NIRA Nirwana, sudah saatnya bagimu mengenal sosok yang kau anggap sebagai Arjunamu ini lebih dalam. Pertemuan kita baru seumur jagung, tapi tekadmu telah bulat untuk memilih jalan terjal kehidupan bersamaku. Tak mudah bagiku untuk menjawabnya sekarang. Nira, harga diriku sebagai lelaki porak-poranda oleh desakanmu yang mendadak itu, tapi hal tersebut berbenturan dengan beberapa prinsip yang telah kupegang kukuh selama ini.
Kau pun sendiri tahu, bahwa aku seorang kere yang suka mengarang. Bukan seorang pujangga, Nir, kau salah paham jika menganggapku orang yang semulia itu. Lihatlah kata-kataku yang kutulis tak lebih dari sekedar aksara yang berirama, aku tak bisa menyisipkan barang secuil pun jiwa di sana. Cerita yang kukarang pun terkesan mengada-ada. Memang benar bahwa karangan adalah suatu yang mengada-ada, tapi karangan yang kubuat sangat menyimpang dari kenyataan. Lihatlah, banyaknya gagasan cerita yang menurutku sebagai ledakan untuk mencari perhatian.
Sudahlah, tak penting membahas yang seperti itu. Nira, kau pasti tak akan percaya kalau aku dapat menciptakan semesta dalam diriku, hanya aku sendiri yang bisa masuk tentunya. Kau pasti sudah menebaknya. Ya, semesta inilah sumber dari segala sebab dalam hidupku. Baik yang berhubungan langsung denganku, kehidupanku, atau denganmu, Nir.
Oh, ya. Di dalam semestaku terdapat semesta yang lebih dalam, Nir. Ah, begini saja biar lebih mudah, segala sesuatu yang berhubungan antara aku dan dunia luar, kusebut sebagai semesta dasar. Semesta yang satunya lagi, tentunya semesta yang menghubungkan antara aku dengan diriku sendiri. Bagaimana, apakah sejauh ini kau tertarik membacanya, Nir? Jika, ya, biar kuceritakan bagaimana semesta-semestaku itu. Semoga kata-kata yang kupilih dapat melukiskannya dengan benar.
Nir, semesta dasarku ini tak beda jauh rupanya seperti dunia tempat kita hidup. Ada hutan, gunung, sungai, danau, samudra, pantai, desa, kota, hewan dan manusia. Namun bedanya, mereka hidup menuruti aturanku. Rupa mereka juga bisa berubah sesuai kehendakku. Lihat, seperti orang yang berkepala tikus itu, ah, jangan kau bayangkan penggambarannya seperti ilustrasi koruptor di TV, itu sih tikus kantor yang masih rupawan. Coba kau bayangkan ia memiliki mata yang sedang mabuk kepayang, (Maksudku, teler karena keracunan buah keluwek), Lendir hijau sepekat zamrud keluar dari hidungnya, gigi runcing yang tak henti-henti menggerogoti uang logam, dan bau busuk yang menyeruak dari mulutnya.
Kau pun ada di dalamnya, Nir. Tentunya sosokmu adalah bidadari. Namun, aku masih tetap saja merasa bingung. Kau adalah sosok yang benar-benar berbeda di sana. Karenamu, aku kehilangan setengah kekuasaan pada semestaku sendiri. Biasanya, aku bisa mengatur cuaca, tapi sejak ada dirimu semua tergantung sikapmu kepadaku. Lihatlah musim semi yang kau ciptakan saat tersenyum. Lihatlah badai yang menerjang saat kau mengacuhkanku. Ah, dan kini, kau tiba-tiba datang untuk menyatakan diri rela hidup bersama, semestaku porak-poranda karenanya.
Ada sebuah danau yang sangat luas dan dikelilingi hutan sakura yang selalu mekar. Hanya ada seekor ikan mas berwarna perak yang hidup di danau itu. Nun jauh di seberang, sebuah gunung menjulang sangat tinggi. Mudah saja bagiku untuk mencapai puncaknya. Aku bisa melesat dengan kecepatan cahaya atau berlari tanpa merasakan lelah sedikit pun.
Gunung itu belum memiliki nama, Nir. Jika kau suka, kau boleh menyebutnya Indrakila. Ya, gunung tempat Arjuna melakukan tapa brata. Tapi, aku lebih sepakat gunung tersebut dinamai Jamur Dipa. Ada kawah yang menganga dan berapi-api seperti Candradimuka. Kawah itu adalah pintu masuk menuju semestaku yang paling dalam. Nanti kau tahu sendiri alasannya mengapa aku lebih setuju nama itu.
