Aku mencintai bahasa nasional Indonesia sepenuhnya di mana pun tempat tinggalku. Melalui pemikiran kolot itu, namaku tercantum sebagai salah satu staf pengajar di gedung milik Kamar Dagang dan Industri Kota Hebron, Palestina. Tidak pernah kusangka sebelumnya, bahwa aku dapat hidup dari sesuatu yang sebenarnya cukup melelahkan mengingat traumaku secara personal akan perang.
Tugasku sederhana, yaitu di siang hari membuka, mengajar, dan meramaikan kelas, sementara di malam hari terserah, tidak ada aturan baku tertentu. Tidur di gedung boleh, beristirahat di asrama KBRI bagi Palestina, sah-sah saja. Hanya dosen asing, tuna asmara, minim aktifitas berlibur.
Bagaimana mungkin bisa berlibur kalau di seberang kota tempat tidur ratusan ranjau sudah bertebaran di jalan-jalan. Sengaja kulamar pekerjaan bertaruh nasib ini, selain karena minimnya peluang mendapat banyak uang di Jakarta juga karena aku berniat mendekatkan diri kepada Tuhan, mengenal Islam lebih rinci. Beberapa kali aku sempat jadi relawan perang di Gaza, sebagai tenaga logistik dan kesalnya tidak pernah ada satu media pun yang menyiarkan kegiatanku.
Sore itu, aku melanjutkan tugas mengajar. Menjelang libur tahun baru Islam, kebetulan sedang ada gabungan kelas untuk saling belajar bahasa sekaligus kebudayaan. Beberapa hari sebelumnya, sudah ada kesepakatan antara kami—akan membawa gaya tradisional masing-masing—mengenalkan kebiasaan antara masyarakat Indonesia dan Palestina.
Aku muslim dan orang Jawa. Kubawa dua buah karakter wayang untuk kumainkan, peci hitam sukarno, dan tempe goreng sekotak penuh beserta sambal terasi juga nasi. Maksud hati agar mereka tahu bahwa makanan dan penampilan orang dusun di Jawa tidak kalah layak dari individu metropolis Jazirah Arab.
"SubhanaAllah!" ujarku.
Aku terkaget-kaget. Para mahasiswa itu terlihat berbeda dari biasanya. Beberapa ada yang mengenakan Thobe, pakaian tradisional wanita palestina. Kebanyakan memakai variasi warna biru dengan bentuk jahitan yang warna-warni. Mereka terlihat lebih cantik dari biasanya.
"Warna biru, berarti mereka sudah menjanda tanpa sempat aku tahu," batinku dalam hati.
Memang, secara regulasi aku tidak diperbolehkan mengetahui latar belakang para mahasiswa yang kudidik. Kecuali mereka sendiri yang menceritakan secara personal tentang diri mereka melalui obrolan lisan di kelas atau di lingkungan gedung. Tapi jangan salah, usut punya usut di banyak artikel yang pernah kubaca, bentuk rajutan Thobe punya peran penting pada masa gerakan awal intifada Palestina.
"Sayangnya, aku sudah terlalu kenyang dengan porsi sedemikian itu, teman-teman!" seruku, menyapa kelas.
"Cobalah di meja kami, Pak," pinta salah seorang mahasiswa. Menginginkan atensi dariku.
"Benar. Pasti tidak akan mengecewakan," ujar teman di sebelahnya.
"Apakah ini jenis yang terbaik di Hebron?" kusanggah dengan nada yang santun.
Benar-benar selera Palestina! Coba saja bayangkan dalam sebuah ruangan, kamu dimanjakan dengan sajian pemandangan busana Thobe dari wanita-wanita cantik lalu kelezatan dari kuliner yang dinamai Mushakkan, Maqluba atau sejenis yoghurt bernama Labneh dari satu meja ke meja lain. Ini yang lebih kusuka dari mahasiswa muslim ketimbang mahasiswa bermantel yang menyelipkan botol-botol vodka berbau menyengat di dekat pinggang.
