Cerita Pendek Pilihan dari Buku "Nasib Terakhir: Sehari dan Sekali"
Jalan utama menuju Blitar dari arah Malang diapit oleh jalur rel dan barisan pohon mahoni. Di sisi luar rel dan barisan pohon tersebut, hamparan tanaman padi yang mulai berbuah terbentang luas dan hijau. Angin mulai berembus kencang dan dari rimbun daun mahoni, suara tonggeret menggema memenuhi udara.
Joy duduk di atas rel sambil memandangi gumpal-gumpal awan; ia mencoba menghalau kegelisahan dengan menerka bentuk-bentuk awan tersebut. Dingin masih menyelimuti udara pagi tetapi pantatnya justru merasakan yang sebaliknya. Ia merasakan hidungnya kering dan telapaknya berkeringat dan sesekali ia menoleh ke kiri dan kanan, mencoba memastikan kereta tidak tiba-tiba melintas lalu menyambarnya. Meskipun ia telah berulang kali memastikan jadwal kereta pagi itu: pukul sepuluh dan sebelas. Namun, ia perlu benar-benar yakin bahwa tubuhnya masih tetap utuh, setidaknya sampai Lutfi datang.
“Kukira kau tak datang.”
Joy terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara. Ia melihat Lutfi telah berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
“Tentu saja aku datang. Kau sudah meyakinkanku berkali-kali untuk datang,” jawab Joy.
“Apa yang kau lamunkan?”
Joy tak langsung menjawab pertanyaan itu dan justru berdiri lalu meraih tangan Lutfi, menariknya untuk ikut duduk di atas rel. Ia lalu menghela napas panjang.
“Kita sudah memikirkannya jauh-jauh hari,” ucap Lutfi, “kau masih ragu?” lanjutnya.
“Bukan. Bukan seperti itu.” Joy lalu mengeluarkan selembar foto dari saku jaket: sebuah foto dengan bekas lipatan di sana-sini yang menunjukkan potret usang sebuah keluarga kecil: ayah, ibu, anak laki-laki, dan perempuan.
“Sebentar lagi aku bisa bertemu dengan mereka,” lanjut Joy dengan suara gemetar. Sekelebat dalam kepalanya terlintas ingatan tentang ayah, ibu, dan adik perempuannya itu.
“Ya. Aku juga sudah tidak peduli lagi. Kalaupun memang masih ada cara lain, aku sudah tidak mau mencobanya lagi.”
“Ya. Aku tahu. Kurasa ini memang cara terbaik, kita harus optimis.”
“Optimis? Seperti bukan kau saja.”
Lutfi mencoba melepas genggaman tangan Joy yang semakin kuat sejak pertama tangan itu meraih telapaknya; ia merasakan kecemasan menjalar dari genggaman tangan Joy dan merasa tak nyaman. Ia lalu menyandarkan dagunya pada pundak kanan Joy dan mendekap tubuhnya.
“Aku sudah di sini,” bisik Lutfi.
Mendengar itu, Joy hanya menghela napas lalu mendongakkan kepala.
“Kau lihat itu?” ucap Joy sambil menunjuk gerombolan awan yang berderak-derak ke arah barat.
“Ya.”
“Seperti domba.”
“Kukira itu seperti panda.”
Joy menoleh ke arah Lutfi dan mengernyitkan dahi.
“Kukira kau akan menjawab naga atau sejenisnya.”
“Aku tidak pernah melihat naga.”
“Ya.”
“Apa pun itu, tak ada bedanya, bukan?”
“Benar. Tak ada bedanya apa pun bentuk awan itu. Tak akan mengubah apa-apa.”
