Budaya Merantau Tando Urang Minangkabau

22/07/2024

 

Menurut Purwadarminto, Iskandar, dan Winstedt merantau berasal dari kata 'rantau'  merujuk pada kata benda yang berarti daratan rendah atau daerah aliran sungai. Hal tersebut mengarahkan bahwa rantau terletak di luar darek atau luhak yang berada di daratan rendah dan sepanjang aliran sungai maupun daerah-daerah di pesisir pantai. Merantau sendiri merupakan ciri khas dan menjadi bagian dari tradisi budaya masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. 

Mengapa demikian disebut begitu? Merantau bisa dikatakan proses mengadu nasib di tempat atau negeri orang untuk memperoleh pekerjaan, menuntut ilmu, dan mencari wawasan dan pengalaman guna untuk mengubah taraf hidup. 

Menurut Mukhtar Naim (2013:3) ciri-ciri merantau di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Meninggalkan kampuang halaman, “sayang ka anak di lacuik i, saying ka kampuang di tinggalkan”.
2.    Dengan kemauan sendiri
3.    Untuk jangka waktu yang lama atau tidak.
4.    Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman.
5.    Biasanya dengan maksud kembali pulang, “satinggi-tinggi tabang bangau, baliaknya ka bangun juo”.
6.    Sebuah lembaga sosial yang membudaya. 

Sumatera barat dikenal dengan adat-istiadat, budaya, normanya. Hal yang paling diingat jika disebutkan Sumatera Barat pasti adalah sukunya yaitu suku Minangkabau. Kentalnya budaya, tradisi,  dan norma yang dipegang teguh oleh nenek moyang mereka yaitu “Alam Takambang Jadi Guru” yaitu meskipun ada  persaingan, tetapi tetap ada keharmonisan”. Harus ada kerja sama untuk menata kehidupan. Berkaitan dengan merantau, suku Minangkabau merupakan salah satu suku yang banyak tersebar di wilayah Indonesia, hampir di setiap daerah suku Minangkabau ada di dalamnya. 

Suku Minangkabau menganut sistem adat Matrilineal (garis kekerabatan yang berasal dari garis keturunan ibu). Di Minangkabau perempuan adalah pemegang takhta tertinggi yang sangat disegani dan dihormati. Dalam sistem perkawinan, laki-laki hanya dianggap untuk mendapatkan dan meneruskan keturunan. Setelah kaum perempuan menikah dan dikarunia anak untuk menjadi penerus harta pusako, kaum perempuan membebaskan laki-laki untuk merantau atau menikah lagi. Karena bagi mereka tujuannya sudah terpenuhi. Kaum laki-laki setelah menikah tidak memiliki posisi atau dianggap bukan bagian dari keluarga kaum perempuan. 

Bundo Kanduang adalah sebutan yang diberikan kepada perempuan di Minangkabau yang mengartikan bahwa perempuan adalah pemilik dan pemegang takhta tertinggi di rumah gadang. Perempuanlah yang mewarisi, memimpin, mengendalikan, dan lain-lain. Takhta tertinggi didapatkannya setelah gadih (sebutan perempuan di Minangkabau) telah menikah, dikarenakan hal pusako akan jatuh ditangan kaum perempuan. 

Orang Minangkabau memegang teguh prinsip “ba a di urang ba a di awak” berarti harga diri. Bermakna bahwa setiap orang mempunyai kemampuan yang sama. Suku Minangkabau merantau supaya ada pemandangan dan pengalaman baru yang akan didapatkan. Apa yang kurang diperoleh di kampung halaman akan ditambah, dikurangi, diperbaiki, dan diubah. Perantau akan mengetahui budaya, adat-istiadat, norma, etika, kebiasaan masyarakat dirantaunya sambil menyesuaikan diri dan berorientasi dengan budaya dan lingkungan sekitarnya.

Tradisi merantau mayoritas dilakukan oleh kaum bujang (sebutan laki-laki di Minangkabau) yang sudah menginjak usia dewasa dan bisa dikatakan fardu ain. Menjadi hal yang sangat memalukan jika seorang bujang dewasa tidak merantau atau akan dijuluki sebagai laki-laki penakut, tidak mandiri dan tidak memiliki mental. Adanya sistem Matrilineal menjadi dorongan bagi kaum laki-laki untuk membuktikan bahwa walaupun tidak punya kedudukan, harga diri, dan martabat di kampung halaman, namun di tempat atau negeri orang bisa mencapai kesuksesan untuk dibawa kembali ke kampung halaman. 

