Lalu, ketika purnama tiba, perempuan itu akan bertemu dengan kekasihnya.
...
Malam ini, suasananya persis seperti malam kemarin ketika aku sedang menunggunya, di tempat yang sama dan di jam yang sama. Angin memiuh lengan ramping dan menerbangkan beberapa helai rambutku. Tidak ada bulan malam ini, juga tidak ada bintang. Langit gelap dan monoton.
Suara-suara orang berbaur dengan deru kendaraan, serangga malam, gemeresik daun-daun kersen di depan kafe, dan aliran air di bawah jembatan. Suara-suara yang tidak ingin kudengar berseliweran. Pekik lengking peluit tukang parkir, klakson, dan tangisan anak kecil. Kapan aku bisa mendengar suaramu? Berapa lama lagi aku harus menunggu?
Tadi sore, dia berjanji untuk datang tepat waktu di kafe ini, tetapi nyatanya nihil! Dia selalu terlambat, kemarin, malam ini, esok, dan mungkin lusa. Dia akan terus mengulangi kebiasaan jelek seorang pelajar, menunda-nunda. Sementara aku selalu keras kepadanya agar tepat waktu, jangan terlambat sebab tenggat waktu sudah dekat.
"Santai sajalah! Kalau bisa `on time,` kenapa harus `in time`?"
Mengingat ucapnya sore lalu, tanganku refleks meremas buku pemberiannya sebelum ia pergi sore itu. Lalu, aku membantingnya. Terdengar bunyi gubrakan keras dan sontak orang-orang di kafe ini kompak menatapku dengan sudut mata yang tajam. Aku buru-buru membuka buku itu, buku dongeng anak, untuk menutupi malu.
Malam yang sial! Tugas yang sial! Kafe sialan! Rutukku dalam hati. Perasaan berkecamuk. Sisi jahat dan baik bertarung di kepalaku. Sudah berkali-kali kubilang jangan mau kerja kelompok dengan lelaki itu. Dia itu cuma nebeng nama. Akhirnya, kamu juga yang akan selalu menunggu. Kamu yang akan sengsara. Sementara di sisi lain, Tunggulah sebentar. Mungkin dia sedang ada kesibukan. Kamu tak mau, kan, jika lelaki yang diam-diam kamu sukai itu harus ‘ngulang’ semester?
Mataku membelalak. Apa? Suka? Hmmm, bagaimana ya? Aku membuang pandangan jauh ke langit, kemudian ke lampu-lampu jalan yang berkedip-kedip, lalu bendera-bendera partai di tiang-tiang yang mengangguk-angguk tertiup angin seolah mengiyakan, membenarkan perasaanku.
Kupikir, aku terlalu berlebihan. Biarkan saja dia mendapat nilai E atau yang lebih buruk dari itu. Apa peduliku? Dia yang butuh, seharusnya dialah yang datang kepadaku, meminta bantuanku dengan rayuan-rayuan manis penuh iba. Atau memohon-mohon dengan berlutut di kakiku supaya bisa menerimanya dalam kelompok belajarku. Namun, Tuhan telah membangun perasaan yang begitu megah untuknya di hatiku. Bagaimana aku bisa mengabaikannya?
Lebih dari itu, aku suka bagaimana semangat berapi-api di matanya kala dia berniat untuk mendapat nilai yang lebih baik. Namun, kebiasaan menunda-nunda itu membuatku harus menunggu, lagi dan lagi, seorang diri, di malam yang hambar, tanpa kepastian.
"Daripada bengong, baca buku ini," ucapnya sore tadi.
Untuk apa aku harus membaca buku dongeng anak kecil ini? Cerita yang telah kedaluwarsa. Masa kecilku telah kenyang menyantap cerita-cerita dongeng fantasi yang selalu berakhir bahagia. Tentang kerajaan, sihir, dan keajaiban di luar nalar. Bagiku, itu adalah sebuah pembohongan.
"Cerita ini sedikit berbeda. Bisa jadi bahan referensi tugas kita."
Aku perhatikan buku ini. Ujungnya lusuh sebab kuremas tadi.
"Aku pasti datang, kok."
