuk ke kota wajib disortir oleh walikota. Sebagian ditimbun oleh kaum kaya rekanan walikota sehingga membatasi peredarannya kepada warga. Orang-orang yang memiliki toko seperti Papa Fredrico mulai bangkrut satu demi satu, anak-anak banyak yang putus sekolah karena orang tua mereka tidak bisa membayar biaya sekolah, mereka yang tidak membayar pajak dipenjara, orang-orang yang sakit sebagian besar mati karena tidak sanggup berobat, warga miskin kian membludak seperti terjangan rombongan semut menjelang musim hujan.

Ayahku pernah berbincang dengan beberapa kawannya di rumah kami. Mereka mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan oleh walikota. Ke mana perginya uang-uang pajak kami yang tentu besarnya berlipat-lipat dibanding pajak zaman walikota Aldera. Apakah digunakan untuk berfoya-foya oleh keluarga walikota?

Baiklah, sambil kalian menunggu jawaban akan hal itu, aku akan bercerita tentang Maria Ferina. Ia adalah anak dari seorang janda bernama Vivian, suaminya mati bunuh diri di dalam penjara karena tidak tahan oleh penderitaan. Kejadian itu saat Maria Ferina masih berusia 2 tahun. Nasib Vivian semakin terlunta-lunta karena tak ada warga yang sanggup memberinya pekerjaan, dan para bangsawan kota terlalu kikir untuk menambah pembantu di rumah mereka. Vivian hanya bisa hidup dengan memunguti sisa-sisa makanan dari tempat-tempat sampah warga lain. Ketika makin hari warga makin kesulitan pangan sehingga tidak ada lagi sisa makanan yang terbuang, Vivian hanya bisa makan tepung yang ia kumpulkan, yang jatuh betebaran di tanah dari karung-karung yang diangkut dengan gerobak ke dalam gudang rumah walikota Rubell. Hal ini tidak bisa berlangsung lama seperti yang diperkirakan semua orang. Awalnya Maria Ferina sakit-sakitan dan tidak bisa lagi “pergi bermain” bersamaku dan dua anak lainnya. Biasanya kami selalu bertemu di ujung pasar yang sepi, selain mencari sisa-sisa sayuran layu dan busuk, kami juga berdiri di depan toko-toko yang masih buka, berharap ada orang yang kasihan dan melakukan hal seperti yang almarhum Papa Fredrico lakukan. Ya, itulah kegiatan setiap hari yang kami sebut “bermain bersama” karena bahkan sebuah bola pun kami tidak punya dan kami terlalu letih untuk berlarian dan bermain petak umpet. Singkatnya Maria Ferina mati karena kurang gizi dan kelaparan. 

Hal yang lebih mengagetkanku perihal kematian kawan kecilku itu adalah, ayah berkata bahwa Maria Ferina adalah anak keempat belas yang mati dalam bulan ini. Mungkin, kami semua adalah anak-anak yang sedang mengantri untuk sampai pada nasib seperti yang menimpa Maria Ferina. Warga sudah tidak tahan dengan derita kemiskinan, kelaparan dan kematian yang menjadi wabah baru dalam tahun-tahun terakhir. Sejak dua tahun lalu, kami, maksudku, ayahku memimpin sebuah gerakan untuk memberontak.

Setiap malam di hari Sabtu, beberapa orang berkumpul di rumah kami untuk membicarakan pemberontakan. Seperti dari mana kami mulai untuk mengumpulkan simpatisan, apa rencana dan taktik yang akan kami lakukan, bagaimana kami memperoleh akses senjata yang mungkin bisa digunakan, dan hal-hal semacam itu.

Baik, sekarang tiba saatnya aku harus menceritakan kepada kalian apa yang terjadi di rumah walikota. Kalian tidak perlu tahu bagaimana aku bisa mengetahui hal ini. Seperti yang pernah kukatakan bahwa, warga mulai curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh walikota dan sekelompok orang yang sering berkumpul di rumah ayahku, anggaplah salah satunya berhasil mendengar kabar ini dari rumah walikota.

