FIKSI MINI, dengan kepekatannya yang memukau, telah lama menjadi sorotan para penulis dunia sebagai medium yang menangkap esensi kehidupan dalam ruang sempit namun penuh daya. Ernest Hemingway pernah mengibaratkan cerita pendek—cikal bakal fiksi mini, sebagai “gunung es”, di mana sebagian besar makna tersembunyi di bawah permukaan kalimat yang sederhana (The Art of the Short Story, 1959), Lydia Davis menyebutnya “sekilas dunia yang utuh dalam satu napas”, menekankan keajaiban narasi singkat yang hidup (The Collected Stories of Lydia Davis, 2009), dan Jorge Luis Borges, dengan pandangan puitisnya, melihat cerita pendek sebagai “cermin kecil yang memantulkan alam semesta” (Ficciones, 1944).
Dalam semangat itulah antologi Huruf-Huruf yang Tewas Mengenaskan lahir, menghadirkan kumpulan kisah yang tidak sekadar singkat, tetapi menceritakan perasaan tragis dalam berbagai wujud, mulai dari keheningan yang mencekam hingga kehancuran yang tak terucapkan. Ulasan ini setidaknya ingin membersamai pembaca untuk menyelak kekuatan fiksi mini-fiksi mini yang terhimpun dalam antologi Huruf-huruf yang Tewas Mengenaskan melalui pembacaan saksama atas tujuh cerita pilihan, sekaligus menjadi pemantik dalam agenda bincang buku tersebut.
Antologi Huruf-Huruf yang Tewas Mengenaskan menonjolkan karakteristik fiksi mini yang khas: narasi atau dialog singkat—rata-rata 50 hingga 150 karakter, yang dibangun dengan hemat kata, namun selalu diakhiri kejutan yang mengubah makna keseluruhan. Sudah Tidak Berisik (hal. 24), misalnya, mengawali cerita dengan fokus pada kemiskinan Tansa dan ibunya yang hanya makan nasi tanpa lauk selama dua hari. Ketika ibunya tiba-tiba memasak, pembaca diajak merasa lega, bahkan berucap dalam hati, “Akhirnya mereka bisa makan enak”, diperkuat oleh dialog penuh harapan Tansa, “Ibu sudah dapat uang, ya?” Namun, kalimat penutup, “Tumben, ya, semalam tikus di atap sudah tidak berisik lagi”, meruntuhkan segalanya. Keheningan tikus memberi petunjuk mengerikan: apa yang dimasak ibunya? Apakah tikus itu sendiri, atau sesuatu yang lebih buruk yang membuat tikus ketakutan? Twist ini subtil namun kuat, tidak tegas menyatakan ibu masak tikus, tetapi membiarkan pembaca menebak sendiri, menciptakan kesan haunting yang sulit dilupakan.
Berpindah ke Lenyap (hal. 40), cerita ini diawali dengan suasana lumrah yang akrab: berita televisi mengabarkan gerhana matahari, fenomena alam biasa yang membangkitkan antusiasme massa untuk menyaksikannya. Pembaca awalnya tenang, mengira cerita akan berjalan sebagaimana gerhana pada umumnya. Namun, ketegangan muncul ketika matahari tak kunjung terlihat lagi setelah gelap. Lompatan waktu—“satu menit, sepuluh menit, sehari, seminggu, setahun”—mengubah harapan menjadi keputusasaan total, dan kalimat penutup, “Kehidupan musnah”, menjadi pukulan akhir yang mematikan bagi pembaca. Twist ini efektif karena membalik ekspektasi gerhana normal—matahari kembali setelah beberapa menit—menjadi tragedi apokaliptik tanpa penjelasan jelas, entah karena alien, fenomena supranatural, atau kehendak alam yang misterius. Misteri yang tak terselesaikan ini meninggalkan pembaca dengan rasa gamang yang membekas.
Lalu ada Sabar (hal. 58), yang membuka cerita dengan dialog emosional, “Dok, bagaimana kondisi Ayah saya?” diiringi tangisan pria dan tatapan prihatin dokter, mengarahkan pembaca pada kisah sedih tentang anak yang bersiap kehilangan ayahnya. Ucapan dokter, “Kami sudah berusaha maksimal, Pak. Berdoa saja”, menambah kesan tragis yang menyentuh. Namun, kalimat akhir, “Sabar sebentar lagi. Bagianku adalah vila dan dua rumah”, memutarbalikkan segalanya. Pria itu ternyata tidak sedih—ia hanya bersandiwara, menanti ayahnya meninggal demi warisan. Twist ini mengundang tawa sinis, seolah menyaksikan adegan sinetron atau FTV yang berlebihan, namun juga mencerminkan realitas sosial yang lumrah: kepalsuan emosi demi keuntungan materi. Kematian di sini bukan hanya pada ayah, tetapi juga pada empati anaknya.
Perempuan yang Terkurung (hal. 92) membawa kita ke suasana berbeda, diawali dengan teriakan panik, “Keluarkan aku dari sini!!! Keluarkan aku!” disertai gedoran pintu yang menggiring imajinasi ke horor klasik: seorang perempuan dikurung secara fisik. Kepala narator yang berdenyut sakit menambah ketegangan, seolah ada ancaman nyata. Namun, kalimat kunci, “Sudah sejak lama perempuan itu berusaha keluar dari kepalaku,” mengubah segalanya. Perempuan itu ternyata bukan di kamar fisik, melainkan di pikiran narator yang mungkin mengalami trauma, kegilaan, atau bayangan yang terperangkap. Twist ini bergeser dari rasa kasihan pada perempuan menjadi kengerian terhadap narator, membuka ruang interpretasi baru, apakah ia gila, atau kepalanya memang ruang yang mampu mengurung sosok lain? Misteri ini memperkuat kesan mencekam yang khas.
