TERSIAR kabar, bahwa kantor polisi di RT Noldua RW Limalapan kemasukan ular piton sepanjang tiga meter. Tamu tak diundang itu berwarna cokelat kelam dengan corak kehitaman yang samar. Ia merayap perlahan di sudut ruangan, hingga akhirnya berhenti tepat di dekat sepatu seorang petugas yang sedang asyik menghitung uang tilang. Petugas itu baru tersadar saat tak sengaja selebaran kertas bergambar Soekarno Hatta dengan senyum lebar itu tergelincir ke lantai. Sang petugas langsung melongok ke bawah, dan seketika melompat kaget sambil meneriakkan nama Tuhan.
Kehebohan pun dimulai. Kantor yang tadinya lengang karena beberapa petugas sedang tidur pulas di meja kerjanya jadi pontang-panting berhamburan keluar. Bahkan beberapa yang terlalu takut malah melompat ke atas meja.
Seorang sersan berperut buncit, yang baru saja menyesap kopinya datang menghampiri ular piton tersebut. Bersisian lima langkah dengan ular itu ia berhenti. Kopi di tangannya bergetar sedikit, lalu ia meneguknya cepat seolah untuk menenangkan diri.
"Panggil Damkar saja, Pak!" teriak salah satu polisi muda, yang berdiri ketakutan di atas meja.
Sersan itu mendengus, mencoba mempertahankan wibawa. "Kita ini polisi, bukan anak TK! Masa takut sama ular?"
Piton itu bergerak perlahan dan kepalanya sedikit terangkat. Dengan segera mata reptil itu bertemu dengan sepasang mata sersan. Lidah piton yang bercabang menjulur cepat, membaca situasi seolah tengah terancam.
Sersan meneguk ludah. Kakinya bergeser setengah langkah ke belakang. Tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan sesuatu. Semua orang kentara sekali takutnya pada binatang melata itu. Sersan buncit itu mulai berkeringat.
"A-anu... Cepat, hubungi Damkar!" ucap Sersan pada akhirnya.
***
Sentot sudah duduk di sini lebih dari satu jam. Sudah tiga kali ia memindahkan posisi duduk, tapi punggungnya tetap terasa pegal. Laporan kehilangan motor itu masih di atas meja, tak tersentuh. Polisi yang berjaga hanya sesekali melirik, lalu kembali fokus ke kesibukannya masing-masing.
Sentot melirik sekitar. Beberapa polisi muda asyik bermain ponsel, tertawa kecil. Beberapa lagi tampak pulas di meja kerjanya. Di sudut ruangan, Sentot baru sadar terdapat tiga orang remaja SMA yang babak belur. Mereka berseragam lusuh. Bibir jontor, pelipis sobek, dan pipi membengkak. Salah satu dari mereka menunduk sambil memegangi perut.
Sentot meneguk ludah. Ia kembali menatap petugas di hadapannya.
“Jadi gimana, Pak?” tanya Sentot dengan nada semakin tidak sabar.
Polisi tua itu mengangkat kepalanya dari layar ponsel. “Jadi, tadi gimana kejadiannya, Pak?”
Sentot mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak mengumpat di tempat ini. “Saya parkir sebentar di depan ruko, tapi lupa gak dikunci stang, terus lenyap.”
“Bapaknya teledor… Harusnya dikunci stang, supaya lebih aman. Lagi pula di sana udah banyak yang kehilangan motor, Pak.” ucap Polisi menceramahi, “Bapak bawa STNK-nya?”
“Sudah saya kasih tadi,” jawab Sentot mulai geram.
“Oh, iya, iya.” Lagi-lagi petugas di depannya itu mengangguk-angguk.
Sentot bisa merasakan darahnya naik ke kepala. Kalau pelaku pencurian motornya tidak ditemukan, dia bisa gila. Sebab hanya itulah mata pencahariannya satu-satunya, ojek online alias ojol. Hal yang paling dia takuti ialah jatuh tempo. Bulan lalu ia telat membayar tagihan kredit motor dan utang pinjol yang sudah menggunung. Bisa-bisa bila telat untuk yang kedua kalinya bukan dihadiahi babak belur lagi melainkan ia bisa benar-benar tamat .
“Jadi kapan mulai dicari, Pak?” desak Sentot tidak sabaran.
