Perempuan yang Berhias di Balik Kerangkeng Besi

02/10/2024

 

Malam itu seperti makanan penutup bagi perempuan paruh baya itu, dengan tertatih ia berusaha meraih apa pun yang bisa dipegangnya, sembari satu tangannya lagi memegangi perut besar yang selama ini memberatkan hidupnya, rasanya seluruh tulang hancur di tempat, rasanya nyawa sedang dipermainkan saat itu juga, tidak ada suara dalam pertaruhan hidupnya kini, seolah leher itu telah dipatahkan, rumah kecil itu seperti sudah berlinang darah seorang ibu yang meraung – raung meminta bantuan, air matanya sudah seperti tsunami yang bisa menghanyutkan satu desa.

Tidak cukup dengan segenap kesulitan di tengah malam, saat tiada satu pun manusia yang bisa mendengarnya, ingin ia bersikap egois dan membangunkan laki – laki yang sudah bertahun – tahun mengikatnya, tapi haram baginya membangunkan seorang suami yang kelelahan, dosa yang bisa ia tanggung selamanya, maka berjalanlah ia keluar rumah dengan pincang, menguatkan diri dan berkhayal bahwa Tuhan tengah memapahnya, sejujurnya ia ingin memaki manusia yang berada diperutnya kini, seolah seluruh darah yang ia tumpahkan akibat dari anugerah seorang ibu, ia tidak ingin anugerah itu, ia tidak ingin menjadi perempuan, ia benci rantai di kaki kirinya semakin menyulitkan dirinya untuk sampai di rumah Ibu Ai si Bidan desa.

Bukan kejahatan di desa ini, bahwa anak perempuan dari kehidupan hingga kematiannya, mereka akan dirantai dan dikurung layaknya binatang kepuasan, katanya itu adalah keistimewaan yang mereka dapatkan, tangkapan yang berharga harus dijaga dengan sekuat tenaga, bayangkan saja perempuan berhias di balik kerangkeng besi yang ayah mereka ciptakan, rantai di kaki kiri mereka dengan jejak kemerahan seperti inai di tangan anak gadis yang melepas masa remaja mereka, seperti kain yang melilit leher mereka untuk keras kepala, dan seperti darah yang memoles bibir pucat mereka. Tidak ada perempuan di desa ini yang bahagia.

Erung, sepanjang jalan ia mengumpat dalam hati, karena jika ada orang yang mendengar umpatannya, mungkin bibirnya akan di tepuk besi panjang, rasanya kemaluan Erung dibuka paksa oleh calon anaknya, seperti ingin menambah kesakitan ibunya kini, Erung menguatkan diri bahwa rumah Ibu Ai tak jauh lagi. Penglihatannya kabur, entah karena air mata atau memang sejak lahir perempuan tidak bisa melihat apa pun dengan jelas, hidup mereka sengaja diburamkan, teringat Ibu Erung pernah bilang, beruntung hidup kita sebagai perempuan tidak dihitamkan.

Terduduk di depan pintu rumah Bu Ai, berharap Tuhan benar – benar membantunya hari ini, atau mungkin ia akan tergeletak sampai pagi, dan semua orang mulai menyadari bahwa rantai di kakinya akan dilepaskan, lalu menguburnya tanpa pernah ditangisi, membayangkan betapa tragisnya itu membuat Erung berteriak dengan sisa hidupnya yang masih ada, berharap Bu Ai mendengarnya dan membantunya kini.

“Tolong Bu!” teriak Erung.

Terdengar seseorang sedang membuka pintu, Erung sedikit merasa lega, ia tak jadi mati hari ini, Bu Ai seperti akan mendapat serangan jantung melihat Erung yang sudah terduduk lemah di depan pintunya, dengan darah yang sudah membalut tubuh Erung dalam kubangan, seolah menjadi jejaknya. Bu Ai membantu Erung berdiri dan membawanya masuk, membaringkan Erung di kasur yang memang diperuntukkan bagi perempuan yang melahirkan di desa ini.

“Ya Allah Bu, kenapa sendirian? Suami Bu Erung ke mana?” tanya Bu Ai dengan wajah panik yang tidak hilang dari wajahnya.

