BAB I - IMPRESI
Sejak pertama kali saya baca judulnya, Saint Polish yang Bisu, saya langsung terpana. Jarang sekali saya temukan judul seperti ini, kecuali orang yang sudah berpengalaman menulis. ibarat perkenalan itu sudah membuat saya terpana - meski tidak paham artinya. Ibarat kita disuguhkan daftar menu makanan kebarat-baratan, sesaat tercengang lalu bingung kemudian.
Selain lain itu Teknik bercerita dari Aziz Fahrul Roji ini sangat mengalir. Tahu-tahu saya sudah di batas akhir. Sekilas saya teringat dengan cerpen-cerpen order baru di buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Serupa tapi tak sama. Bercerita tentang pemerintahan, politik dan pergerakan.
Sebagai pembaca awam, saya berpikir ‘apa yang harus saya bahas?’ – cerpen ini diluar ekspektasi. Pemilihan kalimat yang baik. Hampir tidak ditemui kesalahan ketik. Luar biasa. Saya tidak sabar bertemu penulisnya. Ingin bertanya lebih jauh padanya, ‘Ini bukan plagiat, kan?’. Saya tahu pertanyaan itu amat kurang ajar. Mungkin saking irinya saya tidak bisa membuat cerita sebagus itu.
BAB II – INTRINSIK
A. Suguhan Flashback
Penulis memberi suguhan trailer, tentang seseorang yang meringkuk di pinggir jalan area pertokoan. Dengan luka di wajah dan kedua tangan yang sudah tidak mempunyai ibu jari lagi.
Lalu kalimat berikutnya akan menceritakan siapa ‘dia’, dan kenapa dia bisa berada di tempat tersebut dengan luka yang mengenaskan. Korban tabrak lari kah? Korban penculikan kah? Penulis berupaya membuat kilas balik dari apa yang tengah terjadi. Maka ia munculkan kejadian yang berlangsung sebelum hal itu terjadi. Hampir cerita trailer/tragis – mencekam. Selalu memberi suguhan seperti ini. Ibarat sebuah kasus akan diselidiki siapa korban, mengapa, bagaimana dan kapan.
Dengan cara seperti ini, seharusnya berhasil membuat empati pembaca untuk penasaran. Tapi tidak demikian. Mungkin efek tragisnya belum terlihat nanar.
B. KARAKTER PEDRO YANG KURANG BERMAIN PERAN
Bersambung dari poin sebelumnya, pembaca mendapatkan alasan kenapa cerita itu tidak membuat jiwa pembaca ikut memberontak. Bisa jadi karena seorang pedro tidak terlihat manusiawi. Sifat-sifat kemanusiannya kurang digali. Apakah pedro ini bertubuh tinggi besar dengan garis keras di wajahnya? Sehingga ia sangat berani dan gencar membela hak-hak masyarakatnya. Atau seseorang yang berkacamata, pandai menulis sehingga mendapatkan kejanggalan dari apa yang sedang ditelitinya? – atau justru ia hanya pion saja dari lembaga pergerakannya?
C. WAKTU DAN KUNCI CERITA
Cerita fiksi memang menarik, tidak ada yang bisa menjatuhkan vonis kebenaran dari sebuah cerita yang dikarang oleh si pengarang. Bisa saja ia menulis tentang makhluk luar angkasa di zaman kenabian. Dan seperti dalam cerita ini, ada sedikit yang saya – selaku pembaca awam – kembali mempertanyakan.
Hampir setengah dekade berarti hampir mendekati 5 tahun virus menyerang saluran pernapasan di kota suci Polandia. Tapi Pedro baru gencar membela hak-hak masyarakat dan melindungi masyarakat pesisir pulau polish justru sejak dua tahun terakhir. Lalu kemana Pedro sebelum itu? – apakah ambisinya belum tersulut?
Menurut data yang ditemukan oleh Pedro, bahwa ia menemukan kejanggalan atas virus yang terjadi di kotanya. Pun dari hasil penyadapan grup percakapan terkait rencana pemerintah menambang bijih besi di pesisir pulau polish. Bahwa virus tersebut tidak lain dari pengaruh penambangan bijih besi. Tapi Pedro baru berhasil menyadap percakapan mereka itu beberapa bulan sebelumnya dan itu masih ‘rencana’. Padahal virus sudah menyebar.
Pembaca masih bingung saja dengan urutan waktunya. Bisa saja pembaca kurang teliti. Jadi nanti bisa dikonfirmasi.