Di luar kelam meninggi. Sayup azan Isya mulai terdengar dari toa masjid. Tanganku tiba-tiba membuka halaman pertama buku, kemudian menuju lembar-lembar selanjutnya. Gambar ilustrasi yang menarik, menggelitik mataku untuk membaca paragraf yang bertebaran di sampingnya. Aku mulai membacanya. Demikian isinya:
Di atas kayangan juga ada kehidupan seperti di Bumi. Mereka hidup seperti manusia, makan, minum, dan berkeluarga. Namun, mereka memiliki derajat yang berbeda dengan manusia. Kehidupan di kayangan terdiri dari makhluk yang disebut dewa dan dewi sementara kehidupan di Bumi dihuni oleh manusia, laki-laki dan perempuan.
Di kayangan, mereka dipimpin oleh seorang ratu bernama Sunan Ambu, dewi paling cantik dan disegani di kayangan. Ia memiliki seorang anak lelaki tampan bernama Guruminda. Namun, ketampanan wajahnya itu berbanding terbalik dengan sikapnya yang arogan, kasar, suka berkelahi, mabuk-mabukan, berjudi, dan gonta-ganti pasangan. Seluruh hidupnya tidak teratur.
Ketika tiba saatnya Sunan Ambu harus turun dari singgasananya, ia memilih calon pewaris takhta kerajaan. Sesuai tradisi di kayangan, pewaris takhta harus dari kaum bangsawan pula. Gurumindalah orangnya. Namun, Sunan Ambu ragu akan kecakapan Guruminda dalam memimpin kerajaan. Sikapnya yang kasar dan suka bermain wanita membuatnya menjadi sosok dewa yang paling dibenci.
Lalu, setelah pertimbangan yang matang, Sunan Ambu memberikan ujian kepada Guruminda dengan mengutuknya menjadi seekor kera. Jika ia berhasil mengubah sikap dan tata kramanya, ia akan menjadi raja di kayangan. Sebaliknya, jika gagal, ia akan menjadi kera selamanya. Guruminda terempas dari balik kapas-kapas awan, kemudian hujan turun, kilat mengerjap, guntur berdebam. Ia jatuh ke Bumi.
Bagaimanapun, Guruminda adalah seorang dewa di langit. Makhluk Bumi tidak sebanding dengannya. Lantas, ia menjadi kera paling sakti di seluruh pegunungan. Ia menjadi seorang raja bagi para kera, hingga ia lupa akan tujuan utamanya, memperbaiki sikap dan tata kramanya.
Guruminda dalam wujud kera masih suka berkata kasar, rakus, ganas, dan gonta-ganti kera betina untuk dijantani. Ia sempat berpikir, untuk apa kembali ke kayangan jika di sini ia telah menjadi seorang raja. Ia terlampau angkuh. Perangainya lebih buruk dari seekor hewan. Namun, bukankah itu memang sikap alami seekor kera?
Sementara di belahan Bumi yang lain, seorang putri bernama Purbasari mengalami nasib yang sama. Ujian berat tengah menimpanya. Tubuh cantiknya berubah menjadi buruk rupa akibat sihir dari kakak kandungnya sendiri yang tidak suka Purbasari menjadi ratu pewaris takhta. Tubuhnya dipenuhi dengan bercak-bercak hitam yang mengeluarkan nanah berbau busuk.
Purbasari digelandang ke tengah hutan sebab orang-orang takut akan sihir. Tidak ada tempat bagi orang dengan sihir di tubuhnya. Purbasari menangis. Sikapnya yang baik hati dan lemah lembut mengantarkannya pada kekejaman fitnah kakak kandungnya sendiri. Sungguh ia tidak pernah menginginkah takhta dan harta, tetapi atas prakarsa ayah yang menghendaki itu. Seorang pemimpin haruslah bersikap baik kepada rakyatnya dan Purbasari adalah orang yang tepat untuk memimpin kerajaan. Namun, sikap baik seolah menjadi musuh bagi orang-orang yang iri.
Di sebuah telaga, cahaya purnama memantul-mantul. Gelombang yang halus menciptakan mozaik dan gambar-gambar samar. Permukaan air seperti cermin yang retak, bayang-bayang membias, pecah, pilu, merana.