“Suami saya tidur, Bu” suara itu lebih berbentuk bisikkan yang hanya bisa di dengar dari jarak dekat.

Ai tahu. Sangat tahu bagaimana perempuan di desa ini sangat mendewakan suami mereka, anak laki – laki mereka, Erung hanya segelintir contoh kecil yang menyedihkan, Ai memperhatikan kaki kiri Erung yang sudah seperti membusuk, bagaimana tidak? Sejak kecil kaki mereka sudah dirantai, luka lecet itu bahkan bukan apa-apa bagi perempuan di sini. Proses bersalin Erung tidak terlalu lama, karena sepertinya anak Erung merasakan kesakitan yang dirasakan ibunya, dan sialnya Erung melahirkan anak perempuan.

“Anaknya perempuan” dengan gemetar Ai menyampaikan jenis kelamin anak Erung.

“Harusnya aku membiarkan kematian menyambutku di depan pintu rumahmu, membawa anakku bersamaku, dan tidak membiarkan kakinya membusuk seperti seluruh perempuan di desa ini” Erung menangis tanpa suara, anaknya bukan dosa, anaknya bukan kutukan, tapi nasibnya yang buruk karena terlahir perempuan di desa ini.

“Apa ibu ingin saya memanggil suami ibu di rumah?” tanya Ai sembari membersihkan bayi merah itu.

“Tidak perlu Bu, tolong biarkan saya di sini, suami saya akan menyadari kepergian saya ketika tidak ada yang membangunkannya, aku ingin anak ini merasakan kelahirannya dengan tenang” Erung mengambil anaknya dari Ai, setelah dibersihkan dan dibedong, anak itu tidur dengan begitu tenang dalam pelukan Erung.

“Aku harap, aku bisa melindunginya” ucap Erung dengan pilu.

Erung menatap iba pada bayi manusia itu, anak itu telah hidup diperutnya selama berbulan – bulan, apa yang akan ia katakan kepada putrinya nanti? Bagaimana jika ia bertanya dengan mata yang penuh dengan darah hitam. Ibu, beginikah hidup yang kau berikan padaku? Erung tidak akan pernah bisa menjawab apa pun, seperti dirinya dulu yang melihat ibunya disiksa oleh ayahnya, seolah setan telah berubah wujud menjadi ayahnya. Erung masih mengingat dengan jelas bagaimana tangisan sang ibu bagaikan lolongan anjing gila yang siap menerkam siapa saja tetapi terhalang oleh rantai yang mengikat lehernya.

Erung sesaat menyesali perbuatannya, harusnya ia biarkan saja dirinya dijemput kematian, ia bisa membawa anaknya pergi ke surga bersamanya, dan menghadap Tuhan untuk mengampuni seluruh perempuan yang meragukan kasih-Nya. Tapi tak ada seorang ibu yang begitu tega untuk mengharapkan kematian anaknya, bahkan ketika ia harus menjadi anjing gila untuk suaminya. Erung akan memberi tahu putrinya nanti ketika ia sudah pandai berbicara, bahwa hidupnya bukan dosa, dan mungkin Erung akan meminta pengampunan seumur hidup kepada putrinya, karena telah lahir sebagai anaknya.

Malam mulai pudar, sudah hampir jam enam. Erung harusnya sedang di dapur saat ini untuk menyiapkan bekal untuk suaminya pergi bekerja. Mangul panggilannya, laki – laki yang sudah tiga tahun itu bersamanya, Mangul bekerja sebagai tukang angkut di pasar. Erung jatuh cinta padanya, karena ia pikir Mangul adalah pria yang berbeda, Mangul terkenal karena kepandaiannya dalam bekerja, apa saja akan ia lakukan, tidak banyak bicara dan tidak ada hal buruk yang terdengar tentang dirinya.

Tapi semua berubah ketika pernikahan mengikat dirinya dan Mangul, laki – laki itu seperti binatang buas yang bisu, Erung tidak boleh salah dalam melakukan sesuatu, bahkan saat Erung tidak sengaja memasukkan terong dalam hidangan malam mereka, ketika Mangul sangat membenci makanan itu. Erung dipukuli dengan tangan kekar yang kasar, tanpa suara dan tanpa cacian bisa, hanya tubuh yang begitu penuh hasrat menumbuk tubuh Erung dengan menggila. Saat di mana Erung mengutuk hidupnya, ia akan membenci Mangul hingga kematiannya.