D. KEMANA ARAH CERITANYA?
Garis besar Tema sebenarnya bisa diarahkan. Apakah mengenai pergerakan. Dimana ini terkait isu politik dan sebagainya, seperti cerita-cerita di cerpen masa order baru. Atau isu sosial mengenai kesulitan masyarakat untuk berpendapat. Karena mengkritik melalui media social pun, masih terjerat UU IT dan bisa diperkarakan. Sehingga banyak korban atau peranan seperti Pedro yang hanya bisa pasrah menghadapi pihak yang berkuasa, baik pemerintah maupun pemilik saham perusahaan besar.
Tema yang sangat luas sebenarnya. Tapi karena di dalam cerita disisipi tentang suatu penyebaran virus. Itu malah akan bagus jika dikembangkan ke arah tema yang lain. Semisal pencemaran lingkungan dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bisa dari pabrik-pabrik industri yang limbahnya meracuni warga. Seperti yang terjadi di cerita ini. Itupun jika data yang didapatkan pedro memang akurat. Bukan asal cocokologi semata.
Ini bisa jadi isu sosial yang baik.
E. BANYAK PESAN TERSELUBUNG
Masih menyambung ke point sebelumnya, setelah membaca ini.
- Kita harus berhati-hati dalam meluncurkan kritikan, meski lewat tulisan apalagi media social. – Jika punya grup buatlah orang-orang yang kompeten. Jadi carilah programmer hacker terbaik untuk tugas penyadapan. – bermainlah dengan cerdik, jika anda pemimpin cukup perintah saja jangan langsung terjun ke lapangan. – Berdemolah dengan bijak. Kan cuman 20 anggota, cukup saja negosiasi.
F. Melihat dari kacamata orang ketiga
Bisa jadi karena cerita ini ditulis oleh orang ketiga, jadi sekedar hanya menjelaskan atau memaparkan konflik saja. Belum pada penelusuran setiap tokoh dengan baik. Bisa dipahami karena terbatas dengan ketentuan jumlah kata. Sehingga empati tokoh kurang berjiwa.
G. Teknik Menulis
Sebelum saya lupa, nih. Mungkin bisa digaris bawahi, kalau percakapan chat/tulisan di whatsapp apakah menggunakan tanda petik dua (“)? Karena pembaca ini merasa tersesatkan seolah itu dialog langsung melalui verbal lisan. Bukan verbal tulisan.
BAB III - ENDING
Tapi ada yang aneh dari cerita ini sebenarnya, - sebelum saya lupa ngebahasnya. Bahwa akibat virus V-Go – entah apa penjelasan namanya. Mungkin virus tenggorokan, mungkin ya. Sehingga semua orang membawa pulpen dan buku. Loh, bukannya sudah ada teknologi penyadapan grup percakapan. Kenapa masyarakatnya hanya memakai buku dan pulpen. Kenapa tidak menggunakan layanan chat untuk bertransaksi atau memakai note di aplikasi gawai. Sebenarnya ini tahun berapa. Tidak mungkin di masa lalu, karena belum ada virus menyebabkan kesulitan berbicara, kalau kesulitan bernafas iya ada, seperti covid-19.
Tapi ada yang aneh lagi, sebelum saya lupa menuliskannya. Diantara masyarakat yang tidak berdaya oleh efek mikro-virus yang menyebabkan tenggorokan menjadi bengkak. Kok masih bisa-bisanya di pinggir jalan, di pinggir-pinggir pertokoan, pedagang-pedagang kaki lima ramai meniup terompet? – apa nggak sakit ya? Atau ada kaum yang tidak terdampak virus?
Ini lucu sih. Kecuali menyebabkan rusaknya pita suara. Tapi emang sih relate sama keadaan di Indonesia, sericuh apapun, setegang apapun kejadian seperti demo, para pedagang kaki lima tidak berhenti berjualan. Mungkin karena cara bertahan hidup mereka yang sangat kuat.
Aku masih belum yakin militer bisa segegabah itu mengeksekusi orang, dan tanpa basa-basi pula bahkan tanpa interogasi lebih lanjut. Apalagi yang menebas kedua ibu jari tangan Pedro adalah Komandannya. Ini kayak mafia deh, dan orangnya dibuang begitu saja.
--
Seru sih membaca dan membedah cerpen ini, sebagai pembaca yang suka cerita tentang petualangan, penyelidikan, science-fiction, dan berharap ini bisa dikembangkan menuju tema tersebut. tapi kalau bertemakan pergerakan politik dan aspirasi yang terkungkung. Saya rasa cukup.
Beruntung bisa menjadi bagian dari bedah cerpen ini. Dari saya cukup sekian, tidak ada yang harus dijadikan patokan karena ini berdasarkan opini semata. Semua orang bebas menginterpretasikan sesuai imajinasinya masing-masing. Karena bagaimanapun cerpen yang sudah dilempar ke publik, sudah bukan lagi barang pribadi. jadi inilah essay pertama saya, mohon maaf dan terimakasih.
-
Agus Sutisna.