Menyumbang Kembang pada Malam

16/04/2025

 

Ia menggenggam surat itu dengan jemari gemetar. Sampul pada surat tersebut tertulis, Untukmu, Malik, anakku seorang. Malik baru mengetahuinya sejak empat puluh hari kematian sang Ayah. Saat senja yang kabur diburu azan magrib, salah seorang saudara memberikan kepadanya.

“Apa ini?” gumam Malik, matanya menerawang kosong.

“Entahlah... mungkin kamu akan mengerti setelah membacanya.”

Dengan tangan gemetar, Malik menarik perlahan lem yang merekat di amplop. Aroma kertas menyeruak, membawanya kembali ke lorong kenangan.

Raut wajahnya berubah, dipenuhi kabut duka yang sulit terlukiskan. Permintaan maaf berulang kali terucap di kertas, namun Malik seperti seorang yang tetap jatuh hati tak berujung dan kebanggaan adalah hak mutlak milik sang Ayah.

“Untuk anakku tercinta, semua kewajiban telah ayah tunaikan melalui Pak Sokiri. Tak ada yang tertinggal, tak ada yang terlupa. Maafkanlah segala kekurangan ayah, dan teruslah melangkah. Salam hangat untuk anakku.” 

Dalam benak pikirnya, apakah ada yang kurang? belum usai? Hanya Malik yang tahu.

Pak Sokiri datang, teman sejawat ayahnya. Ia selalu bersama ayahnya ke mana pun, tapi tidak dengan kematian. Jika Malik bertanya, ke mana Pak Sokiri saat Ayah tewas? ia akan menjawab sedang di tempat lain.

“Sudah salat? kalau belum, cepat lah. Nanti kita bicara.” Pak Sokiri menghela lamunan Malik..

Malik langsung masuk tanpa menjawab. Pak Sokiri masuk tanpa permisi seperti rumah sendiri. Ia menunggu Malik salat. Dalam menghabiskan waktu, Pak Sokiri ditemani beberapa zikir dan doa di mulutnya. Selang beberapa menit, Malik tiba.

“Kenapa, Pak?”

“Duduk dulu.”

Malik duduk di depan Pak Sokiri. Tak lama ia berucap kembali.

“Kamu harus selesaikan semua yang sudah Ayahmu kerjakan. Tanpa ketakutan sedikit pun.”

Malik mengangguk tanpa ragu. Ia pasti akan menjadi penerus sang ayah yang gagah berani.

“Ingat kata saya, Lik. Ayahmu dan saya selalu bersama. Saat terakhir kali ayahmu selalu berpesan untuk menjaga dan mengarahkan kepada hal yang baik-baik. Semestinya kamu perlu patuh apa yang diperintahkan ayahmu sendiri.” Suaranya beberapa kali tersendat karena batuk.

Lalu Pak Sokiri bangkit mendekat, membungkuk ke depan Malik. Perlahan ia memukul beberapa kali pundaknya seperti sedang memberikan kekuatan. Setelah itu ia pamit untuk mengajar ngaji di masjid.

Tiba-tiba, bayangan sang Ayah menyelinap ke dalam benaknya, membawa sejuta tanya. Ia ingat bagaimana sang Ayah dan Pak Sokiri terus saja berbincang soal keindahan-keindahan yang kekal, cara menggapainya, hingga Malik ikut senang dan tersenyum gembira.

Ayahnya selalu mengajak Malik untuk duduk bersama jika ada Pak Sokiri. Demikian, membuat kedekatan di antara mereka seperti saudara yang erat walaupun tak sedarah. Di malam-malam lainnya, terkadang Pak Sokiri membuka pertemuan dan diakhiri dengan makan-makan.

Saat-saat kecil dahulu, Malik pun teringat ajakan Ayah ke masjid. 

“Laki-laki yang kuat adalah yang taat,” ucap ayahnya. 

Kalimat itu terus saja bergumul di kepala Malik, seolah menjadi dasar dari semua yang ia lakukan. Namun, sejak ayahnya meninggal, ketaatan bagi Malik adalah jalan yang penuh dengan keraguan. 

Malik teringat juga pada surat yang diberikan sang Ayah. Ia menyampaikan langsung untuk ikut bersama Pak Sokiri. Ayahnya memerintahkan secara langsung. Malik tahu, bahwa ayahnya tidak pernah memaksa untuk ke mana dan bersama siapa, namun pada saat hal-hal yang mestinya harus, ia akan memaksa.