“Bu, ada suami ibu di luar, apa ibu ingin pak Mangul masuk?” kata Ai menghentikan lamunan Erung, tampak raut khawatir di wajah Ai.

Erung mengangguk, tampak Mangul masuk ke dalam kamar bersalin, wajahnya tampak seperti orang yang baru bangun, berdiri dengan wajah di samping tempat tidur Erung, matanya perlahan melihat bayi kecil yang tengah tertidur di dada Erung.

“Dia perempuan” ucap Erung lirih, ia lihat perlahan suaminya untuk melihat reaksinya. Erung bersumpah ia tidak mampu membaca apa yang tengah suaminya itu pikirkan. Matanya kosong dan jiwanya seperti sudah melayang entah ke mana. Apakah suaminya begitu kecewa? Atau ia tengah memikirkan di tukang besi mana akan ia buatkan kerangkeng kecil bagi putrinya, takdir membuat Mangul menjadi orang pertama yang mengikatkan besi di kaki kiri anaknya. Tegakah ia?

“Aku akan ke pasar” lirih Mangul sambil berlalu meninggalkan rumah Ai begitu saja, sungguh Erung rasanya tengah berada dalam neraka yang dingin, lebih baik Mangul mengamuk, memukul dirinya hingga sekarat. Dari pada Mangul harus berlalu dengan Erung yang penuh dengan tanya.

“Bu Erung, bisa istirahat di sini, ketika ibu sudah merasa lebih baik, ibu bisa memanggil saya. Saya akan antar ibu ke rumah” Ai seolah ingin memberi ruang antara ibu dan anak itu, ikatan di antara keduanya sudah terjalin sejak Tuhan tiupkan arwah manusia untuk tinggal di rahim Erung, kini hanya ada Erung dan putrinya. Erung lihat kaki kecil anaknya itu, begitu lembut dan halus. Apa dulu ibunya juga menatap iba? Seperti yang ia lakukan kepada putrinya kini? Apa sebaiknya Erung berlari meninggalkan desa yang penuh dosa ini? Atau ia harus membungkus anaknya, meletakkan pada sebuah kardus bekas, dan mengirimnya ke pasar. Orang baik mungkin akan menjaganya.

Oh Tuhan yang maha adil dan maha tahu segalanya, betapa Tuhan begitu mempercayai ibu – ibu yang ada di desa ini, betapa Tuhan ingin ia menjadi bagian dari ketakutan lainnya. Erung harusnya meminta kematiannya saja, ia tak ingin hidup dengan kenyataan anaknya akan dikurung dalam rumah yang mirip kerangkeng, bibirnya yang merah karena sekapur sirih, rambut yang disisir dengan sela – sela jari, dan tubuh yang beraromakan daun melati. Akankah perempuan di seluruh dunia berhias seperti itu?

Sudah lima hari Erung beristirahat di rumah Ai, atau sebenarnya ia hanya mencoba menyelamatkan diri dari suaminya? Entahlah. Mangul juga tidak mencarinya, suaminya itu seperti hilang entah ke mana, kini Erung bersiap untuk kembali ke rumah. Ia sudah memikirkan cara untuk menyelamatkan putrinya. Ia akan meminta Mangul untuk merantai kedua kakinya saja menggantikan anaknya, akan ia relakan tubuhnya dengan senang hati untuk melampiaskan kemarahan Mangul.

Dengan menggendong anaknya, Erung pulang dengan perlahan, demi Tuhan begitu menyakitkan melahirkan manusia. Seluruh tubuhnya seperti tercabik, tulangnya seperti diremuk paksa. Ah, tapi katanya Tuhan akan memberi hadiah pada setiap ibu, ia akan mulai mensyukuri sakit ini, lagi pula lebih menyakitkan pukulan Mangul kepada dirinya. Entah kenapa sejak tadi ia terus memikirkan suaminya? Ke mana Mangul pergi, setidaknya ia bisa datang ke rumah Ai walau hanya untuk memaki Erung, kan?