“Ya, gini lho, Pak…” Polisi tua itu menghela napas panjang, seolah Sentot baru saja meminta sesuatu yang sangat merepotkan. “Ini kan harus diproses dulu. Ada prosedurnya. Nggak bisa langsung gerak gitu aja—”
“Berapa lama prosesnya pak? Malingnya keburu kabur jauh.” potong Sentot gelisah.
“Bapaknya yang sabar. Nanti kami pelajari dulu,” jawab petugas itu dengan muka lempeng.
Sentot memijat pelipis. Sial! Mereka tidak akan mencari motor itu, batinnya dalam hati. Seharusnya langsung saja ia cari tadi si bajing keparat pencuri motornya itu. Percuma lapor polisi jika ujung-ujungnya hanya menguras waktu dan kesabaran.
Di saat yang bersamaan, tiba-tiba terdengar teriakan panik dari sudut ruangan.
"ULAR ADA ULARR!"
Kantor polisi yang mulanya lengang mendadak heboh. Polisi-polisi berhamburan keluar, satu dua bahkan refleks melompat ke atas meja. Petugas di hadapan Sentot tahu-tahu sudah lenyap, ikut pergi menyelamatkan diri. Kini Sentot sudah muak, ia putus asa berharap dengan polisi. Maka peduli setan ular apa yang ada di dalam kantor itu, lekas sajalah ia pergi meninggalkan tempat terkutuk itu.
***
Darah di sudut bibirku sudah mengering, tapi pipiku masih berdenyut. Aku melirik dua temanku, wajah mereka berdua kompak babak belur. Waktu ular masuk ke kantor polisi, kami bertiga masih duduk di kursi kayu panjang. Tangan diborgol di depan, kepala berdenyut, bibir perih. Kami diam, saling melirik. Polisi-polisi di ruangan yang tadinya garang dan senang menghardik kami, sekarang malah panik dan sibuk menyelamatkan diri.
“Panggil Damkar!”
Begitu satu polisi berteriak seperti itu, kami langsung tahu, ular itu menyelamatkan nasib kami. Orang tua kami tidak perlu repot datang ke kantor polisi buat menyalami lelaki-lelaki buncit itu dengan amplop tebal. Kami langsung disuruh pulang. Tak butuh waktu lama bagi polisi-polisi itu untuk akhirnya membuka borgol kami dan mengusir kami pergi.
"Udah, sana pulang! Jangan bikin ribut lagi!" kata salah satu dari mereka buru-buru.
Kami tak percaya semudah itu. Tapi ya, tentu saja kami bertiga tidak menolak kesempatan itu. Segera saja kami keluar sebelum mereka berubah pikiran.
Di seberang kantor polisi, ada warung mie ayam. Tempat orang-orang nongkrong, mengeluhkan hidup yang makin sulit, memaki para pejabat busuk, atau sekadar mengomentari berita buruk yang tiada henti. Aku dan dua temanku mampir ke sana, kami bertiga duduk di bangku panjang. Satu es teh, dua kopi hitam. Tiga mangkok mie ayam pesanan kami belum sampai.
Seorang lelaki dengan jaket hijau duduk di sebelah kami. Sepertinya tukang ojek. Dia memperhatikan luka-luka di wajah kami.
"Aku lihat tadi kalian di kantor polisi. Abis tawuran?" tanyanya.
Aku nyengir. "Iya, Bang. Hehe."
"Terus, polisi hajar kalian?"
Aku diam, sementara temanku tertawa sinis. "Bukan dihajar. Pendidikan karakter ini, Bang."
"Terus gimana bisa keluar?" tanya pemilik warung, seorang lelaki plontos yang baru saja mengantarkan mie ayam pesanan kami.
"Ular masuk," jawab temanku satunya lagi dengan singkat.
Pemilik warung mengerutkan dahi. "Ular?"
Tukang ojek menyendok mie ayam, meniup uapnya perlahan, lalu berkata, "Wajarlah ada ular, banyak tikus!"
Aku kemudian terkekeh. "Tapi tikus di sana kebal, Bang."
Tawa pun pecah di warung itu. Semua yang ada di sana paham. Memang begitulah. Ular selalu datang ke tempat di mana tikus bersarang.
Ah, kandang tikus memang.
Salwa Ratri Wahyuni, lahir di Rengat 14 Juni 2005, saat ini merupakan mahasiswa Sastra Indonesia dan bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB UNAND. Penulis dapat disapa melalui akun Instagram @waa.tashi