Jika ada pertanyaan dan kebingungan yang Malik pikirkan, pasti Malik bertanya kepada Pak Sokiri. Kalau kata ayahnya, Pak Sokiri orang hebat dan pintar. Tidak ada yang berani kepadanya. Wibawanya sangat luar biasa. Demikian, Malik dan ayahnya yakin bahwa Pak Sokiri adalah sebuah petunjuk yang tidak perlu diragukan.

Malik hening dalam beberapa waktu, namun soal Ayah, Pak Sokiri, ia yakin bahwa semuanya demi kebaikan dirinya. Menurut Pak Sokiri, jika keraguan itu datang, ia mestinya di kubur dalam-dalam tanpa perlu takut. Karena hanya keraguan yang membuat setiap manusia takut melakukan.

Dalam hatinya, Malik terus berupaya menggali apa pun. Ia ingin menggapai yang hilang. Pada saat ia diam yang muncul selalu kenangannya. Ia mengingat saat ayahnya menyiapkan peta, rintangan, dan menjelaskannya dengan baik. Malik sangat antusias dengan permainan itu. Ia bagai penjelajah di hutan yang tidak pernah takut. Ayahnya menyampaikan, “jika kamu salah dalam melangkah dan memilih, kamu akan merasakan ledakan.” sambil memeragakan ledakan kecil itu dengan keseruan.

Saat ini, hanya ada doa yang menghubungkan Malik dengan sang Ayah. Kata Pak Sokiri, ayahnya sudah bahagia di sana. Malik yakin, Ayah tidak pernah salah dalam memilih tujuan hidup, semua keluarga, tetangga, dan temannya sangat harmonis, apalagi dengan perhatian Pak Sokiri kepadanya.

Setelah salat isya telah ia tunaikan, Beberapa temannya datang secara bergantian. Sekitar total lima orang berkumpul. Tidak perlu menunggu lama, semuanya sudah ada di ruang tengah. Salah satunya Pak Sokiri. Malik sudah biasa melihat kegiatan seperti ini. 

Orang di sekitar sini pun tidak pernah melihatnya. Karena rumah Malik dikelilingi pagar yang cukup tinggi dan dari satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh untuk mendengarkan serangkaian kegiatan dan aktivitas seperti ini. Jika ada orang yang tahu, mereka akan diam. Karena dulu ayahnya dan Pak Sokiri senang sekali membagikan sedekah kepada warga sekitar.

“Semuanya membuat lingkaran dan berdiri. Kita akan menunaikannya. Tolong hening dan dengarkan.” Pak Sokiri memberikan arahan kepada semua.

Dengan nada bergetar namun penuh keyakinan, Pak Sokiri melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya menggema, mengentak hati semua yang hadir, menciptakan suasana hening yang memikat dan penuh misteri. Malik merasa suara Pak Sokiri memenuhi seluruh gendang telinganya. Merdu dan hangat. Perasaan Malik yang dahulunya berisi dengan rasa takut, ragu, dan malu, terangkat menjadi seorang yang menemukan makna kehidupan baru.

Pak Sokiri menjulurkan telapak tangannya di dada Malik, seolah mencoba menyalurkan ketenangan di tengah badai perasaan yang mengaduk-aduk hatinya, hanya ada bayangan Ayah yang terus berucap untuk ikuti semua arahan Pak Sokiri. Perlahan, Malik yakin bahwa Pak Sokiri dan Ayah adalah tujuan.

Kurang lebih lingkaran ini sudah berdiri selama satu jam. Di sela-sela keheningan, terdengar suara laki-laki samar, bergema dari sudut gelap ruangan. Pak Sokiri langsung saja mengintip di jendela. Seorang dengan berewok panjang memberikan tanda, Pak Sokiri paham.

Semuanya diarahkan pergi lewat belakang. Seorang dengan berewok itu pergi dengan senyap namun cepat. Seluruh orang membantu Malik membawa semua bawaan. Derap kaki tanpa bising sudah mereka pelajari, seperti harimau yang siap menerjang mangsa.

Mereka mengikuti arahan Pak Sokiri. Malik bergegas paling depan, karena hanya dia yang membawa barang. Tak lama, suara tembakan berbunyi di rumah Malik. Namun sayang, Pak Sokiri, Malik, dan rekan-rekannya sudah jauh menghilang.

“Semuanya di sini berpencar. Saya dan Malik akan berjalan. Semoga kalian sampai pada tujuan dan kita akan bertemu lagi.” kata Pak Sokiri.

Semua berpisah. Malik mengikuti jejak Pak Sokiri. Ia tak ragu akan dibawa ke mana, karena anggapnya, Pak Sokiri adalah orang yang paling dipercaya sang Ayah. 