Singkatnya, ada suatu obsesi konyol yang menjadi awal mula penderitaan warga Tropolo, yang keluar dari kepala (atau lebih tepat disebut ruang kosong melompong di bagian paling atas tubuhnya) seorang walikota bernama Rubell, yakni Menara Emas. Ya, dari beberapa orang kawannya, ayah akhirnya mengetahui apa yang sedang direncanakan si keji Rubell. Ia mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya dari warga hanya demi membuat sebuah menara dari emas yang saat ini sedang dikerjakan oleh pengrajin emas di kota sebelah. Rencananya menara itu akan dibawa ke tengah kota Tropolo untuk dijadikan semacam landmark.

Rubell pernah mengatakan bahwa dengan adanya simbol semewah itu di kotanya, maka kota-kota sebelah bahkan Raja Isodil akan terkesan dan memandangnya sebagai walikota yang berhasil dan gemilang. Tentunya hal ini akan membuatnya menjadi walikota yang paling dihormati dan dibanjiri hadiah-hadiah dari walikota lainnya, atau bahkan medali penghargaan dari raja sendiri. Semuanya hanya demi dirinya sendiri. Menara itu tidak ada kaitan dengan kesejahteraan warga kota sama sekali.

Menurut kabar, menara emas itu sudah hampir rampung dan bulan depan akan dipajang di tengah kota Tropolo. Hal ini membuat kelompok pemberontak semakin geram. Mereka sudah mengumpulkan senjata yang bisa mereka usahakan dengan berbagai cara. Alat-alat bertani dan berladang mereka gunakan, berbagai macam senjata tajam sudah diasah, mengenai senjata api mereka bahkan merampok dari kota sebelah. Intinya gerakan pemberontakan ini sudah benar-benar direncanakan dengan matang. Termasuk beberapa penyusup yang akan menebar beberapa titik api di rumah walikota untuk membakarnya. Beberapa lainnya akan menyasar rumah-rumah orang kaya rekan sang walikota.

Ya, hari itu, hari di mana Maria Ferina mati, paginya menara emas itu sudah berdiri di tengah kota. Sebuah menara setinggi 12 meter berbentuk segi panjang dengan ukiran bunga Indian Blanket, simbol kota Tropolo, di bagian atas menara. Bisakah kalian bayangkan benda biadab itu berada di tengah kota yang kumuh berserakan sampah para gelandangan dan bau kematian di mana-mana? Benda angkuh yang salah tempat, seakan menatap jijik pada pijakannya berdiri. Lima serdadu ditugaskan menjaga di pelataran sekitar menara itu. Tugas mereka adalah menghantam orang-orang yang mencoba menyentuh menara itu.

Nah, sekarang apakah kalian sudah mulai tidak sabar dengan pemberontakan yang akan kami lakukan malam ini? Aku adalah yang paling tidak sabar. Aku sudah menggenggam tongkat kayu sejak di pemakaman Maria Ferina. Meski ayah melarangku untuk ikut dalam aksi ini, aku tetap menggenggam erat tongkat itu.

Tepat pukul 12 malam, saat pergantian serdadu jaga di Menara Emas dan saat itulah beberapa warga melumpuhkan para serdadu yang lengah. Warga yang tidak ikut dalam aksi pemberontakan ini mengunci diri di rumah mereka masing-masing, kebanyakan dari mereka adalah wanita, orang tua dan anak-anak. Sekitar 30 pria bersenjata mengendap menuju rumah walikota. Tak kurang dari seratus orang lainnya menyebar membentuk beberapa tim untuk menyerbu rumah-rumah orang kaya. Sebuah isyarat berupa suitan meniru suara burung malam dari arah rumah walikota memberitahukan warga yang tersebar di beberapa tempat bahwa titik-titik api sudah dinyalakan. Dengan demikian warga yang tersebar diberi aba-aba untuk merangsek dan mendobrak kediaman para orang kaya untuk mengambil apa pun yang bisa diambil. Roti, gandum, tepung, mentega, anggur, selimut bulu angsa, pakaian hangat, beberapa perangkat makan dan alat yang bisa digunakan untuk senjata tambahan.

Saat para bangsawan terlelap dan Rubell, dua anak perempuannya yang berusia 12 tahun dan 6 tahun serta istrinya tertidur nyenyak setelah seremoni Menara Emas hari itu, warga membantai para serdadu penjaga yang tidak pernah menduga kekuatan kaum miskin dan sekarat itu. Tidak ada satu pun bangsawan yang selamat dari bacokan dan tebasan warga kota. Bahkan kepala Rubell dipenggal sendiri oleh ayahku. Kedua anaknya dan istrinya pun mengalami nasib yang sama. Darah, darah di mana-mana. Jeritan dan derai air mata ketakutan. Para bangsawan yang memohon pengampunan terkencing-kencing di bawah sabit dan ujung-ujung pisau.

