Cerpen pilihan dari buku 'Makhluk Utusan' (Langgam Pustaka : 2021)
Aku mencari sesuatu di luar kebiasaanku, menjelajahi hutan misalnya, atau bepergian ke luar kota dengan kereta atau berputar-putar di bandara. Setidaknya aku mencari udara segar di luar. Sepanjang perjalanan sendirian dengan motor, tempat ini yang paling jauh. Selalu ada rasa penasaran tentang apa yang ada di balik belokan, tanjakan, dan turunan. Hingga tidak terasa kilometernya sudah merangkak jauh. Daripada gabut di rumah, memandang laptop dari siang ke siang, aku pamit dan ingin pelesiran.
“Tak ada beban, kerjaan sudah selesai!” Aku bergembira sendiri di atas jok motor, melangkah pergi. Tak ada alat komunikasi atau siapa pun yang aku hubungi. Aku meniru mereka yang berpetualang sendiri. Oh, iya namaku Nirmana, aku ekstrovert yang terkungkung di dalam bak kantor. Rasanya aku ingin menendang kubikel, dinding, dan tanda open/close di front office. Aku ingin berpetualang!
Dalam perjalanan menuju tempat yang tidak ada tujuan, setiap ada jalan lurus aku gas! Aku menerpa angin dan debu, mengejar sesuatu yang berasap di depan. Sesekali aku melirik pengendara lain. Mereka ada yang asyik berduaan, satu cowok di depan dan cewek di belakang berseragam SMA tanpa memakai helm. Mereka yang berboncengan membawa barang dagangan dari atau ke pasar. Mobil bak penuh dengan anak-anak layangan. Bus-bus yang seenaknya mengambil jalur lain. Dan beberapa tipe orang seperti aku, duduk di atas jok sendirian, penuh ransel dan peralatan pribadinya. Contohnya pengendara itu, aku kasih klakson supaya dia tidak merasa sendirian! – aku kejar dan lampaui! – orang itu tidak tersenyum. Mungkin kaget. Hehe .. aku tersenyum sendiri, menebak-nebak pikiran cowok itu. Mungkin gini bahasa cowok, ‘anjir tuh cewek serampangan!’. Atau gini ‘siapa tuh kayak kenal!’ dasar sok kenal! Aku marah sendiri jika sampai ke tebakan itu. Jalanan makin sepi, kendaraan bermotor jauh tertinggal, tinggal mobil bermuatan pasir yang mengambil jalur lain. Aku sudah sampai perbatasan.
Apa iya yah, aku terusin sampai Kota? Atau aku putar balik tapi aku belum puas main. Sekarang baru nyesel handphone gak dibawa. Kalau saja aku bawa, aku hubungi teman yang kuliah di Kota. Aku berpikir keras sambil mengawasi arus jalan. Gas, rem, gas, rem, gas! Otot refleksku sudah otomatis memahami setiap lekukan jalan. Hingga tiba aku di tempat yang aku sendiri belum tahu di mana.
Aku tengok kanan dan kiri, ini wilayah kota. Ramai sekali pengendara. Mungkin aku harus menepi dulu, mampir di warung makan untuk mencoba makanan penambah darah atau sekadar menghirup aroma kopi dalgona. Aku cari parkiran dekat warung makan, ‘Dinner’. Di sini masih kosong, karena warungnya belum buka. Tinggal beberapa jam lagi menuju Maghrib. Apa aku teruskan lagi ya? – aku mengambil botol minum di bagasi, tinggal sedikit. Aku juga harus mencari tempat isi bensin. Aku harus ingat-ingat letak kosan temanku. Saking sibuknya aku mengingat, tidak sempat menegur jika di sampingku telah tiba cowok yang tadi. Ia mengambil air minum di bagasi, mengecek tangki bensin. Dan duduk di atas joknya tampak sedang berpikir.
“Eh, mas, kang. Mau ke mana dan dari mana? By the way tadi mas-nya, kang-nya, yang aku temui di jalan kan?” Aku mengetuk-ngetuk helm yang aku taruh di atas jok. Tidak salah lagi, cowok cupu berkacamata itu memang dia.
