Tentang Ingatan Sebelum Aku Kembali

05/03/2025

 

SEPEDA motor yang kutunggangi melaju dengan kecepatan 60 km/jam bersama bayangan wajah bapak yang semakin tua dan menjengkelkan. Akhir-akhir ini, hobinya datang ke kantor tanpa memberi kabar lebih dulu. Dari gelagatnya seolah menunjukkan kepedulian kepadaku. Mula-mula, dia membawa setumpuk basa-basi dan sebungkus dendeng buatannya.

“Bulan kemarin, kamu tidak pulang. Semua berkumpul dan menanyakanmu,” makanan itu ditaruh pelan-pelan di atas meja tamu, lalu bapak menyalakan sebatang Djarum Cokelat.

“Aku sangat sibuk. Banyak piutang macet,” wajahku tidak berpaling sedikit pun dari layar monitor.

Seketika hening dan bentangan jarak yang sangat jauh menghinggapi suasana di ruangan itu. Aku tahu, aku hafal, bapak tidak mungkin mampir tanpa tujuan. Dan maksud kedatangannya itu tentu saja bukan karena mencemaskanku. Bapak hanya khawatir dengan dirinya sendiri.

Di percakapan berikutnya, bapak mengajukan alasan ingin membeli obat karena gula darahnya tinggi. Penyakit kencing manis yang dideritanya membuat luka jatuh di kaki kanan lama sekali mengering. Setelah kata-katanya habis, bapak lanjut meminta uang. Ini tujuan bapak yang sebenarnya. Aku tidak banyak bicara. Kuberikan uang yang dia minta. Setelah itu, bapak pergi meninggalkan kepulan asap rokok di ruangan.

Sesekali, aku pernah berkata tidak punya uang. Aku tidak berbohong. Gaji yang kuterima bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Tapi, bapak tidak akan pulang sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Bapak tidak percaya dompetku kosong. Justru bapak menuduhku boros dan tidak pandai mengatur keuangan. Hari-hari di bulan berikutnya, bapak datang lagi membawa topik dan alasan yang sama tanpa membawa oleh-oleh atau basa-basi apa pun. Bapak tidak pegang uang, katanya.

Aku tahu. Dunia dan seisinya pun tahu, lelaki tua itu bapakku. Orang yang pernah menikah dengan ibuku. Orang yang merawatku sejak kecil hingga aku memutuskan untuk pergi dan hidup sebatang kara. Orang yang tangannya pernah menyisir rambutku sebelum aku berangkat sekolah sekaligus mudah sekali melempar asbak ke wajahku ketika mood-nya tidak baik-baik saja. Memukulku dengan tongkat kayu karena kesal setelah bertengkar dengan istrinya yang ke sekian puluh kali. Membanting apa saja di dekatnya. Bahkan membuang buku dan baju-bajuku ketika aku protes mengapa bapak selalu bertingkah seperti itu.

Rasanya, aku ini yatim piatu. Bayangan wajah bapak dengan bibir hitam tanpa senyum terus memenuhi kepalaku. Kemudian berganti dengan rasa muak karena harus tetap menjadi anak yang berbakti kepada bapak yang tidak bisa apa-apa. Tidak bisa dibanggakan di depan teman-temanku. Tidak bisa diandalkan saat aku dalam kesulitan. Tidak bisa menyelesaikan persoalan paling sederhana sekali pun seperti memperbaiki kabel lampu yang putus karena gigitan tikus atau membereskan genteng bocor.

*

Aku terpaksa harus kembali ke rumah itu lagi mengambil berkas-berkas penting yang belum sempat aku bawa. Punggungku mulai terasa basah dan lengket. Kota ini benar-benar tidak menawarkan keteduhan. Sebentar saja, aku berhenti untuk mengisi bensin.