Aksi pemberontakan berlangsung sampai fajar. Ini benar-benar perang besar, oh bukan, pembantaian brutal sepanjang sejarah kota Tropolo. Korban dari kedua pihak tak terelakkan, namun kemenangan berada di pihak warga kota. Asap mengepul di puing-puing rumah walikota. Rubell dan seluruh keluarganya  tewas menggenaskan, demikian pula para bangsawan di rumah-rumah besar mereka, kepala-kepala yang terpenggal betebaran di lantai-lantai marmer mahal dan seprai satin tempat tidur mewah. Kepala pria, wanita dan anak-anak mereka, mayat para serdadu tak kurang banyak bergeletakan di sekitar bangunan-bangunan yang mengepulkan asap itu. 

Warga yang selamat bersorak dan kembali berkumpul di tengah kota. Mereka meruntuhkan menara emas yang baru saja terpajang. Berduyun-duyun mereka mengerik lapisan-lapisannya dan memasukkannya ke dalam kantung-kantung dan membagikannya ke seluruh kota. Kami menang! Kami merebut kembali harta kami yang dirampas selama ini!

*

Pendeta Simeon dan semua yang hadir di pemakaman Maria Ferina sudah pulang. Hanya aku yang tinggal di situ sendirian, menggenggam tongkat kayuku. Aku berdiri lama di sana dengan bertelanjang kaki dan pijakan yang hangat. Pemberontakan itu ada di dalam kepalaku, pembantaian itu ada di dalam kepalaku, kebebasan warga hanya ada di kepalaku. Ayahku bukan pemimpin aksi pemberontakan. Saat ini ayah ada di penjara setelah dihantam laras senjata dan ditangkap serdadu pagi tadi karena meludahi Menara Emas yang baru saja dipasang di tengah kota.

Bagaimana aku bisa mewujudkan semua imajinasi ini sementara bahuku bergetar, mengingat kata-kata ibuku barusan, “Nak, ayahmu mungkin tidak akan pernah kembali pulang.” 

 

Alexandreia Indri Wibawa, lahir tanggal 12 di Tasikmalaya pada bulan Agustus, sejak kecil senang membaca buku, kecuali buku pelajaran. Cerpen pertama ditulis waktu kelas 3 SD, sampai hari ini masih ada sebagai prasasti. Sekarang, kegiatannya adalah Notaris dan PPAT Kota Tasikmalaya, rajin berolahraga karena ingat pesan guru SD-nya yakni Mensana in Corpore Sano. Di waktu luang digunakan untuk melukis Chinese Painting.
Sejauh ini tulisan yang pernah dipublikasikan adalah: 
2005 – “BERONDONG JAGONG” (Pemenang 1 lomba menulis cerpen kategori umum, Zona Kreasi Pitimos dan M&C); “SELAMAT NATAL, FAJAR” (dimuat dalam rubrik Ranesi, RNW website Radio Nederland); 
2006 – “LABIRIN” (Pemenang Lomba Cerita Thriller Stephen King on Writing, yang diadakan Penerbit Qanita-MIZAN); 
2007 – “HILANG” (10 Besar Nominasi Cerpen Terbaik Balai Bahasa Bandung). 
2011 – “KUCING HITAM” (buku kumpulan cerpen diterbitkan melalui Nulisbuku.com) 
2018 – “WARUNG GEMERLAP” (Buku kumpulan cerpen diterbitkan Nulisbuku.com) 
2019 – SUPATA SANGKURIANG(Novel diterbitkan Langgam Pustaka) 
2020 – “SEBOTOL KECIL RACUN” (Antologi Fiksi Mini diterbitkan Langgam Pustaka) 
2021 – “PERJALANAN” (15 cerpen terpilih dibukukan oleh KONTRAS); 
AKU TERLIPAT DALAM BUKU(Antologi puisi diterbitkan Langgam Pustaka) 
2023 – “TUMBUH PELAN(Buku Kumpulan Cerpen, diterbitkan oleh Langgam Pustaka)
2024 – HITAM GEMERLAP (Buku Kumpulan Cerpen, diterbitkan oleh Langgam Pustaka)