Setelah kupikirkan, ternyata ada benarnya juga kau menganggapku sebagai Arjunamu. Selain kau Nir, Laras, Sinta, Sarah dan orang-orang yang tak bisa kusebutkan satu-persatu, kalian tampak tergila-gila padaku. Ah, padahal aku tak mengharapkan seorang pun perempuan, awalnya jalan Bhisma yang akan kutempuh. Ya, aku pun beranggapan bahwa kepemilikan atas sesuatu dapat me-micu pertikaian, apalagi perempuan. Namun, sejak kau menyatakan hal itu, prinsipku pun goyah. Kau seperti Subadra yang setiap keinginannya harus dipenuhi oleh sang suami.
Bukan Arjuna namanya jika tak bisa bertapa. Aku pun bertapa, Nir. Semestaku yang terdalamlah tempatnya. Di dalam sana, semua bias belaka. Awalnya, begitu sulit untuk menentukan baik dan buruk, godaan atau cobaan, bahkan Linggaku sering berubah menjadi Yoni, atau gabungan dari jenis keduanya. Benar-benar berbeda, pada semestaku yang ini, aku tak bisa mengendalikannya barang sedikit pun.
Semua wujud datang dan pergi dari hadapanku. Harimau yang sedang marah, monyet yang serakah, ular yang licik, bahkan seekor naga yang angkuh ada di sana. Mereka menghampiriku satu-persatu, dan tak jarang menyerbuku sekaligus. Sepertinya di sinilah letak tangan Yang Maha Gaib bekerja, saat diriku tak memiliki kuasa penuh atas diriku. Ah, sepertinya tak seperti itu. Samar-samar aku lihat diriku pada diri mereka. Kadang-kadang diriku sendiri yang berubah menjadi mereka. Bisa jadi mereka berasal dari diriku yang sejati. Ah, semesta yang membingungkan.
Aku jadi teringat kisah Werkudara yang di suruh oleh Resi Dorna mencari Tirta Amerta, Nir. Ia pun sama bertemu seekor naga di dalamnya laut selatan. Ah, aku malah berpikir sebenarnya kau lebih pantas memanggilku Werkudara dari pada Arjuna. Aku pun gagah berani menghadapi naga itu. Tanpa gentar ataupun berpaling sedikit pun.
Ada yang ganjil, Nir. Setelah kubunuh naga itu, me-mang ia lenyap seketika. Tubuhnya berubah menjadi abu dan memuai entah ke mana. Namun, saat aku kembali ke sana—ke dalam semestaku yang terdalam itu—naga itu malah tambah membesar dan kurasakan keangkuhannya semakin menjadi. Saat itulah aku melakukan tapa. Doaku terkabul, busur dan anak panah tiba-tiba berada di pangkuan.
Busur yang sangat cantik. Entah siapa yang mengukir badannya itu. Apakah mungkin jika Dewata yang me-ngukirnya, atau malah aku sendiri yang mengukirnya? Apakah ini busur sakti Arjuna? Entah, yang pasti aku sudah memiliki senjata untuk melawan naga itu. Tanpa basa-basi, langsung saja aku memasang anak panah itu dan membidik tepat ke kepalanya.
Ah, Nir saat itu tiba-tiba kudengar seseorang berbisik entah dari mana. “Jangan dibunuh, terima saja. Dekaplah ia sepenuh hatimu,” katanya. Aku turuti saja perintah kudus itu. Benar saja, saat kudekap hewan buas itu, seketika ia berubah menjadi aku. Semua rupa menjadi aku, gelap menjadi terang, terang menjadi gelap. Namun dengan suasana yang berbeda. Keseimbangan, itulah yang kurasakan. Sama seperti Werkudara yang berhasil mene-mukan kesejatian hidupnya. Aku malah jadi curiga, sebenarnya Werkudara tidak benar-benar menyelam ke kedalaman laut selatan. Ia menyelam ke dalam dirinya dan menemukan kesejatian.
Nira Nirwana, sekali lagi kutegaskan: kaulah orang yang memorak-porandakan semua semestaku, permin-taanmu untuk bersanding hidup denganku serupa benih kekacauan yang coba merusak keseimbangan dalam hidupku yang selama ini kujaga, lihatlah selama ini meski aku hanya seorang kere dan tanpa seorang pun kekasih tapi tetap saja bahagia, semua karena aku telah selesai dengan diri sendiri. Tapi salah, aku masih saja lemah dan bisa goyah. Nah, Nir, telah kuceritakan bagaimana aku sebenarnya. Selebihnya, kuserahkan padamu Subadra-ku.
Galang Gelar, lahir di Bandung 6 Desember 1997. Menetap di Ciamis sejak SD.
*Cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen berjudul “Darahmu Tetap Saja
Berwarna Merah” karya Galang Gelar. Dapatakan bukunya di sini.