Pertemuan di Los B

24/07/2024

 

“Apakah kau ada membaca suratku?” Pertanyaan itu masih terngiang di ingatan Adi. Wajah Andini membuatnya menghalu hingga sinar jingga pada sore itu semakin tenggelam dan akan gelap tanpa disadarinya. Selepas dari tempat bekerja sebagai pedagang kain di Los B kaki lima. Ia tidak langsung melangkahkan kakinya menuju rumah melainkan ke tempat sesuatu yang takkan henti-hentinya ia jadikan kenangan sampai kapan pun. Sepucuk surat beramplop putih yang terlihat lusuh itu ia buka perlahan-lahan dan kembali dibaca. Bukan pertama kalinya ia menghayati isinya, mungkin ini kedelapan puluh sembilan kalinya bahkan lebih.  Surat itu dilipat menjadi tiga bagian, saat dibuka, isi surat tersebut membawa lelaki itu pada ingatan sepuluh tahun yang lalu.

“Salam…permisi pak…permisi…” Seorang gadis bermata sayu  menyapa pria tua yang duduk di kasir.

“Iya silakan masuk. Adi itu ada pembeli layani dia.” 

“Baik.” Jawab Adi sambil memegang selendang merah muda yang akan ia letakkan di lemari depan.

“Ada yang bisa dibantu dek?”

Gadis itu diam tidak menjawab pertanyaan Adi. Pemuda itu bingung dengan tingkah laku gadis tersebut. Ia berdiri mematung sambil menggenggam tangannya seperti gugup.

“Maaf dek, mau beli apa, mau cari apa?” Adi Kembali bertanya.

“Bisakah saya bertemu dengan pemilik toko ini?”

“Oh bisa kebetulan itu pemiliknya yang sedang duduk di meja kasir.” Jawab Adi sambil mengarahkan tangan kanannya ke arah Pak Umar.

Tanpa menjawab dan hanya tersenyum, gadis itu pelan-pelan melangkahkan kaki masuk ke dalam toko untuk menemui Pak Umar.

“Iya, ada apa nak?” 

“Saya Andini pak, kampung saya sangat jauh. Sudah dua hari saya tidak makan. Di kampung, ibu saya telah menjanda selama lima tahun. Dua adik saya sedang sekolah juga. Jadi, saya tidak mau membebani mereka dengan Pendidikan saya di sini. Jika boleh, saya mau melamar kerja pak. Apa saja boleh yang penting halal.” Ungkapnya dengan nada rendah. Wajahnya terlihat polos dan pipi kirinya basah.

“Tapi sudah ada orang kerja di sini. Mohon maaf ya dek.”

“Saya mohon pak. Sudah Lelah saya berkeliling tetapi tidak satu pun yang menerima saya. Ini adalah tempat terakhir dan  harapan saya.” 

Pak Umar menghela nafas panjang. Ia iba melihat gadis itu yang sedang  mengalami kesusahan apalagi sampai menangis. Pak Umar memanggil istrinya barangkali sedang membutuhkan orang di tempat usaha cabangnya di los B.

“Gimana buk. Adakah lowongan buatnya.” Pria tua itu langsung beringsut dari tempat duduknya dan membiarkan istrinya mempertimbangkan posisi kerja untuk Andini. Karena merasa simpati apalagi kepada seorang perempuan sama seperti dirinya,  akhirnya Andini ditempatkan di los B. Sebelum ditempatkan di Los B, Andini ditraining terlebih dahulu oleh Adi sampai mahir berjualan. Setelah tiga bulan,  Andini pun telah menjadi karyawan tetap bahkan dipercayakan memegang uang.

Seminggu, sebulan, hingga tidak terasa telah setahun Andini bekerja dengan baik. Pagi sampai sore bekerja, kecuali jika ada jam kuliah. Sedangkan malam, ia akan belajar untuk menyelesaikan tugas atau menyiapkan materi. Los B semakin ramai pembeli, bahkan istri Pak Umar semakin mendapat banyak pelanggan karena kain-kainnya berasal dari impor dan berkualitas tinggi, terutama harga yang ditawarkan sangat terjangkau. Maka, Adi pun dipindahkan ke Los B menemani Andini. Selama bersama, mereka saling bekerja sama dan timbullah rasa cinta di hati Adi. Melihat ketangkasan Andini dan senyuman manisnya membuat Adi melukisnya dalam tujuh lembar kertas gambar. Ia arsipkan sampai suatu hari nanti akan diberikan pada waktu yang tepat untuk menyatakan cinta. Andini yang kuliah dengan gigih akhirnya sah menjadi sarjana. Ia akan pulang ke kampungnya untuk sementara, melepas rindu pada ibu dan adik-adiknya. Saat itu, alat komunikasi belum canggih. 