Angin berembus. Dersik daun padi beradu dengan suara tonggeret dan suara kibaran bendera merah putih yang terpancang selang-seling di antara pohon-pohon mahoni. Pandangan mereka kemudian teralihkan pada seorang pengendara motor yang tiba-tiba berhenti tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Pengendara itu melepas sarung tangan kanan ia kenakan, lalu menarik masker yang menutup wajahnya. Ia membuka resleting tas yang ditaruh di depan dada dan meraih gawai dari dalam tas itu. Sesaat, pengendara itu menoleh ke arah mereka lalu melanjutkan urusan dengan gawainya. Ia kemudian membetulkan kembali letak masker dan memakai sarung tangan lantas memacu kendaraan ke arah barat. Beberapa detik setelah memasukkan gigi motor, pengendara itu menoleh lagi ke arah mereka, lalu suara meraung yang diikuti kepulan asap putih membumbung ke udara mengiringi kepergian pengendara tersebut.
“Semoga selamat sampai tujuan,” bisik Joy dengan kepala tertunduk.
“Ya, sebentar lagi hari kemerdekaan,” balas Lutfi.
“Menyenangkan, ya, kalau ada seseorang atau siapalah yang menunggu kedatangan kita.”
“Kau tidak perlu menunggu. Begitu pula aku. Kita pergi bersama.”
Joy merasakan dekapan Lutfi semakin kencang dan telapak tangannya kini lebih basah karena air mata yang mulai jatuh.
“Kau dengar itu?”
“Ya,” jawab Joy sambil mengusap pipi.
Ia lalu memandang mata Lutfi yang hitam dan dalam dan untuk sesaat ia terisap ke sana, lalu lintasan ingatan berkelebat dalam sekejap: awan-awan, keceriaan masa kecil, hingga pengkhianatan. Pertemuannya dengan Lutfi di sebuah grup dukungan awalnya menumbuhkan sesuatu yang telah hilang dari hidupnya. Namun, Lutfi sendiri juga memiliki kehampaan dan kekosongan yang sama. Mereka memiliki dan tidak memiliki segalanya dan saat itu pula ia sadar, bahwa ia tak akan bisa membuat sumur air mata miliknya mengering, meskipun ada Lutfi di sisinya.
―
Pemuda itu memacu kendaraan dengan kecepatan gigi empat. Sesekali ia melihat ke arah spidometer, menerka berapa jam lagi ia bisa mencapai Blitar dengan kecepatan yang ia gunakan saat itu. Ia ingin segera sampai rumah; kepalanya sudah penuh dengan bayangan sayur bayam, tempe goreng tepung, dan sambal tomat buatan ibunya yang telah menunggu di meja makan. Sebelum itu, melalui sambungan telepon, ia meminta ibunya untuk memasakkan menu-menu tersebut. Namun, bayangan kenikmatan itu kemudian terganggu oleh perdebatannya dengan Sita, kekasihnya yang lebih memilih pulang naik kereta karena perlu menyelesaikan laporan investigasi kasus yang sedang ia liput.
Ia menganggap kasus yang diliput Sita hanya ada di cerita-cerita televisi, novel, atau film serial barat yang sering ia tonton: sebuah kelompok pesugihan yang menumbalkan manusia dan menyantap dagingnya demi kehidupan awet muda dan kesehatan dan kekayaan dan sebagainya dan sebagainya. Namun, Sita bersikeras bahwa ia telah menemukan bukti tentang keterkaitan sebuah organisasi kelompok dukungan yang menjadikan pesertanya sebagai korban. Laporan terkait kasus itu belakangan telah menjadi tajuk utama di berbagai koran harian.
Pemuda itu melihat kaca spion kanan dan kiri lalu menekan lampu sen kiri dan mengurangi kecepatan motor. Ia berhenti di pinggir jalan yang dirasa cukup aman tanpa mengganggu pengendara lain yang melintas; melepas sarung tangan kanan; membuka masker lalu menghirup udara lekas-lekas. Ia baru menyadari setelah beberapa saat bahwa beberapa meter dari tempatnya berhenti, ada dua orang yang sedang duduk di atas rel kereta. Si pemuda dan dua orang yang sedang duduk di rel kereta, sempat saling pandang lalu melepas pandangan untuk melanjutkan urusan masing-masing: dua orang itu kembali menunduk dan si pemuda membuka Whatsapp untuk mengirimkan sebuah pesan kepada Sita.
‘Sebentar lagi sampai.’ ketiknya. ‘Kereta sudah berangkat apa belum?’ lanjutnya.