Di telaga itulah, Guruminda dan Purbasari bertemu. Takdir memiliki banyak cara untuk mempertemukan seseorang. Mata mereka saling beradu, nyalang, dan hampa untuk sekian detik. Guruminda tertegun melihat seorang perempuan yang menangis di telaga dengan seraut wajah lusuh, kotor, buruk rupa pula. Tiba-tiba perasaan untuk mendekati, menolong, atau memberikan perlindungan bangkit dari lubuk hati Guruminda. Perasaan aneh yang bukan perangai seekor kera. Guruminda mendekati Purbasari yang seolah pasrah. Ia rela jika seekor kera itu mencabik kerat dagingnya atau mengisap darahnya. Tatapan Purbasari layu, selayu harapannya, selayu keinginannya untuk hidup.
Guruminda meraih tangan Purbasari seperti yang dilakukannya kepada dewi-dewi kayangan ketika nafsu birahinya memuncak. Namun, birahinya luntur ketika menatap mata Purbasari. Perasaannya berubah menjadi rasa ingin menolong, rasa iba yang jujur, sejujur cahaya bening di telaga. Guruminda lantas menuntun Purbasari ke kerajaan kera. Di mana-mana ada kera. Di pohon, bukit, dan gua. Semuanya dipenuhi kera. Hanya Purbasari seorang yang bertubuh manusia.
Purbasari dengan perangai baik, lemah lembut, dan penuh kasih lantas tak menjadikannya sebagai orang asing di kerajaan kera itu. Lambat laun, ia akrab dengan kera, tidur dan makan dengan kera. Ia tak peduli dengan perilaku kera yang jorok dan kotor sebab begitulah kehidupan kera. Kera-kera itu juga tak peduli dengan wajah Purbasari yang buruk rupa. Mereka berteman dari dalam hati, tulus, murni, dan lugu.
Guruminda yang arogan, menjadi seekor kera yang jinak di hadapan Purbasari. Guruminda melindungi Purbasari, begitu pula sebaliknya, Purbasari mengajarkan cinta, kasih, dan kebaikan kepada Guruminda. Mereka berdua menjadi makin akrab, kemudian saling mencintai.
Kisah cinta antara manusia dan kera. Apakah itu masuk akal? Namun, tidak ada yang mustahil dari sebuah dongeng. Aku menilik ke luar kafe. Lelaki itu belum tampak juga. Aku melanjutkan membaca kisah ini.
Guruminda, tanpa disadari, telah melenyapkan kutukan itu. Tubuh keranya bersinar di bawah pendar purnma. Semua makhluk yang melihatnya terkesiap. Cahaya yang benar-benar putih. Kilat-kilat beningnya menembus kegelapan hutan dan pegunungan. Ia berubah menjadi seorang dewa yang tampan dan gagah. Badannya pejal dan kekar. Perangai baik dan sikap bijaksana melekat pada dirinya. Potret sempurna seorang dewa.
Lalu, dengan kesaktian dewa yang telah kembali, Guruminda mengangkat sihir dari tubuh Purbasari. Kecantikan yang tak tertandingi serupa purnama, serupa pantulan bening di samudra, terpancar dari wajah Purbasari. Ia kembali dengan raut rupawan dan berkarisma.
Di tengah kebahagiaan itu, Sunan Ambu turun dari kayangan, hendak menjemput putranya dan membawa kabar gembira bahwa ujiannya telah selesai. Guruminda harus pulang ke kayangan dan menjadi seorang raja di sana.
Guruminda yang telanjur mencintai Bumi, juga Purbasari, kekasihnya, menolak mentah-mentah tawaran itu. Ia memutuskan untuk tetap tinggal di Bumi bersama Purbasari dan teman-temannya, para kera.
"Tidak! Kau harus kembali. Seorang dewa tidak bisa bersatu dengan manusia! Derajat kita lebih tinggi dari mereka!" gertak Sunan Ambu meledak-ledak.