Tanpa berpikir panjang. Aku pun mulai berkeliling, membuat ruangan kelas menjadi serasa agak sempit. Para mahasiswa hampir selalu mengikutiku, hanya kelompok yang kukunjungi mejanya yang duduk. Ini mengingatkanku tentang pengalaman lucu ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar, kebiasaan lokal di kampung halaman. Ketika pada sebuah jadwal kami diminta membuat karya dalam kelompok, kami akan berkelakuan seperti itu saat guru menilai hasil pekerjaan tangan siswa.
Berbeda dari masa-masaku di Sekolah Dasar. Sekarang, aku pada posisi sebagai pendidik yang sedang menilai karya para pelajar. Ya, kucicipi beberapa makanan Palestina yang mereka bawa, serta kunilai otentik cita rasa yang ditawarkan. Seperti harapanku beberapa hari sebelumnya, sore itu, aku merasakan ruang kuliah Palestina yang sebenar-benarnya.
Setelah kembali ke ruang muka kelas, aku mengeluarkan perlengkapan guna memainkan wayang. Para mahasiswa agak terkejut, karena ini pertama kali mereka melihat benda aneh semacam yang kubawa namun tidak ada pertanyaan. Mereka hanya saling berbisik satu sama lain. Mulai kumainkan dua buah karakter wayang kulit, aku duduk bersila di lantai, membelakangi mereka dan papan tulis kujadikan kelir.
"Dalang yang memakai peci. Kalian pernah melihatnya?" tanyaku, selepas pertunjukan singkat selesai kutunaikan.
"Belum pernah, Pak!" seru mereka kompak.
"Oke, selanjutnya, mari kita coba buka sesi tanya jawab. Siapa pun dapat mengeluarkan semua unek-uneknya di sini, silakan!"
Seperti biasa, cukup sebagian saja dari mereka yang memberi konfirmasi atas kegiatan apa yang telah kusajikan sebelumnya. Tiba-tiba dari sisi belakang, paling pojok, seorang mahasiswa mengangkat tangan. Pertanda dia akan memulai sebuah forum diskusi dengan lontaran pertanyaan di benaknya.
"Tentu saja! InsyaAllah akan kujawab setahu dan semampuku," tandas aku meyakinkan.
"Hanya, pertanyaan saya yang satu ini. Bukan tentang kuliner, Pak. Sedikit ingin tahu lebih dalam tentang pengetahuan Anda mengenai revolusi," sanggah mahasiswa yang duduk di sudut kelas tersebut.
"Kurasa, besok aku akan pindah mengajar di Universitas Ilmu Politik," sambil tertawa kecil, kupersilakan dia bertanya.
"Kenapa perang harus terjadi di Palestina?"
Aku tertegun, mendengar yang dia tanyakan. Cukup lama, aku berpikir. Karena pertanyaan jauh melenceng dari soal pewayangan lantas mulai kuberanikan diri menjawab.
"Mungkin, secara tidak langsung. Berkaitan dengan sekularisme,"
“Nasrani saja yang membedakan hak raja dan hak Tuhan bisa menerima sekularisme, sementara Islam yang tidak membedakan antara dunia dan akhirat sulit menerimanya. Justru, aku perlu pula bertanya balik. Mengapa muslim selalu bicara politik dan bisnis dalam urusan agama? Padahal politik dan bisnis itu hanya akan bermuara pada urusan perang,” kujelaskan sedikit rinci.
“Kalau perang itu pecah. Bagaimana cara kami meredam, Pak?” tanya dia, memperpanjang.
“Kukira, harus ada lagi kepercayaan pada kebaikan hati perorangan dan menghendaki kebaikan hati kolektif. Semisal. Perdamian harga mati, baik itu masalah antara kalian dengan orang Isreal,”
Saling percaya agar terus berbuat baik tanpa peduli ras dan suku, merupakan kunci akan hilangnya peperangan. Aku melihat dia hanya menunduk, mungkin ada dendam yang telah mengakar kuat di dadanya. Dendam yang sewaktu-waktu dapat meledak sampai membuahkan kemarahan yang tiada lagi mengenal kondisi sekitar. Dia cukup aneh, berbahaya, menurutku, tetapi ada banyak orang di sekitarnya dan itu tidak akan memperpanjang soal. Karena ini forum pertukaran pendapat di ranah akademis.
