Potret Keluarga
Satu keluarga sedang bersenang-senang di pasar malam keliling yang saat itu singgah di pasar kecamatan, sekitar dua kilometer dari rumah mereka. Si anak – masih delapan tahun – berteriak gembira di atas wahana halilintar, sementara ibunya menjerit-jerit dengan perut mual di tepi pagar, khawatir bila sewaktu-waktu sesuatu yang buruk terjadi dan anak satu-satunya itu terlempar. Si bapak memenangkan tiga boneka dari permainan capit berhadiah namun kehilangan dua puluh ribu rupiah dari permainan tebak dadu, dan si ibu, sepanjang malam itu, praktis hanya menjadi penyemangat. Anjing mereka, seekor mongrel jantan dua tahun, mengendus-endus di belakang mereka dengan ekor bergoyang-goyang. Sesekali, ia akan mendongakkan leher, menjulurkan lidah, dan menyalak kecil.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka cenderung segera menjauh karena kehadiran si anjing. Sekelompok pemuda yang menangani parkiran sambil mabuk bahkan melemparkan batu untuk menghalau si anjing ketika keluarga kecil itu melintas. Si anjing, bagaimana pun, bukanlah anjing yang galak. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa meskipun sama-sama dilarang oleh agama, orang-orang masih bisa menerima alkohol dan judi, tetapi tidak dengan anjing.
Setelah tiga kali berkeliling pasar dan mencoba hampir semua permainan yang ada di sana, si bocah menggelosor meluruskan kaki di permukaan tanah. Si ibu mengeluarkan botol berisi teh hangat dan menyuruh si bocah minum. Si bapak menyalakan sebatang kretek.
Dan si pesulap muncul.
Si pesulap mengatakan bahwa ia bisa memasukkan si bapak ke dalam lampu ajaib.
“Seperti Jin Aladin?” si bocah berseru.
“Persis,” kata si pesulap. “Murah saja, hanya lima ribu rupiah.”
Si bapak tertawa. “Sepertinya itu tidak mungkin,” katanya.
“Begini saja,” kata si pesulap. “Aku akan memberimu lima ribu rupiah jika aku tidak mampu melakukannya.”
“Setuju,” jawab si bapak. “Dan aku akan memberimu sepuluh ribu rupiah – dua kali yang kauminta, jika kau memang benar-benar bisa melakukannya.”
Si ibu memandang cemas.
Dan si pesulap melakukannya. Ia mengeluarkan lampu minyak beling dari tas selempangnya dan memasukkan si bapak ke dalamnya. Ia membuka tutup lampu, memegang tangan si bapak, lantas menarik si bapak dan begitulah si bapak masuk ke dalam lampu.
“Sepuluh ribu rupiah untukku,” kata si pesulap.
Si anak melonjak-lonjak gembira.
Si ibu semakin cemas.
“Hanya jika kau mengeluarkan aku dari sini,” teriak si bapak.
“Untuk itu,” kata si pesulap, “aku perlu lima ribu lagi.”
Si anjing menyalak.
Si anak merengek. “Tunjukkan kemampuanmu yang lain,” katanya dengan mata penuh harap.
“Aku bisa melakukan banyak hal,” kata si pesulap. “Apa yang kauinginkan?”
“Buat bapak menjadi kelinci.”
Si bapak mendengus. “Ibumu saja,” katanya. Ia masih kesal karena baru saja terjebak dalam lampu minyak beling dan membayar lima belas ribu rupiah.
“Aku?” si ibu berseru. “Tentu saja aku tidak mau.”
“Aku saja,” sela si anak.
Dan si pesulap mengubah si anak menjadi kelinci.
“Kali ini gratis,” katanya.
Si pesulap mengubah si anak kembali menjadi manusia setelah sebagai kelinci, si anak mengunyah pucuk-pucuk rumput dan si anjing mengejar-ngejarnya.
Si anak menarik-narik ujung celana si pesulap ketika si pesulap hendak pergi.
“Ajari aku,” kata si anak, “ajari aku…”
Si ibu memegang tangan si anak. “Kau tahu itu tidak mungkin,” kata si ibu lembut. “Pasti perlu bertahun-tahun untuk belajar kemampuan seperti itu. Lagi pula, ini sihir.”
Si pesulap tertawa. “Tidak apa,” katanya, “ini sesungguhnya hanyalah trik dan mantra sederhana. Dan ini sama sekali bukan sihir. Di tempat asalku, ini hanyalah permainan bocah.”
