Sampah-sampah itu selalu datang ke tepi pantai, menumpuk di antara hutan mangrove yang rimbun. Seolah datang begitu saja ke laut ini. Kata orang-orang kampung sampah itu tak hanya menumpuk di antara hutan mangrove dan bibir pantai saja. Tetapi pada kenyataannya sampah itu juga menyendat aliran sungai yang ada di kampung kami ini.
Ayah sering bercerita, sudah dari dulu kampung kami ini didatangi air yang banyak ( banjir rob ), setiap menjelang musim penghujan, banjir selalu bersilaturahmi. Seolah itu adalah sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan bagi kita semua. Saat di mana rumah-rumah terendam, semua manusia yang ada di sini sangat ramai berteriak meminta tolong, perabotan rumah mengapung dan lumpur membuat fondasi di tanah kampung ini.
Warga kampung di sini sudah semampunya menjaga kelestarian hutan mangrove. Dengan niat dan rencana menahan gelombang besar dari laut yang mengarah ke perkampungan. Tapi siapa sangka, ternyata bencana yang datang bukan dari laut saja.
Terasa sia-sia sudah, perjuangan warga dalam upaya konservasi kampung ini. Sampah terus saja berdatangan dari hulu lewat aliran sungai yang deras. Selain itu penyakit seperti demam berdarah sudah menjadi hal yang biasa, setiap tahunnya selalu saja ada korban dari penyakit itu.
Aku hidup di pesisir pantai, yang kata orang-orang bilang nyiur anginnya bisa meneduhkan jiwa yang sedang terpana oleh keadaan, tempat yang damai yang bisa memandangi sejauh mata dapat mencapainya, dapat menjumpai hewan–hewan laut yang asing, apalagi senja dari pinggir pantai, kita bisa lihat indahnya yang keemasan dan begitu puitis bagi para tamu di luar kota itu.
Tetapi itu tidak berlaku bagiku, sejak kecil aku hanya bisa menata sebuah puisi tentang keresahan yang tidak dilihat oleh para pengunjung itu. Aku hanya membereskan barang-barang bekas yang menghalangi kapal ayahku untuk berlayar mencari ikan. Anak–anak sebayaku juga hanya bisa bermain dengan sampah-sampah itu, melihat dan menelitinya dengan saksama, barang-barang rusak dan bungkus makanan yang belum kami lihat sebelumnya. Begitu banyak dan bermacam-macam.
Karena keingintahuanku yang besar tentang seluas apakah dunia ini. Seperti apa gunung itu. Apakah udaranya panas seperti di sini, indah dan megah bila dipandang, berwibawa karena begitu gagah dan tinggi. Juga tidak akan ada sampah-sampah yang menumpuk seperti di sini.
Pertanyaan semacam itu tumbuh karena keingintahuanku tentang orang-orang di hulu sana. Apakah mereka tidak memikirkan kami yang ada di muara sungai ini. Kami yang menggantungkan hidupnya di laut.
Kata ayah, ikan dilaut ini sangat banyak dan bermacam-macam, kita tidak akan pernah kehilangan sumber makanan. Karena tuhan menciptakan lautan lebih luas dari daratan, dan setiap pesisirnya memiliki muka yang berbeda-beda. Aku sempat menanyakan akan hal itu.
“Ayah, kenapa saat tuhan menciptakan laut ini lebih luas dari daratan. Dan ikannya yang begitu banyak juga beragam. Tetapi Ayah dan Aku masih bekerja keras untuk mencari makan“ tanyaku.
Saat itu ayah mengubah raut wajahnya dan memarahiku. Ayah hanya menjelaskan padaku seperti apa rasanya bersyukur dan bagaimana kita menjaga laut, menjaga alam ini. Kata ayah jika kita menjaga biota laut, terumbu-terumbu karang tempat ikan tinggal. Kita tidak pernah kelaparan dan bersusah payah mencari ikan sampai jauh ke tengah laut sana.