Kambing Hitam (hal. 98) menghadirkan monolog istri yang keras, “Pokoknya apa pun kesalahan yang terjadi saat ini dan nanti, itu semua salahmu,” menciptakan gambaran suami yang pasrah di bawah tekanan. Nada istri yang penuh hardik membuat pembaca mengira suami akan diam menerima. Namun, respons suami, “Seperti tidak punya Tuhan saja!”—dengan nada geram dan moralis—menjadi twist yang cerdas dan berani. Perspektif ganda muncul dalam teks ini, apakah sang suami tengah menyindir istri agar menyerahkan segala masalah pada Tuhan, atau justru Tuhan yang harus disalahkan atas situasi ini? Pergeseran ini mengubah cerita dari tuduhan sepihak menjadi dialog bermakna.
Normal (hal. 142) menawarkan sindiran halus terhadap obsesi manusia modern akan citra sempurna di media sosial. Dalam ceritanya, seorang pasien bertanya penuh harap, “Dokter melihat semua unggahan saya di media sosial? Semuanya normal, bukan?” seolah ingin divalidasi. Jawaban dokter, “Terlalu normal, saya harus menambah dosis obat Anda,” menjadi twist yang paradoksikal: keadaan “terlalu normal” justru dianggap tidak wajar, sehingga obat ditambah. Cerita ini mengolok-olok absurditas kehidupan digital, di mana usaha keras untuk tampak biasa malah menunjukkan ketidaknormalan.
Terakhir, Lorong Hotel (hal. 138) mengandalkan kekuatan pada apa yang tidak dijelaskan. Dialog singkat, “Ade mau bobo di kamar Kakak,” dan petunjuk ibu, “Di ujung lorong pintu kiri, nomor 213,” terasa polos dan sepele, namun kalimat penutup, “Adik tidak pernah sampai ke kamar kakak,” membuka ribuan pintu kemungkinan—tersesat, diculik, atau lenyap secara misterius. Daya ledak cerita ini terletak pada ketiadaan jawaban, memanfaatkan sifat fiksi mini yang padat untuk memancing imajinasi pembaca. Lorong menjadi simbol bahaya tak terduga, dan hilangnya adik—entah fisik atau simbolik—diserahkan pada pembaca untuk menguraikannya, menjadikan cerita ini salah satu yang paling haunting.
Relevansi antologi ini bagi pembaca, khususnya saya, terasa kuat melalui latar yang dekat dengan keseharian. “Sudah Tidak Berisik” membawa nuansa Ramadan dengan ngabuburit dan kemiskinan yang relatable. Emosi universal seperti ketakutan, sindiran, dan keputusasaan yang timbul pasca membaca membuat cerita-cerita ini resonan di mana saja. Twist di setiap fiksi mini—dari tikus yang diam hingga adik yang hilang, mengundang pembaca untuk melihat kematian tidak hanya sebagai akhir, tetapi juga sebagai cermin kelemahan manusia. Huruf-Huruf yang Tewas Mengenaskan membuktikan bahwa fiksi mini memiliki kekuatan untuk membuat sebuah kehancuran besar dalam ruang kecil. Setiap cerita adalah dunia mini yang runtuh, namun tetap hidup di pikiran pembaca.
Meski Huruf-Huruf yang Tewas Mengenaskan berhasil memikat dengan twist dalam beberapa tema cerita-ceritanya, tidak semua fiksi mini dalam antologi ini mencapai kepadatan ideal yang menjadi ruh genre ini. Sebagaimana Agus Noor pernah menyatakan, fiksi mini adalah “Pergulatan untuk menemukan plastisitas kisah”, sebuah usaha menempa narasi yang lentur namun penuh makna dalam ruang terbatas. Beberapa cerita, seperti “Sudah Tidak Berisik” (134 kata) dan “Sabar” (81 kata), terasa agak bertele-tele dalam membangun latar—deskripsi kemiskinan Tansa atau tangisan pria di ICU—sebelum sampai pada twist, sehingga mengurangi efisiensi kata yang seharusnya menjadi kekuatan utama.
Ernest Hemingway, yang menekankan prinsip “less is more” dalam narasi pendek (The Art of the Short Story, 1959), mungkin akan mengkritik penggunaan kalimat-kalimat yang bisa dipadatkan dalam antologi ini tanpa kehilangan esensi, misalnya dengan langsung memotong ke dialog inti atau petunjuk subtil. “Lenyap” (79 kata) dan “Lorong Hotel” (33 kata) lebih mendekati ideal tersebut, memanfaatkan lompatan waktu atau ketiadaan penjelasan untuk memaksimalkan imajinasi pembaca, tapi “Perempuan yang Terkurung” (62 kata) masih menyisakan ruang untuk pemangkasan—teriakan berulang “Keluarkan aku!” bisa disatukan tanpa mengurangi intensitas. Dalam konteks ini, beberapa fiksi mini dalam antologi Huruf-Huruf yang Tewas Mengenaskan terasa belum sepenuhnya menggenggam prinsip tersebut; narasi yang lebih ramping akan memperkuat makna dan meninggalkan kesan yang lebih tajam, alih-alih membiarkan “huruf-huruf” bertebaran tanpa kepekaan maksimal.
Agus Salim Maolana