“Render, namaku Render. Ya itu, aku!” ia membuka helmnya, tampak rambutnya yang biasa lurus ke depan, masih tertinggal di belakang lalu dia rapikan. Diminum lagi tuh air mineral, dibuka catatannya. Pelanga-pelengo melihat kiri kanan jalan. Kayaknya ada sekrup atau baut yang lepas dari urat lehernya.
“Nyari apa ya?” aku ikut melirik ke kanan dan ke kiri.
“Aku mau ke Kota. Tapi aku belum hafal betul jalannya. Jadi aku ikuti mbaknya.” Katanya, meniru sopan santunku.
“Nirmana, panggil aja aku Nir. Lebih gampang kan? – oh iya masnya bukan asli Sunda ya? – Jawa kali ya?” Aku sok geografis, ya setidaknya tahulah kalau logat yang tebal itu dari Jawa.
“Kok mbaknya tahu?” katanya polos. Nih cowok kalau aku mau aku candai bisa aja. ‘karena mas-nya telah membayar mahal hatiku’. Tapi gak lah, kenal baru juga di jalan.
“Sudah, ah gak penting. Jadi kamu mau ke Kota? Ini pertama kali kamu bepergian sendirian, naik motor? Dan ikuti aku karena ..”
“Aku pikir mbak sudah mengenal jalan, karena mbaknya. Eh maaf, mbak Nir kebut-kebutan. Maksudku ..” cowok itu kebingungan menyelesaikan kalimatnya. Ya sudahlah yah .. aku tepuk pundaknya. Aku mengangguk-angguk. Aku acungi jempol. Karena keberaniannya, karena kebodohannya. Padahal aku juga gak kenal betul nih daerah Kota.
“Tapi, mbak ini sudah masuk ke Kota kan?” pertanyaannya menyulitkanku. Gimana jawabnya yah, lah aku sendiri juga kesasar. “Dari tadi gak ada sinyal, mbak. Mana sudah hampir Magrib lagi.”
“Aku mau nyari mushola dulu ya mbak. Dari tadi aku gak sempat menepi, karena takut ketinggalan mbaknya.” Katanya sambil menggaruk kepalanya. Duh, cowok ini bikin aku merasa bersalah.
“Aku lagi gak sholat!” balasku.
“Aku cuman numpang berak kok mbak!” katanya cengengesan. “Ya, udah mbak. Aku titip motor dan barang-barangku ya?”
Render pergi entah ke arah mana. Mana bisa tahu di mana lokasi mushola kalau belum ada yang azan. Mau nanya orang-orang? Lagian tuh cowok bukannya ibadah malah ingat mushola kalau lagi kepepet BAB. Aku melihat buntelan tasnya yang besar. Nih cowok, mau minggat atau mau kuliah sih? Berat banget bawaannya. Eh ini apa, aku melihat ada jepitan rambut yang terjatuh manakala aku merapikan barang bawaannya. ‘Dasar cowok banci! Punya yang ginian juga! Tapi teman cowok juga ada yang pakai bando di kepala, orangnya bersih, tinggi, cool dan mantap. Katanya bando untuk mengatur posisi rambut. Ya elah, aku salah tanya, tuh teman cowokku memang suka tebar pesona. Gaya rambutnya belah tengah mirip artis Korea.
Aku menatap langit yang sudah mulai membangun slide senja. Duduk agak lama di parkiran membuat pinggang cepat pegal. Tuh cowok belum juga nongol. Pria dalam warung makan keluar, memakai selempang berwarna merah, eh apa ya sebutannya yang biasa dipakai koki itu. Cowok itu tersenyum padaku. Tinggi, rambut sedikit diikat ke belakang. Sopan banget.
“Di dalam mbak menunggunya, sebentar lagi tokonya buka.”
Aku tersenyum. Wah boleh nih. “Oh, iya terima kasih, siap!” aku segera pergi dan melupakan cowok cupu dan barang bawaannya. “Wah, adem ya di dalam.”