“Bukan berarti aku membela keburukan Israel kepada kalian. Aku, katakanlah di sini, hanya memberi sebuah pandangan tertentu yang menururtku, punya potensi untuk menghentikan sedikit peperangan,” lanjutku.
“Bahkan Palestina telah memberiku kehidupan berharga. Kalian boleh katakan aku pribadi sekuler, bla-bla-bla namun aku juga tahu pasti, bagaimana cara menghargai sebuah kebaikan,”
“Kalau kami bilang Anda tidak tahu malu?”
“Ah, ayolah! Kamu letakkan di mana kepercayaan pada kebaikan hati itu? Doa yang tebaik untukmu,”
Suasana hening, dia diam. Kutunggu beberapa menit, nihil jawaban.
“O, ya, mungkin akan lebih nyaman kalau kita rehat sejenak bagi kegiatan sore ini. Ingatlah pasti aku akan selalu percaya pada kebaikan hati kalian semua, anak-anak Palestina,” tukasku, coba menyuntikkan nuansa positif. Tentu, agar ruangan jauh dari rasa sesak. Detik-detik berikutnya berlalu tanpa ada pembicaraan.
“Sehat selalu, Pak!” seru mereka bersamaan.
“Barakallahulakum,” aku kembali ke meja di dekat papan tulis. Mereka mengemasi barang-barang. Kubuka tas yang lebih kecil, ternyata aku melupakan sesuatu. Beberapa bungkus nasi tempe dan sambal goreng terasi.
“Boleh kuminta beberapa menit lagi? Sebentar saja,” pintaku, bertanya lebih terbuka.
“Ada apa, Pak?
“Aku punya beberapa bungkus nasi. Makanan orang Jawa, siapa tahu ada yang tertarik. Hanya kusisakan satu untuk porsi makan soreku kali ini. Selebihnya, bisa kalian nikmati,”
Beberapa lama kemudian, sekelompok dari mereka menghampiri tempatku duduk. Mengambil bungkusan nasi yang telah kutaruh, kusiapkan di meja. Tapi tunggu dulu, ada sesuatu yang sedikit ganjil. Sekilas, secara lebih dekat, aku melihat mahasiswa yang tadi berdiskusi denganku. Dia yang duduk di sudut kelas itu, tunggu dulu! Tunggu!
Wajah yang sungguh tidak asing, akrab dan terngiang di memori kepala. Baju yang masih sama namun terlihat agak lebih bersih. Aku masih ingat, sorban yang menutupi lehernya, dulu pernah bersimbah darah di Gaza. Dia, Rashad! Benarkah, teman lama yang dahinya tertembus peluru Serdadu Zionis saat berintifada itu, sejak dari tadi?
“Astaghfirullah!”
Kepalaku dihantam banyak gambaran, tentang masa lalu yang sangat ingin kulupakan. Intifada, batu dilempar ke arah mobil-mobil baja, anak-anak kecil berlarian, semerawut, beberapa tangan atau kaki yang terputus berserak di jalanan, darah kental terserap tanah berpasir. Ingin kupanggil, kupastikan namun hati kecil bilang, “Sebaiknya, aku lekas pulang dan menenangkan diri dengan lebih rileks,”
***
Esok paginya aku bangun dengan perasaan dan kondisi yang lebih stabil. Tidak ada mimpi buruk atau kecemasan meluap. Sehabis mandi, aku menuju dapur, kusobek sebuah kopi Nusantara kemasan sachet. Takaran pas buat satu cangkir lantas kuseduh dengan air panas. Kubakar tiga potong roti tawar yang kuolesi dengan selai nanas di bagian dalam dan margarin di sisi luar.