“Di mana tempat asalmu?” si bapak bertanya.
Namun, sebelum si pesulap menjawab, si anak sudah meneruskan rengekannya. “Ayo… ajari aku.”
Sesampainya di rumah, si anak tidak mau tidur. “Aku mau mencoba trik yang baru kupelajari,” katanya.
“Kau bisa mencobanya besok pagi,” kata ibunya.
Namun si anak bersikeras.
Si anjing mengibas-ngibaskan ekor.
“Baiklah,” kata si ibu menyerah. Kini mereka duduk melingkar di lantai. Bapak, ibu, anak, dan anjing mereka yang tak pernah mau ketinggalan. Masing-masing dari mereka – dengan pengecualian si anjing – sudah mengerti trik-trik yang diajarkan si pesulap. Dan untuk trik-trik itu, yang bahkan tak mereka uji coba di hadapan si pesulap, si bapak mesti mengeluarkan seratus ribu. Bukan jumlah yang sedikit, namun pasti tidak mahal untuk ilmu seunik itu.
“Aku akan mengubah ibu menjadi…” si anak berpikir. Ia membayangkan semua jenis binatang dan matanya berputar. Lantas ia melihat anjingnya.
“Anjing,” katanya.
“Baiklah,” kata si bapak. “Dan aku juga akan mengubahmu menjadi anjing.”
“Dan aku,” sahut si ibu, “akan mengubah bapakmu menjadi anjing.”
Mereka sudah hampir melakukan itu saat tiba-tiba si anjing menyalak. Mereka menoleh bersamaan ke si anjing dan menyadari bahwa sesuatu mesti dilakukan kepada si anjing.
“Mungkin kita bisa melakukan percobaan dulu,” kata si bapak. “Dengan mengubah anjing ini menjadi manusia.”
“Ide bagus,” seru si anak.
Dan begitulah mereka membaca mantra bersama-sama dan memainkan tatapan mata.
Dan begitulah si anjing menjadi manusia.
Mereka tertawa sampai berguling-guling. “Ini benar-benar bekerja,” kata si bapak.
“Sangat mudah,” tambah si ibu.
“Besok,” kata si anak, “aku akan membuat kebun binatang di sekolah.”
Lantas setelah selesai tertawa, mereka saling mengubah masing-masing menjadi anjing. Mereka saling menatap. Lantas masing-masing membaca mantra. Dan begitulah mereka berubah bersama-sama menjadi anjing.
Masalahnya adalah, sebagai anjing, mereka tak bisa menerapkan mantra dan trik yang diajarkan si pesulap untuk mengembalikan mereka ke bentuk semula. Mantra dan sedikit trik melalui tatapan mata yang diajarkan si pesulap diciptakan untuk manusia dan bukannya anjing – meskipun itu anjing yang berasal dari manusia. Dan si anjing, yang kini jadi manusia, tidak bisa mengerti mantra dan trik yang diajarkan itu karena ia masih berwujud seekor anjing ketika mantra dan trik tersebut diajarkan.
Dan kini, mereka bertiga berlarian panik ke segala penjuru rumah. Mereka berteriak-teriak. Mereka menabrak-nabrak apa pun. Namun yang terdengar hanya gonggongan berisik dan lolongan panjang. Dan si anjing, yang kini jadi manusia, berusaha menenangkan mereka, meneriaki agar mereka duduk, diam, melemparkan tulang mainan, memberi makanan, melemparkan tongkat kayu, dan seterusnya.
Dan tidak berhasil.
Mereka masih berlarian panik, menggonggong dan melolong.
Lantas seorang tetangga datang mengetuk pintu.
“Jangan berisik,” teriak si tetangga, bahkan sebelum pintu dibuka.
Keesokan malamnya, di bawah pimpinan si anjing, mereka kembali ke pasar malam. Orang-orang menjauh setiap kali berpapasan dengan mereka. Berkali-kali mereka berkeliling. Namun si pesulap tidak kunjung mereka temukan.
Ketika pada akhirnya mereka beristirahat di tepi pasar, si anjing berkata, “Jangan khawatir. Aku akan menjaga kalian.”
Dan mereka menggonggong pelan sambil mengibas-ngibaskan ekor.
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), dan Sapi dan Hantu (Kumpulan puisi, 2022). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku Cara Kerja Ingatan merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Buku Sapi dan Hantu merupakan juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan. No Hp : 087854564747