Aku melihat rumah makan yang lebih terasa seperti rumah, ada buku bacaan yang terletak di samping kursi. Bentuknya seperti kursi di ruang tamu. Nyaman, enak. Recommended banget. Cowok itu punya daya tarik untuk menghidupkan warungnya. Ia pergi ke dapur dan kembali dengan membawa menu makanan. Baik banget, aku seolah dilayani. Jarang-jarang aku main ke rumah orang, dilayani dengan menu yang bisa aku pilih.
“Menu yang enak di sini apa sih, mas?” aku mencari siasat supaya tidak salah pilih makanan, sebab tidak ada menu yang aku kenal. Serba Korea-Jepang-China gitu. Aku kurang suka dengan penyebutan namanya.
“Sebenarnya di toko kami ada menu spesial.” Katanya tersenyum, nih cowok bisa aja tebar pesonanya. Cocok nih jadi marketing!
“Apa? apa aku pengen tahu!” aku ambil setiap kesempatan agar aku selalu dekat terus dengannya. Jarang-jarang aku temui cowok yang mendekati seleraku gini. Dadaku berdegup manakala melihat otot dadanya dan lengannya yang menyembul karena lengan kaos pendek. Warna kaosnya pun membuat tubuhnya terlihat putih bercahaya. Duh aku ingin segera membungkusnya!
“Sop kulit kepala!” katanya dengan nada biasa. Sapi barangkali ya. Sop kulit kepala sapi. Tapi dia serius, dan tidak ada penyebutan embel-embel sapinya.
“Ah, jangan gitu dong. Sop kulit kepala sapi kan?” Aku berusaha membenarkan pikiran negatif. Masa iya orang ganteng ini psikopat. Tapi dia tertawa. Apa aku lucu ya? Ih dasar cowok ganteng memang suka bercanda berlebihan. Aku yang cantik ini digoda mulu.
“Ya, sudah nanti aku berikan yang spesial untuk pelanggan baruku.” Cowok itu mengangkat berat tubuhnya dan pergi ke luar manakala ada suara bel berdentang. Aku baru ngeh loh ada bel di depan, aku malah nyelonong aja.
“Selamat datang, tuan dan nyonya. Silakan menunggu di dalam, pesanan menu spesial sedang dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai. Oh iya, transferan minggu lalu sangat besar bagi kami. Itu terlalu berlebihan, tuan, nyonya.” Cowok cakep itu sopan sekali menerima pelanggan, ia mengantar dua orang tua itu ke dalam, dengan tetap memamerkan giginya yang putih tertata.
Rupanya dia sedang sibuk, aku nggak boleh mengganggunya. Aku biarkan saja dia bekerja. Duh aku ini siapanya dia ya? Kenapa aku jadi perhatian gini sih. Satu persatu tamu datang dari berbagai usia, parkiran penuh dengan mobil mewah dari berbagai penjuru kota. Para tamu saling menyapa satu sama lain, rupanya mereka saling mengenal. Sementara aku yang sedang mojok sambil baca kumpulan cerpen Pustaka Besar, hanya menatap keceriaan mereka.
Mejaku sudah ada lilin-lilin cantik, sengaja cowok itu pilihin tempatnya. Romantisnya. Ah, aku sudah jadi wanita paling bahagia di dunia ini. Oh cowok misterius, siapakah kamu? Kenapa aku jadi separah ini ya deket cowok?
“Hai, kamu member baru ya?” seorang perempuan muda duduk begitu saja di atas lengan kursi yang aku duduki. Aku menggeser sedikit karena pantatnya yang besar dengan otomatis membuatku menyingkir iri. “Baru lihat.” Katanya sambil melirik oh bukan menerawang tubuhku dari atas kepala sampai ujung kaki. “Hei, kukumu bagus sekali.” Katanya memuji.
“Bokong mbak juga!” kataku.
“Oh, terima kasih. Sudah dari lahir montok gini.” Balasnya.