Sekitar setengah jam kira-kira Malik dan Pak Sokiri berjalan. Menyela-nyela pepohonan dalam kegelapan bagai ular. Ia membayangkan bagaimana keberanian ayahnya saat seperti ini.

“Pak, jika nanti saya berhasil, apakah ucapanmu benar dan ayah ada di sana?”

“Kamu ragu?” Pak Sokiri menegaskan.

“Tidak, hanya kerinduan yang tak berujung, selalu membuat saya pusing.”

“Kerinduan adalah ujian iman, Lik. Jika kamu cukup kuat, kamu akan bertemu dengan ayahmu di tempat yang lebih indah.”

Malik tidak menjawab. Ia mengikuti arahan Pak Sokiri.

Pak Sokiri menunjuk rumah di sana. Rumah yang menyingkir sendiri. Tak lama setelah tepat di daun pintu rumah tersebut, Pak Sokiri mengetuknya tanpa ragu. Seseorang menyilakan mereka masuk dan tidak ada pembicaraan yang melelahkan setelahnya.

Keesokan harinya, Malik disuruh Pak Sokiri untuk menyibukkan diri dengan ibadah sepanjang waktu di kamar. Malik hanya patuh.

Hingga malam tiba, Pak Sokiri mengetuk pintu kamar. Malik sudah siap dengan seluruh bawaan.

“Sudah siap?”

“Sudah, Pak.”

Pak Sokiri menyodorkan sebuah baju lalu menyuruh untuk memaikainya.

“Kita ingin bertamasya bukan? Tak perlu rapi-rapi seperti ibadah.”

Malik mengganti pakaian, setelah itu bergegas pergi bersama Pak Sokiri. Perjalanan kali ini agak ramai. Suara petasan silih berganti. Beberapa kali trompet sahut-menyahut.

“Saya akan menunggumu di sini.” ucap Pak Sokiri dan mengarahkan Malik menuju suatu tempat

Malik melewati beberapa pedagang sepanjang jalan. Langkahnya menyatu dengan riuh kerumunan. Suara tawa dan nyanyian mengisi udara malam, menciptakan ironi yang kontras dengan tujuan gelapnya.

Ia melihat jam di tangannya. Sekitar empat menit lagi sudah jam dua belas pas. Ia hanya perlu menunggu. 

Tak lama ia melihat-lihat ada seorang yang memotong perhatiannya. “Kita hitung bersama dalam hitungan mundur.” Seseorang di atas panggung mewah memecah suasana. Lalu beriringan semua orang mengikutinya. 

“Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Happy new year …”

Kenangan terus beranjak berdatangan pada satu waktu. Malik tidak henti-hentinya beberapa kali ragu. Ia melihat beragam senyum anak-anak dengan polosnya, di atas pundak orang tua mereka, pasangan yang saling berkasih sayang. Sangat gembira melihat ke arah langit. Suara-suara lainnya bergemuruh memandang langit.

Jemari Malik terasa dingin saat bersentuhan dengan detonator. Malik menarik nafas dalam-dalam dan menahannya. “Ayah, benarkah ini jalanku? Mengapa rasanya semakin gelap meski kau bilang ada cahaya di ujungnya?” pikir Malik, suaranya tenggelam di dalam kerumunan hatinya sendiri. Tetiba suara Pak Sokiri menggantikannya dan terus membimbing. “Tidak ada yang lebih mulia daripada mati untuk keyakinan.”

 
Biodata Diri

Alfiansyah Bayu Wardhana, biasa dipanggil Alfian. Lahir pada 16 Juli 2001 di Jakarta. Alumni S1 Sastra Indonesia di Universitas Pamulang dan saat ini sedang PPG Calon Guru di Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Setiap hari membuat konten di Tiktok @mendengarkanceritamu dan @hoyalfi. Cerpen yang pernah dipublikasikan: Cerpen, Bulan Biarlah Aku Bermimpikan Bayangan terbit di Literasi Kalbar (2024); Cerpen, Sepi Sesudah Ramai terbit di Riau Sastra (2024) dan LPM Al-Mizan (2024); (3) Cerpen, Pintu Itu Diketuk terbit di Jurnal Post (2024); (4) Cerpen, Di Jalan Koningsplein Veld di Magrib.id (2024); (5) Cerpen, Bumi Hanya Untuk Lelaki di Langgampustaka.com (2024); (6) Cerpen, Untuk Mamah dan Nenek di Tatkala Media.

IG: Hoyalfi (boleh ditampilkan di deskripsi)
Tiktok : Hoyalfi (boleh ditampilkan di deskripsi)