Mungkin jika mendengar ayah mendongeng tentang buyut-buyutnya dimasa lalu. Mereka mencari ikan tidak memerlukan perahu, karena tepat di mana perahu ayahku di labuhkan, di sanalah ikan berkumpul. Aku selalu membayangkan, betapa bahagianya di pinggir pantai ikan-ikan masih banyak berkumpul. Tapi aku selalu memunculkan banyak pertanyaan atas dongeng yang ayah ceritakan dan rasionalitas yang kulihat hari ini.
“Ayah, aku dengan teman-temanku selalu membersihkan pantai, selalu menjaga hutan mangrove yang disakralkan. Tapi kenapa tuhan menjauhkan ikan-ikan itu”. Tanyaku.
“ Ya karena yang pedulinya hanya kamu dan teman-temanmu saja, tidak akan cukup untuk mengembalikan kelestarian laut ini “. Jawab ayahku pada saat itu.
“ Tapi Ayah bilang jika kita menjaga alam. Alam juga akan menjaga kita “. Tanyaku lagi.
“ Iya itu benar sekali “ jawab ayahku begitu singkat.
“ Tapi kenapa, kalo ada banjir rumah kita juga ikut terendam. Apa alam lupa kalo aku suka menjaganya “. Tanyaku lagi pada ayah.
“ Waduh, Nak. Alam itu sangat luas, bisa jadi karena bukan kesalahan kita, kita juga terkena imbasnya, setidaknya kita coba bersyukur dan terus mengamalkan hal-hal baik pada lingkungan”. Jawab ayahku dengan bijak.
Obrolan-obrolan seperti itu selalu saja hadir. Dan pertanyaan-pertanyaan selalu menumpuk di dalam pikiranku ini. Tentang kenapa dan mengapa, manusia lupa akan akar muasal mereka bisa hidup semewah ini. Lupa akan konsekuensi dari sebab-sebab yang mereka buat pada alam ini.
Sebagai anak pantai, tentunya keseharian kami bersinggungan dengan kail pancing, jerat ikan, ombak dan perahu. Anak-anak pasti dibawa oleh orang tuanya masing-masing mencari ikan untuk dijual di pasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sederhananya. Tak jarang dari kami pulang tak membawa apa pun. Hanya air asin saja yang menggenang di perahu kami yang terbawa pulang ke rumah.
Entah karena perginya ikan-ikan itu atau kami yang kurang berusaha keras menangkapnya. Kadang ayah selalu merenung, sama denganku juga. Apakah kami yang ada di sini terlalu serakah menangkap ikan-ikan itu hingga sampai habis tak tersisa.
Selain itu juga, di mana tingkat perekonomian kampung ini begitu rendah. Ditambah lagi hasil tangkapan yang kurang, membuat kami semua harus bertahan hidup bersama-sama. Kami selalu saling membantu satu sama lain, antar tetangga untuk memenuhi kebutuhan dapur.
Satu ketika kampung kami dilanda musibah kesehatan. Penyakit kulit yang seragam jenisnya menyebar ke seluruh orang dikampung kami, karena kurangnya pengetahuan dan biaya untuk berobat, kami hanya menganggap itu sebagai penyakit kulit biasa. Tapi tanyaku selalu saja besar. Karena apakah ini, sampai bisa menyerang seluruh warga kampung.
Dalam ruang pikirku sudah tak kuasa menahan pertanyaan yang sudah menumpuk. Jika kalian ingin tahu, air bersih di sini sangat susah untuk didapatkan.
Kepala desa mengumpulkan semua kepala keluarga di balai desa, dengan tujuan untuk membahas wabah yang ada di kampung kami ini, ternyata bukan penyakit yang biasa. Ayah mengajaku untuk ikut. Ternyata setelah sampai di sana, aku melihat sosok orang-orang yang dipandang begitu segar, harum dan tampak begitu bersih berbaris di depan.
Kami warga desa duduk di kursi yang sudah disediakan. Kami mendengar penjelasan orang-orang segar itu. Dalam pidatonya, mereka bilang kampung kami ini sudah tidak bersih. Dan kenapa penyakit kulit itu menyerang warga, karena air pantai yang sudah tercemar dan menyalahkan warga karena kurangnya alat pelindung diri mereka dalam bekerja, jadi bakteri jahat menjadi parasit di tubuh orang-orang dan menyebar.