“Maksudku, bokong mbak mengganggu, aku enggak bisa duduk nih.” Kataku jengkel. Aku tidak tahu sejak kapan aku iri dengan perubahan bentuk kaum wanita lain.
“Eh, sorry!..” ia berdiri. Lalu perhatiannya terlempar pada pria yang sejak tadi menggangguku. “Rey!” teriaknya. Ia memeluk cowok cakep itu. Cipika, cipiki dan berbagai tradisi yang bikin aku mual. Oh namanya Rey, kenapa dari tadi aku tidak berkenalan ya?
“Rey, kamu makin ganteng aja. Coba kamu tebak aku tadi di jalan dapat apa?” katanya. Rey melihatku. Ia lalu menjauhkan aku dari ceweknya.
“Kita bicara di dapur saja ya.” Bisiknya. Dan perempuan itu melangkah gontai. Tanpa sadar ia meninggalkan tasnya begitu saja. Mulut tasnya terbuka ada handphone yang bergetar, cahaya dari display handphonenya menerangi ke dalaman tasnya. Sangat banyak alat kecantikan dan kuku-kuku palsu dan rambut ekstensi. Aku kebayang jika kepalanya plontos, aku geli memikirkannya.
Sudah lewat Maghrib tapi tidak ada suara azan yang terdengar. Apa rumah ini kedap suara. Sementara orang-orang saling bercengkerama dan sambil menunggu makanan utama, mereka hanya mencicipi popcorn saja yang tidak ada rasanya sama sekali.
“Halo, mas Rey maaf aku terlambat. Tadi aku nggak kuat berak dulu!”
Hei, itu suara Render kan? Dia kenal cowok itu. Semesta seolah mendekatkanku pada Rey. Kalau urusan cewek maksimalis itu, gampang. Aku jambak saja rambutnya, pasti botak juga. Aku kembali membayangkan bagaimana jadinya kalau apa yang aku pikir kenyataan.
“Gimana pesanannya, aman?” Rey menerima buntalan besar dari tangan Render. Ia mencuci tangan dulu sebelum membuka kain penutup itu. Render melirik ke kanan dan kiri, aku punya firasat ia sedang mencariku. Dari tadi ia sering pelanga-pelengo melihat ke kiri dan kanan. Padahal tidak ada siapa pun di sekitarnya, hanya ada Rey dan gadis itu.
“Aku, biar aku yang buka ya!” gadis itu mendahului Rey membuka tali pengikat. Kelihatan repot sekali ia membuka buntalan kedua dari tas. Buntalan terbuka. Sebuah benda bundar dengan serabut hitam mirip rambut tergeletak ‘namprak’ di atas meja. “Rambutnya buat aku ya!” wanita itu kegirangan.
“Bawa aja!” Rey memberi pisau kepada gadis untuk menguliti rambut dari kulit kepala manusia. “Hati-hati jangan sampai menu spesial kita rusak. Tamu sudah banyak berdatangan.”
Aku mendengar dan melihat mereka secara terang. Aku merasa hal ini biasa awalnya. Sampai kesadaranku lambat laun makin kuat manakala melihat lintasan darah mengucur merah, dari sayatan kulit kepala. Ini bukan hal yang wajar. Ini kengerian. Dan jepitan rambut yang aku lihat itu adalah …
Aku tidak dapat memberi detail seperti apa perasaanku. Aku berharap bukan kepalaku yang jadi menu selanjutnya. Aku tidak bisa merasakan persendian. Mataku tiba-tiba berkunang, bergetar tubuhku bukan karena demam tapi rasa dingin yang teramat sangat. Aku mencoba sadar dengan apa yang aku lihat baruan, aku berusaha mundur pelan-pelan, berusaha sekuat mungkin untuk keluar dari rumah makan. Berusaha terlihat sebiasa mungkin melewati tamu langganan. Sebelum mereka tahu bahwa aku tahu.
