PARA PENCEMBURU
Yana S. Atmawiharja
“Saya mau ikut ronda. Sekarang ini, hampir semua orang di kampung kita pernah kemalingan,” pamit Kastam. Istrinya tidak menjawab, tidak juga banyak tanya, meskipun tahu kalau jadwal ronda suaminya hanya Jumat malam saja.
Kastam memang pergi ke pos ronda, tapi menjelang tengah malam, ia pergi diam-diam. Diam-diam kembali menyusuri jalan setapak menuju ke rumahnya, bersembunyi di antara bayang-bayang pohon pisang kebun belakang. Pandangan Kastam tajam menyapu sekeliling, terutama pintu dapur dan jendela kamar. Tekadnya sudah bulat: tengah malam kali ini, kecurigaannya harus terbukti dan siapa pun yang ketahuan melampau tanpa permisi, harus meregang nyawa.
Benar saja dugaan Kastam. Setelah hampir dua jam lamanya digerompok nyamuk dan hawa dingin, Kastam melihat ada bayangan manusia tidak jauh dari tempatnya jongkok bersembunyi.
Amarah dan cemburu sudah tak dapat ia tampung. Namun, baru selangkah hendak menyerbu, sudut matanya melihat ada gerakan lain dari arah pintu dapur rumahnya. Sontak, Kastam menghentikan niatnya. Ia lebih memilih kembali jongkok dan mengintip siapa yang membuka pintu.
Bangsat, maki Kastam dalam hati. Dia menyaksikan istrinya berusaha menyembunyikan wajah dari sapuan cahaya bulan, mengendap-endap seperti maling. Sekuat tenaga, dia menahan marah. Kastam ingin tahu ke mana istrinya pergi.
Bayangan yang tadi dilihatnya ternyata mengikuti istrinya. Kurang lebih sepuluh langkah, Kastam membiarkan bayangan itu pergi lebih dulu, kemudian ia.
Prasangka-prasangka dan pertanyaan semakin runyam dalam hati Kastam. Dia ingin segera mendapatkan bukti kalau selama ini istrinya main serong. Namun, dia juga ingin tahu siapa lelakinya. Ditambah lagi, malam ini, ada seseorang yang mengikuti istrinya.
Bayangan yang Kastam ikuti memperlambat langkahnya, mengendap-endap, kemudian berhenti agak jauh dari rumah Yahman, sahabat Kastam. Kastam heran, mengapa istrinya dan bayangan itu berhenti di sana.
Masa iya ..., batin Kastam.
Kastam tidak yakin, kalau istrinya berselingkuh dengan Yahman. Selain sahabat karibnya, Yahman juga baru dua bulan menikahi Tuti, seorang janda muda yang terkenal dengan kemolekannya.
Ah! Sahabat tinggal sahabat! Ngegondol istri orang, tetap saja bangsat ..., gumamnya lagi.
Setelah tahu dan yakin posisi istrinya dan bayangan yang ia ikuti, Kastam mencari tempat sembunyi agar dia bisa melihat apa yang akan mereka lalukan.
Sejurus kemudian, tak tahu dari mana arahnya, sebuah balok kayu mendarat keras di tengkuk Kastam. Untung saja, pukulan itu tak membuatnya pingsan. Kastam masih bangkit, kemudian mengambil jarak beberapa langkah dari asal pukulan itu sambil mengatur kuda-kuda. Dalam kegelapan, mereka saling beradu pukul. Tanpa kata-kata, hanya deru amarah, golok dan balok saling mencari sasaran tanpa arah yang dapat dilihat. Sampai pada akhirnya, balok kayu itu menghantam lengan Kastam. Golok yang dipegang Kastam terlempar. Kastam terhuyung, pasrah menanti hantaman balok di kepala atau perutnya. Namun, itu tak pernah terjadi.
“Kastam!” teriakan seseorang yang menjadi lawan tarung Kastam terdengar ragu bercampur heran.
“Yahman!” Kastam berusaha menghilangkan keraguannya.