Aku heran kenapa orang yang berwibawa itu bisa mengucapkan hal yang menyinggung perasaanku, mungkin juga para warga desa. Aku ingin bertanya pada mereka, tetapi kesempatan itu terhalangi oleh para orang tua yang menginginkan pengobatan gratis datang ke kampung ini.
Tepat pada akhir bulan. Hasil dari percakapan di balai desa terkabulkan, semua orang mendapatkan pengobatan kulit gratis. Memang ini sebuah kebahagiaan warga yang tak ternilai harganya, sebab penyakit ini akan diperiksa dan kemungkinan akan sembuh dengan pengobatan yang memadai. Tapi aku memikirkan hal lain saat akan diobati, ada banyak pertanyaan yang aku ingin tanyakan pada mereka, hingga pada waktu giliranku untuk diperiksa dan diobati.
Lalu datanglah bagian blok kampungku diperiksa, satu persatu bergilir untuk masuk ke ruang periksa itu, setiap orang mendapatkan jatah waktu 10 menit dalam pengobatannya. Karena melihat situasi dan kondisi di mana warga begitu banyak.
Sekarang giliranku untuk masuk ke ruangan itu, pakaiannya para dokter sangat tertutup mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Apakah sebahaya ini penyakit yang hidup di tubuh kami. Aku dipersilahkan duduk, lalu ditanya profil singkatku. Saat akan di periksa, aku meminta izin untuk bertanya-tanya. Dengan sosok kepahlawanannya mereka mengizinkanku untuk bertanya banyak hal.
“Silakan Dik mau tanya apa“ Tanya dokter itu.
“Pak Dokter, kenapa penyakit ini bisa menyerang kami?“ tanyaku lagi padanya.
“Oh ini karena orang-orang di sini, selalu pergi ke laut yang air pantainya sudah tercemar. Jadi nanti kalo mau berlayar harus menggunakan sepatu bot”. Jawabnya.
"Kenapa tidak membersihkan lautnya saja Pak Dokter, biar kami tidak perlu memakai sepatu bot. Terus kami juga tidak pernah sekalipun mengotori laut, karena warga di sini berdoa pada laut dan menyakralkannya, tapi kenapa laut kami bisa kotor? “ tanyaku lagi penuh heran.
"Karena, masih banyak orang-orang di luar sana yang masih membuang sampah ke sungai. Yang ujungnya pasti ke laut dan terdorong ombak ke pantai.” Jawab dokter itu menjelaskan.
“Kata Ayah kalo kita menjaga alam, alam akan menjaga kita. Penyakit ini kan dari air laut berarti alam yang mengganggu hidup manusia?“ tanyaku kebingungan.
“Benar, kalo kita jaga alam, alam akan menjaga kita, tetapi alam bukan parasit” jawabnya.
Selagi dokter berbicara menjawab pertanyaanku, langsung aku potong dengan pernyataan.
“Berarti manusialah yang menjadi parasit di muka bumi ini?“ pernyataanku.
( Februari, 2021 )
* Merespons limbah minyak di kabupaten Indramayu, pantai dan laut dengan air yang berwarna hitam
Muhamad Jessa Rezky adalah seorang yang hobi mendaki gunung dan menulis. Tinggal di Blok Rabu, Desa Maja Selatan, Kecamatan Maja, Kab. Majalengka. Kesibukannya sehari-hari adalah di perpustakaan, karena baginya perpustakaan adalah ruang yang serba bisa dan serba ada. Dia juga aktif di komunitas literasi bernama MAJABACA. Pada tahun 2020 buku pertama miliknya terbit secara indie dengan judul “Tidak beraturan“ sekumpulan puisi dari saya Sekolah menengah pertama. Nomor WhatsApp: 085-520-742-899 atau Email : jessarezky13@gmail.com. Instagram : bbojes_