Conclave: Suara Tuhan atau Bisik Manusia?

10/03/2025

 

Bayangkan, kau tengah berada di antara ruangan megah tembok Vatikan, dipenuhi kardinal berjubah merah, terkunci bersama rahasia yang lebih gelap dari bayang Kapel Sistina. Di sana, asap putih yang dinanti umat tanda Paus baru terpilih tak juga muncul dari cerobong. Justru, di dalam ruangan, kabut intrik, skandal, dan ambisi manusiawi semakin menebal di antara para Kardinal, membuat mereka tak lagi mampu berpikir jernih dalam mengemban tugas suci.

Conclave (2024), disutradarai Edward Berger, bukan sekadar film tentang pemilihan Paus, tapi adalah cermin retak yang memantulkan pertanyaan usang, apakah kata suci hanyalah topeng dari kehendak kekuasaan? Dalam tulisan pendek ini, saya hendak sedikit mengangkat lapisan skandal yang mengguncang hingga politik kardinal yang merefleksikan dunia kita hari ini, tentu dengan mata terbuka dan kerendahan hati untuk bertanya ulang.

Conclave tak lepas dari akar sejarahnya. Konklaf yang merupakan sidang pemungutan suara untuk memilih Paus baru, dikenal dari kata cum clave (terkunci), lahir dari aturan Ubi periculum (1274) setelah pemilihan Paus terlama terjadi di Viterbo (1268-1271). Pada pemilihan itu, selama tiga tahun para kardinal bertikai, bahkan dikunci paksa oleh rakyat, kemudian atap-atap ruangannya dibongkar—sebuah fakta yang jadi cikal bakal mengapa prosesi konklaf harus tertutup dan di dalam ruangan terkunci. Sebelum itu, pemilihan Paus cuma disebut “electio” atau “pertemuan kardinal” yang terbuka, penuh kekacauan, dan berlumur campur tangan Kaisar atau raja. Film ini, meski fiktif, menggemakan kebuntuan itu dalam tiga hari penuh intrik.

Siapa yang berhak untuk mengikuti konklaf? Hanya merekalah, para Kardinal yang berusia di bawah 80 tahun, sekitar 120 orang dari ratusan kardinal dunia yang punya suara. Mereka mewakili Gereja secara universal, bukan mewakili wilayah atau negara tertentu, meski latar belakang mereka jelas menjadi semacam aspirasi. Siapa yang bisa jadi Paus? Secara teori, siapa saja yang Katolik dan laki-laki, tapi praktiknya, para Paus terpilih selalu berlatar belakang sebagai seorang Kardinal. Namun, dalam film Conclave, Benitez dengan twist-nya, menantang aturan tak tertulis ini! Sebuah provokasi yang membuat kita bertanya, apakah tradisi selalu benar?

Ada sesuatu yang mencekam dalam cara Conclave membangun dunianya. Bukan Roma yang ramai atau Vatikan yang megah, melainkan ruang-ruang sempit dan koridor dingin Kapel Sistina yang seolah menyimpan rahasia. Sinematografi Stephane Fontaine, dengan pencahayaan temaram dan sudut kamera yang seperti mata elang, harus diakui berhasil memosisikan kita bukan sebagai penonton, tetapi menjadi tahanan dalam ritual konklaf itu sendiri. Setiap close-up wajah kardinal—kerut dahi Ralph Fiennes sebagai Kardinal Lawrence, sorot licik John Lithgow sebagai Tremblay—adalah lukisan ketidakpastian. Ini bukan Vatikan sungguhan, tentu saja! Bangunan replika yang berlokasi di Cinecittà Studios dan L’Ospedale di Santo Spirito ini sukses jadi panggung Conclave bercerita. Keautentikannya terletak bukan pada soal batu dan marmer saja, melainkan atmosfer yang membuat kita bertanya, apakah ruangan suci ini benar-benar rumah Tuhan, atau kandang manusia yang saling menerkam?

Naskah Conclave yang ditulis oleh Peter Straughan dan diadaptasi dari novel Robert Harris ini adalah peta labirin yang cerdas. Cerita dimulai dengan kematian Paus—diceritakan karena serangan jantung, tapi bisik konspirasi perlahan terendus. Lawrence, salah satu Kardinal yang dipercaya sebagai ketua untuk memulai konklaf, harus menavigasi pemilihan Paus baru di tengah skandal yang perlahan terkuak. Straughan, sang sutradara, yang pernah bertemu kardinal sungguhan untuk riset, menaburkan petunjuk seperti remah roti di hadapan kita sebagai penonton yang polos: ada yang menuntun, ada yang menyesatkan. Film ini bukan sekadar thriller, melainkan permainan catur verbal di mana setiap langkah kardinal akan mengguncang papan.

Film ini tak malu-malu menunjukkan noda di jubah kardinal. Pertama, ada Kardinal Tremblay, yang dirumorkan diminta mundur oleh Paus sebelum kematiannya, mungkin karena korupsi atau dosa yang tak terucap. Ia menolak, dan bayang kecurigaan menyelimutinya seperti asap hitam. Lalu, Kardinal Adeyemi, sang harapan Afrika, tersandung skandal masa lalunya, yaitu hubungan terlarang dengan seorang wanita, bertolak belakang dengan sikap konservatifnya yang keras. Kemunafikan jadi pisau yang menusuk reputasinya. Kardinal Tedesco, dengan pandangan ultra-tradisional, tak luput dari tuduhan rasisme dan intoleransi, skandal yang membuatnya dibenci meski didukung kubu konservatif.