Saat tiba di rumah, Erung melihat suaminya duduk di ruang tamu dengan raut yang masih sama sejak terakhir kali mereka bertemu di rumah Ai.

“Aku ingin mengatakan sesuatu” ucap Erung ragu. Melihat suaminya yang hanya menatap Erung, seolah menunggu kalimat per kalimat ucapan seperti apa yang ingin Erung sampaikan.

“Bisakah kau rantai saja kedua kakiku? Biarkan anak ini hidup bebas hingga ia dewasa. Aku akan merelakan hidupku padamu, aku tak akan melakukan sesuatu yang akan menyakitimu, sungguh jika seluruh tubuh ini kau lilit dengan rantai aku merelakannya. Bahkan, jika aku mati membusuk karena karat besi, dan kau membuangku pada sekumpulan raja hutan, akan kusampaikan pengampunan bagimu untuk Tuhan. Asal tolong ampuni putriku” suara Erung penuh dengan tangisan, ia bicara terbata – bata, kepasrahan yang Erung perlihatkan selayaknya kepasrahan seorang hamba kepada Tuhannya, begitu rela dan murni.

Mangul berdiri dari duduknya, perlahan berjalan menghampiri Erung yang masih meraung, ia ambil bayi itu dari pelukan Erung dengan perlahan, Erung sempat meronta dan tidak rela Mangul menyentuh putri malangnya itu. Mangul buka kain yang menutupi bayi itu, dan memperlihatkannya kepada Erung.

“Kau lihat ini? Anakmu sudah mati” lantang suara Mangul masuk ke dalam telinga Erung dengan tajam, otaknya seperti belum menerima informasi apa – apa, Erung terdiam dalam tangisnya, dan kini tertawa pelan sambil menatap suaminya, Erung mengalihkan pandangan dari bayi itu, ia seperti tak ingin menatapnya.

“A-apa, apa maksudmu? Putriku itu tidak mati. Ya memang, aku sempat ingin menjualnya ke pasar berharap ada keluarga kaya dan baik hati akan menjaganya. T-tapi aku mengurungkan niatku, sudah kukatakan padamu, bahwa aku akan menggantikan hidupnya, aku akan menyerahkan hidupku padamu, aku-“

“Kau membunuh anakmu Erung” suara Mangul seperti kilat, begitu cepat dan bersiap mengeluarkan gemuruh.

“Kau membunuhnya tidak lama setelah dia lahir, di rumah Ai kau peluk ia begitu erat. Sangat erat sampai Tuhan mengambilnya darimu. Erung, anakmu telah mati, begitu ia menyayangimu. Sebelum kau menggantikan hidupnya, ia sudah lebih dahulu menggantikanmu” begitu lirih dan kosong tatapan Mangul, entah dia merasa seperti gagal sebelum mencoba, ia lihat Erung terdiam dengan tatapan hampa, terduduk di lantai dingin yang melebihi neraka. Mangul balut kembali tubuh bayinya itu dengan kain, bayi yang sudah mulai membiru, bayi perempuan yang belum sempat berhias dengan ibunya itu, bayi yang belum dikurung saban hari, ia seperti tahu dan merasakannya kepedihan ibunya, bayi yang akan mengutuknya di hadapan Tuhan. Mangul tatap bayi itu sekali lagi, seperti ia meminta pengampunan akan dosa – dosanya, sebelum menyerahkan bayi itu kepada tetangganya yang mulai berdatangan.

Mangul membantu istrinya untuk berdiri, ia seperti memegang sebuah patung yang keras dan dingin. Setiap malam Erung ia siksa, tak pernah Mangul lihat istrinya begitu tersiksa seperti ini. Apa kematian seorang bayi akan terasa begitu menyakitkan? Terlahir sebagai seorang lelaki adalah hal yang ia terima seumur hidupnya, sepanjang masa ia hanya hidup dengan kutukan ibunya, Mangul disumpah serapahi oleh perempuan yang melahirkannya. Katanya, kehidupannya adalah bentuk kesialan bagi perempuan lain.