Pemuda itu segera mengunci gawai setelah memastikan tanda centang dua muncul di samping dua pesan yang ia kirimkan dan tanpa ambil tempo, ia kembali mengenakan sarung tangan; menghidupkan motor; memasukkan persneling. Sepersekian detik setelah ia mengokang setang gas, ia menoleh sesaat ke arah dua orang yang sedang duduk di atas rel. Laki-laki itu tampak menunduk dan perempuan yang mendekapnya tampak menyeringai kecil. Pemuda itu segera memalingkan pandangan ke jalanan di depan, memindahkan persneling ke gigi dua dan menggeber gas sampai motor itu meraung.
“Pacaran kok di atas rel, kenapa tidak pesan kamar saja!” gerutu si pemuda.
Satu jam kemudian, pemuda itu telah sampai di rumah. Ia langsung duduk di sebuah kursi dari kayu yang ada di teras rumah dan menyandarkan kepala dan punggungnya. Sambil memejamkan mata, ia menikmati udara segar dan suara ayam peliharaan ayahnya yang selalu berisik. Suasana yang ia rasakan itu nampaknya hanya bertahan sesaat karena di kepalanya muncul satu nama: Sita.
Ia lalu mengambil gawai dari dalam tas dan membuka Whatsapp; ada tujuh pemberitahuan panggilan masuk dari nama yang muncul di kepalanya.
“Ada apa sih? Gumamnya, “kenapa tidak balas pesan saja,” lanjutnya sambil menelepon balik.
Panggilan itu langsung diangkat dan dari seberang, pemuda tersebut mendengar suara Sita yang bercampur dengan suara berisik orang-orang yang mungkin di sekitarnya dan juga bunyi panjang loko.
“Halo… ke mana saja, sih?” teriak Sita dari seberang.
“Iya. Ini aku baru sampai,” jawab pemuda itu, “kamu sampai di mana sekarang?” lanjutnya.
“Kereta berhenti setengah jam lebih. Ada sedikit insiden.”
“Insiden apa? Kamu lupa bawa tiket?”
“Menurutmu? Bukan itulah. Ada kecelakaan di jalur kereta.”
Mendengar ucapan Sita, wajah pemuda itu menegang.
“Kereta berhenti karena polisi dan warga sekitar berusaha memindahkan tubuh yang hancur,” lanjut Sita dari seberang.
“Kau tidak apa-apa?”
“Apa maksudmu? Kau tidak mendengarkan penjelasanku barusan?”
“Iya, aku dengar.”
“Kukira ini ada kaitannya dengan kasus yang sedang kuliput.”
Pemuda itu berusaha mencerna informasi dari Sita.
“Tubuh laki-laki ini hancur. Namun, dua bola mata dan jantungnya hilang.”
Pemuda itu teringat dengan dua orang yang sedang duduk pacaran di atas rel dalam perjalanannya menuju Blitar dan menyampaikan apa yang ia lihat itu pada Sita.
“Kau memang tidak mendengarkan penjelasanku tadi. Aku bilang laki-laki. Bukan dua orang. Cuma satu. Laki-laki!”
Si pemuda kini duduk lemas dengan kepala yang masih dipenuhi penyesalan.
“Sial. Seharusnya memang mereka pesan kamar saja,” gumam si pemuda. Sementara di seberang, Sita masih mengomel diikuti dengan suara panjang loko yang menggema.
B.E. Raynangge (Ponorogo, 1990). Beberapa cerpennya telah dibukukan dalam antologi cerpen Jeramba-Jeramba Malam (2016, Benny Institute), Epilog Kenangan: Kisah Tentang Persinggahan (2017, Pelangi Sastra), dan Kumpulan Cerpen Pemenang Sayembara Cerpen Dewan Kesenian Surabaya 2019: Urbanhype (Pelangi Sastra).
*Cerita ini dipilih dari buku kumpulan cerpen berjudul "Nasib Terakhir: Sehari dan Sekali" karya B.E Raynangge. Dapatkan bukunya (di sini) untuk mendapatkan potongan harga.