Namun, puncaknya ada pada Kardinal Benitez, kandidat misterius dari Kabul. Di akhir film, terungkap bahwa ia lahir dengan organ wanita—rahasia yang disembunyikan hingga Lawrence menemukan dokumen medisnya. Ini bukan sekadar skandal, ini adalah ledakan yang mengguncang fondasi Gereja dalam film Conclave. Belum lagi, intrik lain seperti manipulasi suara, bisik sogokan, bahkan bom bunuh diri di Roma, Conclave menunjukkan bahwa di balik doa dan lilin, ada manusia yang tak suci. Skandal-skandal ini bukan cuma bumbu cerita, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa kekuasaan, bahkan di ranah suci, selalu menggoda dosa.

Setiap kardinal dalam film ini adalah potret kepentingan politik dan pandangan yang lebih luas dari sekadar Vatikan. Lawrence, yang diperankan Fiennes dengan luar biasa, adalah suara liberal yang penuh keragu-raguan. Ia ingin Gereja menjadi institusi yang relevan di dunia modern, tapi krisis imannya hanya membuatnya jadi pengamat, bukan pemain inti dalam kontelasi. Ia mewakili hati nurani yang terjepit antara idealisme dan realitas. Bellini (Stanley Tucci), sang progresif, adalah antitesisnya, penuh semangat untuk mereformasi hak-hak perempuan, penerimaan LGBTQ dalam lingkup sosial. Singkatnya, ia siap jadi Paus untuk membawa perubahan. Ia adalah suara pemberontak yang takut Gereja jadi fosil.

Berbeda dengan Lawrence atau Bellini, Tremblay, dengan intriknya yang licik, adalah politisi sejati. Moderat dalam pandangan, tapi nilai-nilai keimanannya terbakar oleh ambisi. Satu-satunya yang ia maui adalah kekuasaan, bukan ideologi. Selain itu, masih ada Adeyemi, konservatif dari Nigeria yang membawa suara tradisi sosial dan anti-perubahan, teguh pada moralitas kaku dan mewakili umat global yang tak mau Gereja melunak. Tedesco, sang ultra-tradisionalis, adalah benteng masa lalu. Ia menginginkan gereja Katolik kembali menggunakan bahasa Latin, kembali pada aturan kuno, dan penolakan modernitas adalah darahnya. Ia adalah lawan dari Bellini sang progresif dalam perang ideologi. Terakhir, Benitez, merupakan seorang yang damai bersahaja, misterius, dan akhirnya kontroversial, menjadi simbol harapan baru yang juga ternyata menjadi cermin pertanyaan, siapa yang sebenarnya layak memimpin Umat Katolik?

Mereka, para kardinal dalam Conclave ini, bukan sekadar karakter. Mereka adalah bayang politik dunia nyata. Bellini dan Tedesco seperti kubu progresif dan konservatif dalam parlemen mana pun. Tremblay adalah oportunis yang kita kenal di setiap sistem kekuasaan. Adeyemi dan Benitez membawa suara dunia ketiga—satu keras, satu lembut—yang sering terabaikan. Lawrence, dengan keraguannya, tentu saja adalah kita, manusia biasa yang menyaksikan drama ini sambil bertanya, ke mana arahnya selanjutnya kira-kira?

Conclave bukan cuma tontonan. Film ini memenangi Oscar 2025 untuk Naskah Adaptasi Terbaik, menjadi bukti kekuatan Straughan dalam meramu cerita. Selain itu, Conclave masuk dalam delapan kategori nominasi, termasuk Film Terbaik dan Aktor Terbaik untuk Fiennes, menunjukkan bagaimana bobot film ini, meski kalah dari film Anora di kategori utama film terbaik. Saya setuju film ini tak sempurna. Beberapa subplot—seperti bom di Roma—terasa tergesa selesai, dan twist akhir bisa jadi terlalu sensasional. Namun, kekurangan ini tak mengurangi daya tariknya sebagai cermin moral.

Conclave menyeru agar kita melihat ke dalam. Di Vatikan atau di mana pun, kekuasaan selalu jadi ujian. Skandal kardinal adalah skandal kemunafikan, intrik, dan pencarian makna di tengah keraguan. Lawrence, dengan tatapannya yang kosong, adalah kita yang bertanya, apakah suara Tuhan masih terdengar di antara kepentingan manusia? Film ini tak memberi jawaban, ia hanya membukakan pintu, lalu menutupnya dengan kunci, meninggalkan kita terkunci dalam pikiran sendiri. Saya memberi skor 9/10 untuk film ini. Bukan karena sempurna, tapi karena ia berani bertanya apa yang kita takut ucapkan selama ini

 

Agus Salim M. Menulis puisi, cerpen, dan Esai. Beberapa karyanya dimuat di banyak media.