Orang lain mulai melakukan ritual bagi kematian anaknya, Ai juga hadir membantu, hari di mana kematian putri Erung, Ai mengetahui anak itu tidak lagi bernyawa, tapi dengan arahan dari Mangul untuk tidak memberitahu Erung, membuat Ai mengurungkan niatnya. Erung terus bersikap seolah anak itu masih hidup, Erung tertawa bersamanya, mengajak mayat bayi itu bercanda, dan membicarakan rencana masa depan yang begitu indah, bagi Ai ini adalah masalah psikologis dari seorang ibu yang baru saja melahirkan, ditambah dengan tekanan yang Erung terima, alam bawah sadarnya tanpa sadar membunuh bayinya untuk menyelamatkannya.

Tapi apa yang lebih pedih dari pada kehilangan sesuatu yang membuat kita bermain – main dengan kematian? Erung yang tahu bagaimana rasanya mempertaruhkan hidupnya di hadapan Tuhan untuk anak itu, tapi kini ia harus melakukan apa? Apa Tuhan juga akan ikut mengutuknya? Apa ia kini sama gilanya dengan Mangul? Apa anaknya nanti akan memalingkan muka ketika melihatnya nanti di sana? Suara perempuan – perempuan beradu dengan denting rantai mereka, berusaha menguatkan Erung, ada juga yang menganggap Erung gila karena sengaja membunuh anaknya. Pada akhirnya Erung menyerah.

Belum kering tempat terakhir putrinya, Mangul menemukan Erung sudah kaku dengan rantai yang berada di lehernya, wajah Erung membiru. Erung mengakhiri hidupnya dalam kepedihan. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini Mangul meraung menggila, ia seperti ingin mencabik – cabik kepalanya, berteriak kepada semesta. Mengumpati setiap orang yang datang ke rumahnya yang heran dengan suara dari rumah Mangul.

“Demi Tuhan, Erung!” 

“Apa yang kau lakukan, Erung!”

“Cepat tutupi wajahnya!”

“Kabarkan kematiannya!”

“Begitu malangnya nasib kau, Erung!”

Begitu suara yang terdengar, para perempuan paruh baya yang hampir semuanya pincang itu, berjalan ke sana ke mari. Tidak memedulikan Mangul yang meratapi hidupnya. Mangul lihat jasad itu kini sudah ditutupi sebuah kain, apa ini yang ibunya katakana dulu? Bahwa kelahirannya hanya sebuah kutukan? Apa ini yang ibunya rasakan dulu? Bahkan Erung tidak pernah berhias, ia hanya di rumah, mengurung diri, apa ibunya dulu merasa dunia tak pernah adil padanya? Milyaran pertanyaan bersarang di kepala Mangul. Seperti siap menggerogoti kepalanya.

Kini Erung dan putrinya sudah bersama, entah mungkin mereka merencanakan hukuman apa yang akan diterima Mangul nanti, rumah ini sekarang begitu sepi, atau memang sejak awal telah sepi? Rumah ini seperti menyudutkan Mangul dari segala sisi, seperti dinding ini tampak mulai menyempit dan siap meremukkan tubuh Mangul, hidupnya tak lagi tenang setiap harinya, sampai sebuah keputusan besar membuat Mangul hilang dan tak lagi terdengar kabarnya di desa, semua orang kebingungan. Mangul seolah lenyap begitu saja dan tak pernah kembali, entah ia pergi atau mati. Tak ada yang tahu.

Sampai suatu hari, puluhan mobil datang dari kota, pakaian mereka sangat rapi, pria dan wanita berseragam, menggemparkan seisi desa, tentang siapa mereka, dari mana mereka? Dan bagaimana mereka mengetahui desa terpencil ini? Tapi yang pasti setelah kedatangan mereka, perempuan tak lagi terikat rantai besi, kerangkeng besi tak lagi berarti, perempuan di desa itu tak lagi berhias di dalam kurungan, perempuan desa itu kini telah Tuhan bebaskan.

Nabila Yumedika Shanda, mahasiswi aktif Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Akun Instagram: @nabilayumedika