Sarapan usai, aku langsung kembali ke kamar. Coba kembali melihat data-data lama yang berkenaan dengan Rashad. Aku penasaran, seutuhnya.
Kutemukan sebuah berkas, berisi informasi dari data diri para relawan yang wafat di Gaza. Ada alamat rumah dan nomor telepon tercantum di daftar milik Rashad. Dia juga mengutarakan kondisi sebelum keberangkatan terakhirnya ke Gaza, bercerita masih memiliki seorang kerabat di Hebron, adik lelaki yang kini tinggal sebatang kara.
Gerakan intifada yang menewaskan Rashad, berlangsung di hampir semua wilayah konflik antara Palestina dan Israel, pertama kali terjadi pada 1987. Beberapa sumber menceritakan yang paling awal terjadi ketika sekumpulan pekerja Palestina ditabrak oleh mobil jip Israel, menyebabkan dua orang pekerja tersebut meninggal dunia. Hal itu dibumbui kondisi politik nasional yang sensitif, jadi momentum utama oleh rakyat Palestina melawan kesewenang-wenangan Israel secara masif.
Aku mengira, hari libur tahun baru akan jadi waktu yang tepat untuk berkunjung ke relasi lama. Kuputuskan pagi itu, berangkat ke alamat yang dituliskan Rashad. Mungkin, setidak-tidaknya bisa kujumpai adik lelakinya.
Aku naik taksi yang sebelumnya terparkir di pinggiran jalan besar. Tepat di depan gedung tempat tinggalku.
"Bisa mengantarku ke alamat ini?" kusodorkan secarik kertas yang berisi alamat tempat adik Rashad tinggal.
"Seorang kekasih yang cantik?" tanya sopir taksi.
"Ah, bukan. Hanya relasi lawas," sanggahku.
"Mungkin bisa kuberi potongan harga. Tanggal merah, tidak masalah bagi kami yang juga ingin beramal," dia menawari dengan harga yang sedikit lebih bersahabat.
"Baiklah, terima kasih banyak,"
Kami menuju ke rumah tempat tinggal adik Rashad. Mengelilingi sebuah perumahan di salah satu sudut Hebron yang luas, belum pernah sekalipun kukunjungi. Kami menemukannya, persis sama seperti apa yang tertera di berkas biodata. Kuminta sopir taksi menunggu sampai suasana terkendali.
Aku memencet bel di samping pagar. Kuucapkan beberapa kali salam dan pintu rumah terbuka. Kulihat penghuninya, seorang lelaki.
"Ah, sedikit mirip dengan Rashad. Kurasa memang aku tidak salah tempat," aku membatin, disertai perasaan lega.
Dia menyambutku ramah. Mempersilakanku masuk namun terlebih dahulu kumintai sedikit permohonan izin. Menyelesaikan sebentar masalahku dengan sopir taksi.
"Pak sopir, kukira aku akan membutuhkan jawaban darimu. Kamu bisa menunggu atau meninggalkan nomor kontak yang bisa kuhubungi nanti?" tanyaku singkat, saat kuhampiri.
"Biar kutunggu saja, tidak jadi masalah," pilih dia.
Setelah itu aku bergegas masuk ke dalam rumah. Rumah yang tidak besar namun serasa nyaman ditempati. Adik lelaki Rashad menyiapkan beberapa makanan ringan dan minuman di meja. Kami mengobrol selama berjam-jam. Aku menjadi tahu lebih banyak tentang Rashad. Sampai merasa agak jemu dan letih, aku memutuskan waktu yang tepat untuk berpamitan.
Sepekan setelah perbincangan hangat di hari itu. Aku menceritakan ke beberapa rekan akan detail kejadian yang aku alami, salah satu menjawab dengan nada terkejut.
"Alamat itu di dekat tempat tinggalku dan kamu tahu? Tidak pernah ada perumahan atau tempat tinggal apa pun di sana. Itu tanah kosong bekas konflik perang. Apa kamu ini sedang mengigau?"
Resza Mustafa, Pengajar di Yayasan Salafiyah Kajen, Pati. Instagram (@resza_mustafa)