Laki-laki di Minangkabau tidak mempunyai sesuatu yang menjadi hak yang sepantasnya untuk didapatkan hanya sebagai simbol  dan pelindung, meneruskan, dan memperbanyak harta pusako kaum perempuan dengan keturunan. Untuk itu, laki-laki harus merantau untuk bekal hidup yang harus dibawa nantinya dikampung halaman.
 

Karatau madang dihulu
Babuah babungo balun
Merantau bujang dahulu
Di kampuang paguno balun

 

Artinya (jika di kampung belum bisa berbuat banyak untuk orang banyak, sebaiknya merantau dahulu). Prinsip tersebut dipegang oleh orang Minang jika di rantau orang harus menjadi pemenang dan jangan pernah menjadi pecundang. Orang Minang merantau baik dalam konteks dan jangka waktu panjang maupun singkat dengan tujuan tertentu tetap untuk mengambangkan, memajukan, menyejahterakan kampung halaman. Bagi orang Minangkabau dengan hidup dirantau mata akan dibuka selebar-lebarnya untuk mengerti tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. 

Ada beberapa sebab laki-laki Minangkabau pergi merantau sebagai berikut: 
1.    Faktor Matrilineal
Sistem kekerabatan masyarakat Matrilineal yang begitu identik dengan masyarakat Minangkabau telah menjadi adat, norma, dan tradisi yang harus di patuhi dan di hormati. Sistem Matrilineal ini berpengaruh besar terhadap pewarisan harta Pusako. Laki-laki tidak akan dapat mewariskan atau mewarisi. Kaum laki-laki tidak memiliki apa-apa (tangan kosong) karena keistimewaan lebih diberikan kepada kaum perempuan. 
Ketidakpunyaan itu lantas menjadi dorongan bagi kaum laki-laki untuk merantau agar ada bekal yang bisa dibawa di masa depan serta mengubah taraf hidup menjadi lebih baik saat kembali ke kampung halaman. 
2.    Faktor Ekologi dan Lokasi
Lokasi daerah Minangkabau adalah daerah terpencil yang berada di luar pusat perdagangan dan politik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dunia luar tidak dapat datang di Minangkabau, tapi orang Minangkabaulah yang harus pergi ke dunia luar. Selain Minangkabau memiliki tanah yang subur dan cocok untuk kegiatan bercocok tanam, hal tersebut karena lahan pertanian yang dipertahankan secara berkelanjutan oleh masyarakat yang kian bertambah. Sehingga berujung pada kepadatan penduduk. Untuk menghindarinya, merantau adalah salah satu solusi yang dilakukan oleh orang Minangkabau. 
3.    Faktor Demografi dan Ekonomi
Luasnya daerah sering kali menjadi hambatan adanya kesejahteraan untuk melakukan  sistem pembangunan. Hal tersebut terkadang luput dari pandangan pemerintah. Kurang sarana dan prasarana terutama di desa-desa/kampung menjadi pemicu penduduknya untuk merantau. Dengan merantau, akan lebih diperoleh memperoleh fasilitas yang lengkap untuk menunjang masa depan.
4.    Faktor Budaya
Tradisi kebudayaan sering kali bertabrakan dengan keinginan manusia yang saat ini melonjak tinggi akibat perkembangan teknologi yang semakin canggih. Karena adanya budaya dan tradisi mampu mendorong seseorang untuk mengubah perspektif dan pemikiran seseorang. Di Minangkabau karena adanya sistem budaya yang mendesak bagi kaum laki-laki dewasa untuk merantau. Hal itu menjadi budaya, mengapa? Karena di kampung laki-laki tidak diberikan modal untuk bekerja, tidak memiliki apa pun, maka dari itu dengan pergi merantau laki-laki akan dipandang karena kesuksesan di perantauan. 
5.    Faktor Pendidikan
Biasanya fasilitas pendidikan yang ditawarkan di tanah rantau jauh lebih maju daripada di kampung. Faktor itu menjadi penyebab masyarakat merantau dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan sebagai dorongan bagi kalangan generasi muda. Dalam  adat Minangkabau tidak pernah memberikan penghalang seseorang menuntut ilmu untuk kemajuan pendidikan yang nantinya bisa dikembangkan di kampung halaman "nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di nan manang, nak cadiak sungguah baguru, nak kayo kuaik mancari". 


DAFTAR PUSTAKA
 April, Ravid. 2020. Jurnal Pendidikan Dasar Berbasis Bisnis: Tradisi Minangkabau pada Masyarakat Minangkabau dalam Perspektif Teori Abrams Masslow. Vol. 5. No.2

 

Maryatul Kuptiah, Mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Selain menulis artikel, juga menulis puisi. Saat ini bergiat di Labor Kepenulisan Kreatif FIB Unand. Sudah menerbitkan sebuah novel berjudul "Serapuh Ranting Patah".