Menumpang Masuk Surga

12/03/2025

 

Umpatan khas Jawa Timur mengalir nikmat dari mulut Sukri saat ngrasani  Pendik, kakaknya. Sambil menggerutu yang tidak sudah-sudah, Sukri mengakhiri semua muntahan kemarahan dengan akhiran cuk! atau su!. Bisa jadi ia kesal, mungkin juga terlampau pening memikirkan keadaan dunianya yang kembali suram. 

Pendik sudah lima tahun ini sakit jiwa. Kerjanya hanya melamun dan melamun. Terkadang ia tertawa sambil ngudud, tertawa saat melihat bentuk aneh kepungan asap yang berhasil dihembuskan lewat mulutnya. Kadang malam hari ia menangis, sayup-sayup sangat menyayat seperti lelah mengalami penderitaan tanpa akhir. 

Pendik menerima belas kasihan dari tetangga sekitar. Nasi dengan sedikit lauk tempe dan sayur labu siam sering mampir di depan kamarnya. Sehari bisa dua kali. Kalau sedang masa panen tambak atau ada hajatan, Pendik bisa dapat lauk lebih mewah misal lele goreng. Tapi jika saat semua bahan pangan mendadak mahal seperti sekarang, ya dia hanya menerima bantuan seikhlasnya. Toh semua akan ia lahap tak tersisa, orang sakit jiwa tidak usah bingung memikirkan kebijakan ekonomi pemerintah kan.  

Ududnya sendiri sudah pasti ia dapat dari Sukri. Caranya cukup unik, setiap malam Jumat ada tahlil rutinan dusun. Masing-masing rumah digilir seminggu sekali. Seluruh undangan yang hadir menerima berkatan untuk dibawa pulang. Ada juga orang-orang kaya yang menyediakan makanan kecil tambahan macam pisang dan ketela rebus di sela-sela acara. Setelah Ustaz menutup tahlil dengan bacaan Al-Fatihah, biasanya tuan rumah melemparkan sebungkus udud secara cuma-cuma. Sukri sering menang saat berebut, ia tidak lupa membagikan dua-tiga batang untuk jamaah yang lain. Sisanya ia kantongi sendiri sambil berkata nyaring, “Sudah semua yo!” Udud itulah yang ia jadikan penghibur Pendik. 

Hanya itu yang bisa Sukri berikan kepada kakaknya, tidak ada hal lain lagi. Bahkan makanan Pendik juga ia terima dari tetangga. Karena untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari sangat jauh dari mampu. Sukri tidak memiliki pekerjaan tetap, selama ini serabutan. Kalau ada tetangga yang mengajak kerja dia ikut, ngalor yo ngalor ngidul yo ngidul.

Saat dulu disuruh sekolah oleh orang tuanya, Sukri malas-malasan. Ia lebih suka nongkrong bersama kawan-kawan. Skill tidak punya, kualitas otak seadanya. Berbeda dengan Pendik, ia cukup rajin belajar meski juga tidak memiliki prestasi apa pun. Tamat sekolah Pendik ikut bekerja ke kota dengan pamannya. Setelah sang paman pensiun ia langsung menjadi pegawai tetap menggantikan posisi beliau. Beruntung sekali, gajinya lumayan untuk ukuran lulusan SMA. Mulai saat itulah Pendik ikut membantu memenuhi keperluan perut Sukri. Bukannya malu karena ikut hidup dari penghasilan kakaknya, Sukri malah makin asyik bersantai. Kehidupannya mengenyangkan dan menenangkan, tidak perlu repot-repot banting tulang ikut orang. 

Pendik sebetulnya sudah lama ingin menegur Sukri akan hal ini. Masalahnya Sukri sama sekali tidak peduli. Pendik mulai mengurangi jatah udud Sukri, ia juga tidak mengirim sebagian uang gajinya tepat waktu. Pendik tahu Sukri bisa mengamuk, tapi pendiriannya kokoh. Apalagi uang itu juga ia simpan untuk rencana yang lain. Pendik bertemu seorang gadis di kota, dik Rosmala, begitu ia memanggil. Rencananya tak lain adalah persiapan meminang gadis manis tersebut. Sayang, kemalangan menimpa Pendik. Ia mengalami kecelakaan di tempat kerja. Tangan kanannya terpaksa diamputasi karena masuk ke mesin penggiling daging. Rosmala meninggalkannya begitu saja, ini sebab Pendik jadi gila.

***

Hari ini kulihat Sukri di warung kopi selatan Musala, ia menatap serius layar ponselnya. Sebentar kemudian tersenyum, raut wajahnya cerah seperti habis menang togel. Jarang sekali pikirku, aku mendekati lalu memesan secangkir kopi,

“Udud Kri,” kutawarkan bungkusan kretek kegemarannya. Sukri melihatku lalu menggeleng pelan, “tumben?” Sukri tidak menghiraukan pertanyaanku dan masih tenggelam dalam keseriusan di layar ponsel.

“Ini Cak mienya,” suara Asni terdengar dari dalam warung. Sukri segera merogoh saku celana dan memberikan uang pada Asni. Ia bangkit dan menatapku,

“Aku sudah nggak gini Mas,” dua jari Sukri membentuk pose orang sedang ngudud, “makruh.” tutupnya singkat sambil berlalu. 