“Kau ...,”
“Sebentar, Man. Saya tahu apa yang ada di pikiranmu dan apa yang akan kamu katakan. Namun, sepertinya ada yang harus kita luruskan,” potong Kastam sambil menyeka darah yang menetes dari sudut bibirnya, “sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih terang.”
Di tempat yang sedikit lebih terang, tampak jelas, wajah mereka memar-memar. Baju yang dikenakan Yahman sobek terkena sabetan golok Kastam.
“Man, ...,” kalimat Kastam tak tuntas. Perhatian Kastam juga Yahman beralih ke suara perkelahian, tak jauh dari tempat mereka berada. Berbeda dengan perkelahian mereka, perkelahian yang mereka dengar itu berisik sekali.
“Tuti, ...,” Yahman bergegas menuju tempat suara itu berasal, begitu pun Kastam. Kastam juga tahu, suara yang mereka dengar adalah suara Tuti dan istrinya.
Sesampainya di tempat yang dituju, Kastam dan Yahman menemukan istri mereka tengah saling mencakar, saling menjambak. Kain samping dan pakaian yang mereka kenakan sudah tak karu-karuan. Segera, Kastam dan Yahman memisahkan mereka.
Akhirnya mereka saling mengutarakan apa yang ada di pikiran mereka. Kastam menceritakan awal mula kecurigaan kepada istrinya sampai pada saat dia mengikuti bayangan yang ternyata itu adalah Tuti. Istrinya ke luar rumah diam-diam karena curiga kepada Kastam berselingkuh dengan Tuti. Hal yang sama pun terjadi pada Yahman dan Tuti. Mereka saling menaruh curiga.
Penasaran, cemburu, dan curiga memang tuntas, tapi pikiran Kastam masih terpaut pada kemolekan tubuh Tuti yang tak sengaja dilihatnya pada saat Tuti dan istrinya saling menjambak. Istrinya tak jauh beda. Lamunannya masih melayang menelusuri gurat otot Yahman yang menyembul ketika memisahkan pergumulannya tempo hari.
Ah. Di tempat lain pun begitu. Yahman tidak bisa tidur. Di telinganya, seperti terus bersarang suara napas istri Kastam yang menderu-deru penuh nafsu. Di sampingnya, istrinya pura-pura terpejam, padahal hidungnya seperti kehilangan kemampuan membau kecuali bau keringat Kastam.
***
“Saya mau ikut ronda. Rupanya, urusan maling belum selesai,” pamit Kastam. Istrinya tidak menjawab, tidak juga banyak tanya, meskipun tahu kalau jadwal ronda suaminya hanya Jumat malam saja dan di dalam saku baju Kastam ada kapsul obat kuat.
Sepeninggal Kastam, istrinya pergi mandi, melumuri tubuh dengan wewangian, mematut-matut diri di depan cermin sambil sesekali melihat ke luar melalui jendela yang sengaja tidak dikunci.
Yana S. Atmawiharja lahir di Garut, 08 Oktober 19XX. Aktif menjadi mentor dalam penulisan karya tulis. Masih gemar bermain teater bersama Teater 28 Universitas Siliwangi. Menulis naskah drama, puisi, dan prosa yang dipublikasikan di media lokal dan nasional.
Adapun Karya Sastra penulis di antaranya: Antologi Cerpen Bagaimana Aku Kehilangan Cinta, Bagaimana Aku Menemukan Cinta (Langgam Pustaka, 2020) Seperti Timbul Tenggelam, Membangkitkan Kemarahan (Langgam Pustaka, 2022). Antologi Puisi Akhir-Akhir Ini, Aku Gemar Menerka-nerka (Langgam Pustaka, 2017), Kampung Halaman (Langgam Pustaka, 2018), Galunggung Ahung (Langgam Pustaka, 2021) termasuk dalam nominasi Hari Puisi Indonesia, 2021. Naskah Drama IN (2007), API (2007), Raja Kaum Budak (2008), Bardaisme (2008), Sang Petualang (2009), Siasat (2009), Selendang Jingga (2009), Merah Wajah (2009), dst.