"Kemungkinan manusia hidup dalam kenyataan hanya satu berbanding miliaran."
-Elon Musk
Dalam Ascalone, Enrico (2007), Mesopotamia: Assyrians, Sumerians, Babylonians disebutkan bahwa peradaban modern yang pertama kali dibangun ketika umat manusia mulai menguasai ilmu pengetahuan tentang pertanian dan arsitektur diawali oleh peradaban Mesopotamia Hulu pada tahun 3500 sebelum Masehi, diikuti oleh berkembangnya peradaban Mesir di sepanjang sungai Nil tahun 3300 sebelum Masehi, dan kehidupan di lembah sungai Indus yang diisi oleh peradaban Harappa. Peradaban-peradaban tersebut memiliki sejumlah karakteristik yang kemudian mereka kembangkan, antara lain membentuk sistem pemerintahan, struktur sosial, sistem ekonomi, tulisan, pembentukan bahasa, bahkan penciptaan seni dan kepercayaan terhadap Tuhan yang selanjutnya semakin berkembang ditandai dengan terjadinya revolusi demi revolusi besar-besaran yang membawa umat manusia berdiri di atas puncak ekosistem kehidupan di bumi. Namun, pencapaian umat manusia menelanjangi berbagai hal yang sebelumnya dianggap mustahil dan tabu berujung pada satu pertanyaan besar, bagaimana akhir dari semuanya?
Pada Juni tahun 2016, dalam sebuah konferensi teknologi yang dihadiri oleh para pembesar teknologi dunia, Elon Musk mencuri perhatian lewat pernyataan visionernya. Dalam pernyataan tersebut, pendiri perusahaan antariksa Space X menekankan bahwa ada kemungkinan jika kehidupan manusia hari ini adalah sebuah simulasi dari sistem super komputer yang canggih. Sekilas, apa yang diucapakn Elon Musk terdengar hanya semacam gurauan dan sesuatu yang nampak kosong, semata kemustahilan, mirip-mirip teori liar tentang perjalanan waktu atau misteri lubang cacing. Tapi, tunggu dulu. Sudah berapa ratus kemustahilan yang dilalui peradaban manusia dan pada berabad kemudian mampu terbuktikan secara ilmiah?
Nick Bostrom, seorang ahli filsafat berkebangsaan Swedia pernah menerbitkan sebuah Makalah yang berjudul Are you living in a Computer? Pada tahun 2003. Dalam makalahnya, ia menitikberatkan suatu kemungkinan bahwa generasi mendatang mungkin dapat menjalankan simulasi nenek moyangnya menggunakan komputer yang canggih. Jika kehidupan ini benar-benar simulasi, menurutnya, maka seluruh hukum alam semesta, hukum alam, hukum manusia, dan hukum yang berlaku bagi makhluk hidup lainnya hanyalah sebuah pecahan algoritma yang dijalankan oleh mahluk atau manusia yang hidup pada masa yang berbeda dengan kita.
Kemungkinan-kemungkinan yang bersifat fiksi (menitikberatkan pada rangsangan akan hidup atau suatu hal yang jauh lebih tinggi, lebih luas, dan belum terdefinisikan) tersebut tentu memantik perdebatan dari berbagai kalangan, baik dari segi Sains maupun keyakinan. Sejauh apa pun perdebatan akan hal-hal tersebut, menjadi sesuatu yang bisa bernilai komersil bagi dunia hiburan dunia. Kesempatan itu yang nampaknya dimanfaatkan oleh Netflix selaku produsen tayangan hiburan yang pada tahun 2022 merilis sebuah serial berjudul 1899 yang berjumlah 8 episode. digarap oleh Jantje Friese dan Baran bo Odar yang juga selaku kreator serial Dark –salah satu serial fiksi terbaik menurut saya—, 1899 hadir sebagai tontonan yang mengernyitkan dahi, membuat penyaksinya berpikir ulang atas beberapa kemungkinan tentang dunia simulasi.
1899 mengisahkan tentang pelayaran sebuah kapal bernama Kerberos yang mengangkut imigran dari berbagai negara menuju New York, AS. Di tengah pelayaran, perjalanan mereka terhenti karena menerima sebuah sinyal dari sebuah kapal lain bernama Premetheus yang ternyata telah hilang selama empat bulan. Ketika Kapten Kerberos memutuskan untuk mengubah rute menuju titik lokasi pengirim sinyal, sesuatu yang tak beres mulai terjadi secara acak dan benar-benar membingungkan, yang pada akhirnya bermuara pada konsep besar tentang dunia simulasi.
Sebenarnya, bukan pertama kali saya menonton film yang setidaknya memiliki napas yang hampir serupa dengan 1899 ini. Dalam film Inception karya Christopher Nolan misalnya, yang mengusung cerita tentang kehidupan simulasi di dalam mimpi. Atau yang lebih sederhana terdapat pada film Ready Player One yang tayang pada tahun 2018, bercerita tentang umat manusia di masa depan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam sebuah game virtual yang Open World. Bedanya, 1899 benar-benar tak memberi waktu pada penyaksinya untuk beberapa saat mencerna apa yang sebenarnya terjadi kepada tiap karakter di dalam dunia tersebut, hingga pada dua menit di episode terakhir, sang sutradara dan penulis serial ini benar-benar teras membodohi semua penyaksinya. Betul-betul membodohi.
Bagi kawan-kawan yang menyukai serial Dark, saya kira akan kembali menyukai serial 1899 ini. Dengan konsep cerita fiksi yang tak main-main, juga pencitraan karakter yang memiliki latar belakang dan misterinya masing-masing, serial ini akan sangat cocok untuk memeras pikiran kawan-kawan, membakar kesabaran kawan-kawan yang setipis tisu, dan mengakhiri bulan November yang aduhai kelewat lama ini. Selamat menonton!
Agus Salim Maolana