Aku tidak salah dengar jawaban Sukri. Makruh? Dari mana ia tahu kata-kata itu? Ah, pasti aku sudah melewatkan banyak hal belakangan ini. Asni yang memperhatikan kami dari tadi lantas keluar dan menemaniku bercakap-cakap.

“Sudah hampir seminggu ini Mas dia kayak gitu.” Asni menjelaskan bahwa perangai Sukri mulai berubah. Awalnya ia juga tidak tahu apa yang terjadi hingga Sukri bercerita jika kini sedang gemar mempelajari agama. Tiap hari di luangkan waktu untuk mendengarkan ceramah online dan membaca artikel agama lewat ponsel.

“Cak Sukri tambah baik Mas, mie tadi ia belikan untuk Cak Pendik.” Asni berkata bahwa Sukri sekarang aktif mengikuti pengajian di Musala. Tidak hanya itu, ia berani bertanya macam-macam hukum terkait agama. 

Saat pulang aku terus memikirkan apa yang Sukri katakan di warung kopi tadi. Dulu tidak ada yang mengomentariku ketika mau udud. Udud ya udud saja. Paling halangannya cuma ada uang untuk membeli atau tidak. Sekarang gara-gara Sukri aku jadi memikirkan pasal makruh segala.

Omongan Asni benar adanya, malam Ahad aku melihat langsung Sukri saat di pengajian. Ia jadi aktif dan sering bertanya. Walau pertanyaannya terkadang membingungkan dan berputar-putar, Ustaz tetap menjawab seluruhnya dengan jelas dan gamblang. Ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik, Sukri bertanya apakah orang sakit jiwa itu masuk surga? Ustaz mencoba menjawab dalam kata-kata sederhana yang kiranya mampu ditelan oleh Sukri. Para ulama meyakini bahwa orang sakit jiwa tidak dibebankan hukum agama seperti orang waras lainnya. Namun perihal masuk surga, dilihat dulu sejak kapan ia menjadi gila, apakah terlahir begitu ataukah tidak. 

“Yang penting masuk surga ya Usta,” seloroh Sukri tiba-tiba yang disambut gelak tawa hadirin jamaah yang berbahagia. Lulusan SMP yang mbolosan itu mana bisa mencerna dengan baik maksud di balik penjelasan Ustaz, dibuat gampang saja pikirnya. 

Oh jadi ini alasan tabiat Sukri berubah pada Pendik belakangan ini. Ia girang mengetahui bahwa kakaknya punya peluang masuk surga karena sakit jiwa. Untuk manusia seperti Sukri yang sering merasa kalah di kehidupan dunia, tentu ia berharap kesejahteraan di akhirat. 

“Dia kan sudah saya bantu di dunia, masa di akhirat nggak ingat saya,” jawab Sukri suatu ketika. Ternyata sederhana, Pendik adalah tiket bebas hambatan masuk Surga buat Sukri. Pantas ia menolak bantuan agar Pendik dibawa berobat ke Rumah Sakit Jiwa daerah. Sukri bersikeras akan merawat kakaknya. 

***

Kamar dengan luas 3x2 meter itu berada di bagian belakang rumah, harta satu-satunya peninggalan orang tua mereka. Rumah riwayat itu dihuni Pendik dan Sukri sejak orang tua mereka berpulang. Sukri membersihkan kamar itu setiap hari, mengganti sepreinya dan mencuci celana Pendik yang sudah tercampur kotoran. Ia makin semangat ikut kerja dengan orang-orang, apa saja ia kerjakan. Hari ini setelah ia pamit memancing belut untuk maksud dijual ke pasar, tubuhnya ditemukan sudah tengkurap di samping galengan sawah Pak Silo. Besar kemungkinan kena jantung, atau karena kelelahan.

Malam hari saat menghadiri acara tahlilan yang diadakan di rumah Sukri, aku duduk bersebelahan dengan Asni. Warga dusun bersepakat urunan menggelar tahlilan Sukri, biaya pemakaman juga sudah ditalangi dana desa. Saat masuk rumahnya tadi aku sempat mengintip ke belakang, tampak Pendik tetap melamun menatap jendela kamar. Lusa ia hendak dibawa ke Rumah Sakit Jiwa demi mendapatkan perawatan yang memadai. Aku rasa ini jalan terbaik yang mampu ditempuh dalam membantunya. Setelah pembacaan surah Yasin dan tahlil rampung, Asni menggeser duduknya mendekatiku sembari menawari udud, 

“Cak Sukri masuk surga nggak ya, mas?” tanya Asni, nadanya terdengar sedih. Tatapanku menerawang.

“Ya mbuh, itu hak prerogatif Gusti Allah tho.” Kataku sambil menyalakan udud yang makruh itu. 


 

Faisal Fadhli. Lulusan Fakultas Hukum yang menyukai seni, film, olahraga serta sejarah. Dikenal dengan nama pena GoresTerka, sekarang sedang menekuni dunia kepenulisan. Terutama cerpen, sudah menulis sejak remaja dan mulai mengirimkan karya di tahun 2022. Instagram @goresterka