“Mbak Nir? Mau ke mana?” Render melihatku menuju pintu. “Menu spesialnya siap dihidangkan.” Rey menarik celemek dan berjalan ke arahku. Aku berusaha membuka handle pintu, tapi terkunci. Para pelanggan dibuat tertarik dengan apa yang Rey perlihatkan. Pun padaku yang berusaha kabur keluar.
“Biarkan aku pergi!” aku menarik-narik gagang pintu tapi sulit. Rey dengan tangan kanan memegang nampan bertandahkan kepala orang, mendekatiku tersenyum. Ia membelai wajahku.
“Gila kalian!” aku memberontak, aku lempar nampan itu ke lantai, bangkai kepala itu menggelinding di hadapan para pelanggan. Dan seperti monyet yang mengerubungi batok kelapa. Mereka saling berebut, mencakar demi sup kulit kepala manusia. Rey melihat perbuatanku karena menghina caranya memberi makan pelanggan. Seketika ia mencekik leherku dari bekas-bekas darah yang ia sayat dari kepala bangkai tadi. Aku mual!
“Kamu telah membuat kami marah!” begitu dingin dia berkata. Ia mendekapku hingga sulit bernafas, kulihat Render membawa pisau daging dari arah dapur. Ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, seolah ada syaraf yang membentur lehernya. Ia menjulurkan lidahnya, menjilati bibir atasnya. Dan gadis itu teramat girang karena dapat mengoleksi kukuku dan rambutku. Sial!
“Kalian psikopat! Kalian bangsat! Setan!” aku sekalian saja menghina mereka, jika memang ini hari terakhirku aku ingin mereka tahu jika mereka adalah kaum yang biadab. Rendahan. Demi senja terakhir yang kulihat tadi, akan aku laporkan mereka ke pihak berwenang. Kalau aku selamat. Tapi,
“Bodoh ..!” Rey dekatkan mulutnya ke telingaku. Pelan ia berbisik. Aku menangis dibilang begitu, apalagi pria yang ‘pernah’ aku taksir. Otakku mulai tidak waras, biar ganteng dia setan! Biar setan dia ganteng! Air mataku bercampur dengan darah orang lain, ia mengusapnya. Sementara orang selain dirinya sibuk mengerubungi kepala manusia itu. “Bodoh!” katanya lagi pelan.
“Biarkan aku pergi!” bisikku kepada Rey, semoga dia berubah pikiran. Kulihat bibirnya hampir menyatu dengan bibirku, satu senti lagi. Antara ia mau menciumku atau ingin melumat utuh bibirku. “Plis, biarkan aku pergi Rey.” Aku menarik-narik handle pintu, tapi terkunci.
“Wanita bodoh!” katanya pelan. “Pintunya jangan didorong, tapi ditarik!” ia memaksaku keluar dan mendorong tubuhku dengan tubuhnya. Hingga aku terpental keluar dan ia berdiri kokoh di pintu kaca, menjegal orang lain untuk tidak merobek kulit kepalaku. Ia gunakan tubuhnya sebagai perisai. Terlihat pisau dan garpu menancap di bahu, di punggung dan di paha cowok itu. Tapi ia tetap dalam posisi tersebut. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang ada di pikiran cowok badboy itu! Apa ia berkorban untukku?
Aku pukul kepalaku sendiri untuk tetap sadar. Aku ambil kesempatan ini untuk kabur. ‘terima kasih Rey, siapa pun kamu..!’ bisikku dalam hati. Aku segera kembali ke parkiran, mencari motor, memakai helm dan mencari kunci.
“Sial, kunci dan tasku ketinggalan di dalam!”
***
Terima kasih sudah berkunjung dan selamat menunggu Menu Spesial lainnya!!
Agus Sutisna, lahir di Ciamis 1988. Pernah belajar pendidikan Biologi lalu alih pindah ke Informatika, suka ngoding dan ngeblog yang sebagian ceritanya dihimpun ke dalam buku "Makhluk Utusan" dan "Murid Pindahan" (Langgam Pustaka: 2021). Kini berkarir sebagai Kasubag Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas teknik, Universitas Mayasari Bakti.