Berkirim kabar dengan Andini masih sangat sulit. Parahnya Adi lupa alamat Andini. Bagaimana cara ia  mengirim surat. Hingga tujuh tahun penantian, Adi  melihat Andini tiba dengan anggun menggunakan gaun hijau muda. Keluar dari mobil hitam mengilat sepertinya gadis itu telah sukses menjadi wanita berkarir. Adi tersenyum lebar melihat kekasih hatinya datang. Tetapi, ada yang mengejutkannya. Sosok lelaki bersama seorang anak perempuan menyusulnya dari belakang. Adi ternganga dan buyar ketika disapa Andini yang tiba di hadapannya. Sepanjang pertemuan itu, Adi hanya menjawab datar setiap pertanyaan Andini. Andini merasa aneh dengan raut wajah Adi yang tidak seramah dulu. Pak Umar, yang mengetahui Andini telah menikah ikut terdiam dan menggantikan Adi untuk melayani mantan karyawannya itu karena Adi tiba-tiba minta izin ke belakang. Setelah membungkus kain yang dibeli mereka, akhirnya suami Andini izin pulang karena di luar  hujan akan turun. Sedangkan perjalanan mereka sangat jauh ialah sebuah komplek perumahan elit di ibu kota.

“Kalau begitu kami pamit ya pak.” Kata suami Andini. 

“Baik hati-hati.”

“Bang, aku akan menyusul. Sebentar saja.” Pinta Andini sambil tersenyum.

“Baik sayang, jangan lama-lama ya, lihat nih Khaira sudah kebelet pengen pulang.”

“Iya bang. Sayang mama sebentar lagi ya. Kamu ikut ayah aja dulu.” Anak perempuan cantik itu menurut perkataan ibunya dan akhirnya ikut dengan sang ayah.

“Aku duluan.” Ucap suaminya sambil tersenyum.

Andini mengangguk dan melihat suaminya telah masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba kilatan menyambar tanpa bersuara dan akhirnya hujan turun deras. Andini menuju ke belakang mencari Adi. Lalu ia melihat ke kamar Adi dan pintunya sedikit terbuka. Dari jauh,  Andini melihat gambar dirinya dibingkai di dinding tepat berhadapan dengan Kasur Adi. Di situ, Adi memandang jendela yang terbuka lebar dan memandang kosong.

“Apakah kau ada membaca suratku?” 

Adi menoleh melihat Andini. “Maksudmu?”

“Sehari sebelum aku pergi, aku menitipkan surat pada Buk Umar, apakah ada sampai ke padamu?”

Adi tidak mengerti maksud perkataan pujaan hatinya itu. Ia mencoba mengingat, sebelum meninggal, Buk Umar pernah mengatakan sepucuk surat di dalam lemari baju los B untuk Adi. Saat itu, Buk Umar sakit keras dan tak lama kemudian meninggal dunia. Lemari yang dimaksud telah  dipindahkan ke gudang. Adi lupa, ia pun segera berlari membongkar lemari tua itu. Lalu membukanya dan Adi gemetar mengambilnya. Andini tak menyangka, ternyata Adi tak pernah tahu isi surat itu. Tetapi, semua sudah terlambat.

“Mungkin memang takdir kita tidak bisa Bersama Adi. Akulah yang lebih dulu menyatakan cinta padamu.” Ungkap Andini yang sedang di belakang Adi. Andini pun pergi sambil menangis. Pak Umar hanya bisa diam melihatnya karena ia juga tahu jika keponakannya itu sudah lama jatuh cinta pada Andini. Gadis yang kini telah menjadi seorang istri dan juga ibu, keluar dari toko memasuki mobil dalam keadaan basah kuyup. Biarlah hujan membantunya menutupi kesedihan yang baru saja terjadi. 

Adi tersenyum membaca surat itu di saat cahaya matahari yang semakin redup. Dalam surat itu, Andini ingin Adi melamarnya dengan segera, tidak peduli terhadap statusnya sebagai buruh atau apa pun. Namun, karena tak kunjung menerima balasan dari Adi dan Andini malu kembali ke los B, gadis manis itu dengan putus asa menerima pinangan orang lain dua tahun yang lalu. Lelaki dengan profesi sebagai pengusaha tambang itu,  bertemu dengan Andini saat bekerja di perusahaan yang sama.

Meski Adi terluka, tetapi tidak apa-apa. Artinya, cinta Adi tidak bertepuk sebelah tangan, meski tidak bersama. Karena tuhan maha tahu mana yang terbaik.

 

Damay Ar-Rahman atau  Damayanti alumni Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe. Penulis telah menerbitkan sembilan buah buku di antaranya Aksara Kerinduan (2017),  Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2019), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja jilid 1&2 (2022), dan Musafir (2022). Karyanya telah dimuat berbagai surat kabar lokal, nasional dan Malaysia. Ig/Fb @damay_ar-rahman