Mulut

05/09/2024

 

Suara jangkrik di belakang rumah dinas si Jebul menjadi saksi begitu kerasnya debat masalah susu anak yang akan dilahirkan oleh istrinya. Hal yang mereka ributkan selain masalah biaya anak mereka besok adalah uang Jebul yang hilang karena berinvestasi untuk petani lele, dan tambak udang. Sebenarnya bukan hanya itu masalah utamanya. Jebul adalah orang yang begitu malas. Selepas mandi handuknya digeletakkan saja di atas kasur, tak dijemur. Ketika ia pulang, ia membiarkan sepatunya di atas keset pintu masuk rumah begitu saja, motornya yang begitu kotor, dan di hari libur si Jebul selalu menghabiskan seharian itu untuk berbaring di kasur sambil menonton televisi, keluar kamar ketika ingin makan dan buang air saja. 

Mereka sebenarnya telah 7 tahun berumah tangga. Namun, belum juga dikaruniai seorang anak. Sepakatlah mereka untuk pergi berobat ke seorang Kiai yang mereka percaya bisa memberi doa agar bisa memiliki keturunan. 

Sebelum Emi hamil, ditemuilah seorang Kiai. Selain doa, syarat yang aneh dari Kiai membuat Jebul dan Emi menghela nafas dengan panjang. Sebab syaratnya harus menemukan telur laba-laba untuk dimakan oleh Emi. 

Biasanya, di hari libur, Jebul menghabiskan waktunya untuk berbaring. Tetapi saat itu ia harus mencari ke sana ke mari untuk menemukan telur laba-laba yang dimaksud Kiai. Hingga pada akhirnya, ketika Emi sedang menyuci piring, di hadapannya ada seekor laba-laba yang berjalan membawa telur. Lantas, tidak pikir panjang Emi menangkap laba-laba itu dengan gelas yang sedang dicucinya. Memberitahukan kepada suaminya lalu langsung memakannya dengan pisang. 

Setelah mengabari Kiai, mulailah mereka mengamalkan doa itu. Dan selang dari dua minggu setelah itu, barulah Emi dinyatakan hamil oleh Bidan. Berubahlah hidup mereka, ditaburi bahagia dan asa. 

Emi hamil berbarengan dengan tetangganya, Husna, yang lebih tua dari Emi dan sedang hamil anak kedua. Dilihat dari wajahnya, Husna seperti orang blasteran turki, kulitnya putih, badannya langsing, hidungnya mancung, wajahnya sedikit tirus, dan bola matanya agak ke dalam. Dengan penampilan seperti itu, banyak yang terpana dengan penampilannya. Namun, Tukul lah pria yang beruntung menjadi suaminya. Tukul adalah Bintara ABRI, satu leting di atas Jebul. Bergaul sangat akrab dengan Jebul, Tukul selalu memberi nasihat ke adik letingnya mengenai rumah tangga. Nasihat yang diberikan sedikit banyaknya memang membuat rumah tangga Jebul sedikit membaik. Tukul tahu tentang kerugian yang dialami oleh Jebul karena investasi bodong itu. Mungkin secara tak langsung hal tersebut menjadi obrolan sebelum tidur si Tukul dan Husna.

Jebul yang sudah mulai berubah, kini seusai mandi ia langsung menjemur handuknya, meletakkan sepatunya di rak sepatu, dan kini ia menanam berbagai tanaman pisang dan cabai di belakang rumah dinasnya. Jebul seperti kembali memulainya lagi dari awal. Jebul sadar bahwa Emi sudah memasuki waktu hamil tua. Bersamaan dengan umur kandungan si Husna.

Kamis pagi di penghujung bulan, Jebul berpamit kepada Emi untuk pergi dinas. Emi masih di teras rumah sambil mengangkat pakaian yang akan dijemurnya. Di samping rumahnya, Husna sedang merasakan matahari pagi, mereka bertetangga namun tak begitu akrab satu sama lain. Husna melihat punggung Emi yang sedang menjemur pakaian dari pembatas rumah dinas yang tingginya sedada. 

“Emi!”

Dengan diiringi suara motor lewat di depan rumah mereka. Emi menoleh ke belakang, dan memutarkan badannya, “iya, The?”. 

Mereka saling berhadapan sekarang, meski jaraknya tak terlalu dekat, hanya dinding pembatas  yang memisahkan.

“Kelihatannya kehamilanmu jarang diperiksa ya? Nanti takutnya ada kelainan sama bayi kamu loh! Takutnya kena penyakit seribu wajah, lagi musim, kamu minum susu apa?”

Mendengar hal itu, Emi sedikit terkejut. Membuatnya hampir menangis. Emi sedikit banyaknya sudah mengetahui watak istri si Tukul ini. Meski Tukul begitu sering berbagi mangga dengan tetangga-tetangganya, hal tersebut tak mengubah padangan Emi kepada Husna.

“Saya minum susu kok, The.” Jawab Emi sambil masuk ke dalam rumah. 

Kedua mata Emi berpacu-pacu untuk mengeluarkan airnya. Emi jarang sekali minum susu untuk ibu hamil, sekalipun minum susu, itu pun susu yang paling murah. Sebenarnya gaji suaminya pada saat itu tak seberapa juga, karena suaminya juga membiayai dua adiknya yang masih berkuliah. Satu adik kandung, satu adik angkat, diangkat oleh orang tua suaminya yang sudah meninggal. Belum lagi ia memulai menanam pisang dan cabai di belakang rumah, membeli bibitnya, membeli pupuknya. Emi begitu terpukul. Berpikir entah apa sebab tetangganya itu begitu dengki dengan kehidupan Emi.

Di tengah tangis, Emi berhenti sejenak. Terlintas ingatan, mungkin semuanya itu disebabkan ketika Emi tidak sengaja menyakiti hati Pedro anak pertama Husna. Emi memang suka menyapa Pedro ketika setiap kali mengantarkan mangga kepada Emi. Lalu, bukan maksud hati menyinggung, Emi mengulas hidung Pedro karena sangat besar dan sedikit tidak terlihat normal seperti orang-orang di sekelilingnya. Hal tersebut mungkin membuat hati Pedro tersinggung, dan lantas ia mengadukan hal tersebut kepada orang tuanya. Mungkin pikirnya begitu.

Sampailah ketika Emi melahirkan. Sangat bersyukur karena tiada yang salah dengan anak Emi. Anaknya laki-laki, sehat bugar badannya, gagah pula wajahnya, meski kulit anak itu sawo matang. Jebul yakin bahwa anaknya kelak akan menjadi gagah dan tampan. Kehidupan Jebul dan Emi sudah sangat tenteram. Beberapa tahun sudah kini anak Emi berumur enam, sudah bisa membaca dan berhitung diajari oleh Jebul dan Emi. Kini anaknya Emi sudah masuk Sekolah Dasar. Anaknya begitu cemerlang, juga cepat tanggap. Sayangnya anak Husna yang kedua tidak bisa memasuki Sekolah Dasar pada umumnya. Anaknya harus dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa yang sedikit jauh dari rumah dinas tersebut. Karena terkena penyakit seribu wajah. Kini dua tetangga itu sama sekali tidak dekat. Kecuali Jebul dan seniornya, Tukul. Setelah beberapa tahun kemudian. Anak Emi sudah menamatkan sekolah dasar, dan hidungnya semakin membesar.

Faathir Tora Ugraha. lahir dan besar di Kota Padang. Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Instagram : @faathora