Melihat gadis kecil berdiri di balik kemudi motor bersama ayahnya sembari menggigit permen, aku ingat, bapak pernah tidak pulang berbulan-bulan saat ibu sedang hamil tua. Kemudian ibu memutuskan untuk menyusul bapak ke tempat istri barunya setelah diberitahu oleh Uwak Mirah bahwa diam-diam bapak sudah menikah lagi. Waktu itu, usiaku enam tahun jalan tujuh. Aku tidak tahu bagaimana rasanya sakit di hati ibu. Yang kutahu, bapak kerap marah-marah sembari membanting puluhan krat botol kecap jualan ibu. Setelahnya, aku benci bapak yang membawaku paksa dari genggaman ibu. Aku juga benci ibu yang tidak berjuang keras mempertahankanku dan melepaskanku begitu saja.

Kusadari, mataku mulai panas. Setelah sampai di lampu merah, kutarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya pelan. Sebisa mungkin kutahan isak agar tidak mencuri perhatian pengendara lain. Perjalanan menuju antah berantah yang disebut pulang sebentar lagi sampai.

Kepada deru angin kukatakan, aku sempat merindukan pelukan ibu, tetapi sekarang tidak lagi. Aku mulai terbiasa dengan diriku, keadaanku, keputusanku, keinginanku, dan semangkuk mie instan. Aku tidak peduli mereka menghawatirkanku atau sebaliknya. Lagi pula, aku tidak pernah menuntut dan meminta apa pun dari mereka. Aku tidak pernah merengek minta dibelikan telepon genggam di saat teman-temanku punya dan aku tidak. Aku tidak pernah memaksa harus memiliki seragam baru, tas baru, sepatu baru, atau buku baru ketika kenaikan kelas. Untuk ongkos angkutan umum, seringnya aku pura-pura tidur agar kondektur tidak menagih.

Aku harus mengerti, tidak mudah bagi orangtua mendapatkan uang dari pekerjaan yang serabutan. Aku juga tidak terlahir dengan bedong emas.

*

Aku tiba di rumah bapak. Kutatap bangunan tua yang terasnya hampir roboh itu sejenak. Setengah malas kusimpan sepatu di rak dekat pintu. Kusingsing lengan baju dan mengambil sapu ijuk. Tidak ada makan siang atau camilan. Aku tahu, itu tidak akan tersaji. Hanya ada anak istri bapakku yang baru yang kupanggil adik berusia 7 tahun menonton televisi di kamar yang berantakan. Di sana-sini hampir tidak ada ruang yang enak dilihat. Jemuran kering bertumpuk di kursi. Piring-piring dan gelas kotor semakin membuat kumuh pemandangan dapur. Lantai, jendela, dan bufet berdebu tebal.

Spontan aku batuk dan bersin-bersin. Sudah kuduga. Kamar yang dulu kutinggali kini menjadi sarang laba-laba. Jendela tidak pernah dibuka. Lembap. Buku, pensil, pulpen, tidak berada di tempatnya. Sprei acak-acakan dan posisi bantal tidak beraturan. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, manusia jenis apa yang menempati selama ini. Aku bergegas untuk membereskan semuanya. Itu sudah menjadi tugasku.

Pekerjaan rumah selesai. Petang pun tiba. Ini adalah waktu yang selalu kuingat karena aku baru bisa melihat bapak. Apakah aku sudah bilang jika bapakku tidak seperti bapak-bapak lain yang hangat dan bisa diajak bicara tanpa merasa takut dan rikuh? Andai pun bicara, hanya sedikit. Tidak sampai berjam-jam sambil duduk santai dan bebas mengutarakan apa saja. Bapak takut jika istrinya cemburu melihat kedekatan kami atau bapak memang tidak tahu bagaimana caranya menjadi orangtua yang ramah anak? Yang bapak lakukan hanya membentak, menyuruh, dan melarang. Begitulah aktivitas ketika kami masih tinggal bersama.

Bapak juga tidak pernah tertarik membicarakan ibu. Aku tidak berani bertanya lagi. Bapak pasti mengusirku jika aku bicara tentang itu. Bapak pernah melemparkan mangkuk berisi bubur ke lantai sewaktu aku bilang ingin bertemu ibu. Katanya, aku menyinggung perasaan Mama Patimah, istrinya. Akhirnya, aku tidak peduli dengan urusan rumah dan memilih pergi mengurus diriku sendiri. Berbicara dengan bapak dan istrinya hanya seperlunya saja. Selebihnya, kami sibuk masing-masing.