"Aku akan tetap tinggal di sini, Bu! Lebih baik menjadi raja dari sekumpulan kera daripada menjadi raja untuk dewa-dewi yang angkuh!"
"Pulanglah!"
"Apakah tak cukup Ibu memberiku ujian dalam wujud kera? Dan sekarang, Ibu akan mengujiku lagi dengan cinta?"
"Pulanglah atau ibu akan memaksamu!"
Seketika kilat mengerjap, petir menyambar, angin memiuh kencang, menerbangkan pohon dan melesatkan batu-batu. Sunan Ambu dan Guruminda bertarung. Mereka mengaduk-aduk lautan, menghamburkan gunung-gunung, menumpahkan samudra, hingga pagi menjelang, Guruminda tumbang.
Guruminda mau tak mau harus menuruti titah ibunya, menuju kayangan dan meninggalkan Purbasari beserta kawan-kawannya di Bumi. Takdir punya caranya sendiri untuk memisahkan seseorang.
Purbasari menangis di tepi telaga menyaksikan Guruminda terbang meninggalkannya. Namun, sebelum itu, Guruminda berjanji bahwa setiap bulan purnama ia akan datang untuk mengunjungi Purbasari. Seolah ada bunga yang merekah di pipi Purbasari. Ia menemukan sebuah harapan akan cintanya.
Di tepi telaga, setiap bulan purnama, Purbasari bertemu dengan kekasihnya. Sebagai seorang raja, Guruminda tidak bisa meninggalkan singgasananya. Ia hanya bisa melihat kekasihnya di Bumi dalam wujud bulan purnama yang cahayanya mampu menyingsing kegelapan. Guruminda dalam wujud purnama yang menggantung di langit membelai pipi Purbasari dengan kerinduan yang teramat sangat.
Sementara itu, Purbasari selalu menunggu bulan purnama untuk membawanya terbang melintasi awan dan langit, tetapi itu tidak pernah terjadi sebab mereka adalah dua insan berbeda alam. Untuk membuktikan kesetiaannya, Purbasari menjalani penyucian jiwa dengan bertapa di gua kera selama ratusan purnama, hingga air mata rindunya mengering, hingga tubuhnya mengeras serupa batu.
Lalu, jiwa Purbasari menjelma kunang-kunang yang bertebaran dengan gemerlap cahaya redup di telaga seolah sedang kehausan sebab tak mampu menggapai purnama yang jauh di atas kayangan. Dengan begitu, hanya Purbasarilah yang dapat memiliki cahaya purnama Guruminda. Meski langit malam terlampau kelam, ia masih bisa menyimpan cahaya purnama Guruminda di tubuhnya.
Demikian kisah cinta Purbasari dan Guruminda. Selama berabad-abad, mereka hanya bisa menjeritkan lengking kerinduan yang amat pedih.
Aku menghela napas. Telah selesai cerita ini, tetapi lelaki itu belum datang juga. Bagaimana jika penantian ini sia-sia? Aku memukul-mukul kepalaku yang mulai pening sebab memikirkan sesuatu yang tidak menentu.
Ah, tentu saja, cerita tidak selalu berakhir bahagia. Kadang berakhir pilu. Cinta, siapa yang mengira bakal berakhir bahagia selalu? Aku mulai menerka-nerka, bagaimana kisah cintaku kelak? Aku harap takdir Tuhan menggariskan kisah cinta yang indah di hidupku.
Tiba-tiba dari belakang, seseorang menepuk pundakku.
"Dari tadi, ya?" ucapnya.
Segera kutepis tangannya dan ingin kumaki dia, tetapi ketika aku menatap mata dan senyum manisnya, emosiku jadi luruh. Jantungku berdebar. Langit malam yang muram seolah dipenuhi cahaya purnama. Dia sangat tampan. Tuhan, apakah dia adalah Guruminda, seorang dewa dari langit yang Engkau turunkan untukku, Purbasari yang membatu dalam penantian?
Tanggamus, 30 July 2021
*Cerita di atas merupakan gubahan dari kisah "Lutung Kasarung."
Penulis bernama Firman Fadilah. Tinggal di Lampung. Buku cerpen pertamanya “First Kiss” (Guepedia, 2020).