Oh, iya. Ibu tiriku itu wanita pekerja. Sejak pulang menjadi TKW, jarang sekali berada di rumah. Pukul 02.00 dini hari, masih mondar-mandir di atas sepeda motor untuk mencari uang. Sebagian barang dagangan dipercayakan kepada anak buahnya. Namun, tidak jarang orang-orang itu mangkir setoran. Kalau sudah begitu, akulah sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan. Ada saja pekerjaan rumah yang dianggap tidak beres di matanya sehingga piring yang sudah kubersihkan, dicuci ulang tanpa perlu menegur dan menunjukkan di mana letak kesalahanku. Artinya, aku harus sadar diri. Bapak tentu saja tidak akan membelaku. Lebih baik memarahiku habis-habisan daripada ribut atau kehilangan perempuan yang dicintainya.

*

Aku berdiri di balik jendela. Kulihat bapak duduk di teras sambil mengusap koreng basah di lutut. Mungkin dia pikir tidak ada yang melihat. Lalu, memanggul karung-karung besar berisi tumpukan kain dari pasar. Punggungnya gosong. Dia menjelma sisipus pemanggul batu hukuman. Semakin aku menatapnya, tidak ada sedikit pun rasa iba.

Sebelum aku tertidur karena obat anti depresan atau pereda nyeri, aku pernah mendengar, ini seperti dongeng, kakekku seorang jawara kampung yang bisa berjalan di atas air. Nenekku perempuan berhati emas. Karena bapak anak bungsu, kasih sayang sangat tercurah untuknya. Sehingga, bapak remaja tidak perlu capek-capek mencari uang. Semua kebutuhan sampai gaya hidupnya terpenuhi. Bapak tidak perlu mencangkul atau angon bebek untuk mendapatkan sepeda onthel baru. Cukup bilang kepada nenek dan kakek, besoknya sudah ada di depan mata.

Perangai itu terus tumbuh dan menjadi watak bapak hingga dewasa.
Bapak yang merasa anak juragan, senang bergonta-ganti pasangan dan mabuk-mabukkan. Nenek pusing dibuatnya. Nenek memutuskan untuk menjodohkan bapak dengan ibu, tetapi ibu menolak mentah-mentah. Ibu merasa kembang desa dan banyak ditaksir laki-laki tampan yang lebih baik dari bapak pun melontarkan kalimat menyakitkan.

“Amit-amit! Saya tidak sudi punya suami seperti kamu!”

“Jangan panggil saya Sardito kalau tidak bisa dapatkan kamu!”

Entah dipelet atau bagaimana, ibu jatuh kepelukan bapak. Jauh sebelum mereka berpisah, ketika ibu hamil anak pertama, bapak jarang di rumah. Sekalinya datang, lebih sering marah-marah apalagi ketika diberondong pertanyaan kenapa selalu pulang larut malam dengan tubuh sempoyongan? Kenapa teriak-teriak? Kenapa sapu tangannya penuh noda lipstik? Bapak tidak menjawab dan langsung menendang pintu atau memecahkan vas bunga.

Belakangan aku paham, ada alasan mengapa itu semua bapak lakukan: dia secuil pun tidak menginginkan anak perempuan. Tetapi, si jabang bayi itu tetap lahir dengan sehat dan selamat. Tidak ada yang berubah. Bapak tetap membenci anak perempuannya karena kelak dianggap menyusahkan, tidak bisa diandalkan seperti laki-laki, menangis dan merengek saja bisanya.

 

Uyung Nuha, lahir di Serang-Banten, besar di Cirebon-Jawa Barat. Menulis cerpen, esai, dan catatan pertunjukan teater. Jurutulis Komunitas Sastra Lingkar Jenar. Instagram @uyung_nuha.