Fenomena Budaya: Mendahulukan Kaum Laki-Laki dalam Tradisi Makan Bajamba

17/09/2024

 

Menyoal seputar budaya ialah pembicaraan panjang yang tak kunjung habis, selama masyarakat setempat terus memupuk kesadaran terhadap pelestarian budaya sebagai medium pengenalan identitas. Seiring berjalannya waktu, kebudayaan menjadi unsur sentral yang memerankan fungsi utama bagi pembentukan suatu kolektif masyarakat, berbagai adat  dan budaya yang dianut oleh masyarakat setempat yang berfungsi sebagai pedoman dan landasan dalam menjalani kehidupan. 

Adat memainkan peranan serius dalam pembentukan aturan dan norma sosial suatu kolektif masyarakat, terutama di Minangkabau. Tradisi dan adat ditimang menjadi sesuatu yang ‘penting’ adalah bukti keseriusan lembaga masyarakat perihal budaya di Minangkabau. Dengan adanya stabilitas yang cukup kuat ini, mayoritas masyarakat Minangkabau terbiasa hidup di bawah tatanan adat dan norma-norma yang mereka anut sebagai tradisi, salah satunya ialah tradisi makan bajamba

Sebuah tradisi yang masih dipertahankan dengan apik hingga sekarang oleh masyarakat Minangkabau ini menggaet banyak makna dalam pelestariannya. Masyarakat setempat percaya, makan bajamba bukan sekedar makan bersama-sama, saling berhadap-hadap atau dalam keadaan yang ramai saja, namun di balik itu masyarakat percaya tradisi makan bajamba akan menguatkan tali persaudaraan antara mereka, mempererat yang dekat mempersatukan yang jauh dengan saling berhadap-hadapan dan menyantap hidangan bersama. Rasa kekeluargaan dan kesederhanaan juga menghiasi nilai-nilai dari makan bajamba, tidak pandang pangkat dan gelar, para urang sumando dan niniak mamak sama-sama menikmati hidangan di atas tikar. 

Tetapi, ada suatu fenomena menarik dalam tradisi makan bajamba ini. Makan bersama-sama dengan menyantap hidangan yang sama, duduk baselo melingkari hidangan yang ditata rapi pada piring-piring ini menyimpan suatu fakta yang cukup unik. Makan bajamba yang diadakan dalam acara formal seperti mando’a umumnya terdiri dari dua rangkaian makan. Rangkaian pertama selalu diperuntukkan kepada urang sumando, niniak mamak dan kaum laki-laki saja. Pada saat rangkaian makan pertama ini berlangsung, para wanita yang menghadiri acara mando’a  tidak diperkenankan berada di ruangan utama atau ruangan yang dijadikan tuan rumah untuk makan bajamba, kecuali untuk kepentingan manatiang atau mengantarkan hidangan, mengambilkan keperluan makan dan membersihkan ruangan setelah makan bajamba tahap ini selesai. Sembari menunggu tahapan pertama selesai, para wanita biasanya berkumpul di ruangan dapur sembari berkemas-kemas dan menyiapkan tambahan makanan untuk dibawa ke ruang makan bajamba nantinya. 

Jika dilihat sekilas dari fenomena ini, tentu satu hal yang disimpulkan secara spontan oleh kita ialah bagaimana wanita dipandang rendah dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau, sehingga kepentingan mereka dikebelakangkan yang kemudian menaruh penghinaan dalam diri perempuan. Perspektif-perspektif demikian sering dijumpai dari ‘orang luar’ Minangkabau yang tidak tahu seluk beluk adat di Minangkabau. Mengutip pada petitih “Adat basandi syara, Syara basandi kitabullah” yang mengandung makna bahwa masyarakat adat berpedoman kepada agama sebagai landasan tertinggi dalam mengambil hukum, hal ini menjelaskan betapa masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi agama, sehingga tidak mungkin merendahkan wanita. Lalu, mengapa hal ini terjadi?

Adat Minangkabau punya pandangan tersendiri untuk menjawab persoalan ini. Perempuan di Minangkabau ialah penerus garis keturunan dalam keluarga, limpapeh rumah nan gadang, pewaris harta pusaka dan Bundo Kanduang rumah gadang. Cerminan tingkah laku yang baik budi pekerti yang luhur adalah hal-hal yang akan selalu ditagih kepada perempuan di Minangkabau. Tidak sembarangan orang dapat berinteraksi bebas dengan perempuan di Minangkabau tanpa sepengetahuan mamak dan keluarganya, karena akan menimbulkan cela kepada keluarga si perempuan. Sebagai juru kunci Rumah Nan Gadang, idealnya perempuan Minangkabau sangat terkenal  dengan marwahnya dan rasa malunya yang tinggi. Berbeda dengan laki-laki yang akan malu jika hanya berdiam diri di rumah, para gadis di Minangkabau justru menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Mereka tidak berani keluar jauh dari rumah jika tidak ditemani oleh mahramnya, tidak bepergian lewat sore hari dan menjaga rasa malu terhadap lawan jenisnya. Karena beberapa alasan tersebut, adat mengatur batasan-batasan jarak antara perempuan dan laki-laki di Minangkabau, terutama gadis yang belum bersuami. 

Batasan-batasan tersebut kemudian dengan alamiah menyatu pada seluruh kondisi terutama keadaan yang bersentuhan dengan adat seperti makan bajamba. Para wanita terutama anak gadis berkumpul di ruangan dapur agar tidak menyaksikan kaum laki-laki menyantap hidangan agar menjaga rasa malu mereka, pun sebaliknya agar kaum laki-laki tidak seenaknya memandang wanita yang bukan mahramnya. Makan bajamba diadakan untuk mempererat siraturahmi antar kerabat  tanpa melupakan batasan-batasan yang telah berlangsung dan disepakati secara turun temurun. 

Adat berusaha menjaga dan mempertahankan keseimbangan porsi antara keduanya, agar tidak ada  pihak yang merasa dirugikan. Jika ditinjau lagi, hal ini sejalan dengan tuntunan agama Islam melarang berbaurnya antara wanita dan laki-laki yang memicu terjadinya ikhtilat, yang secara tidak langsung membuktikan kesahihan petitih “Adat basandi syara’, Syara’ basandi kitabullah”. 

Adat menjawab persoalan ini dengan pemikiran yang berbeda jika dibandingkan dengan logika umum, dan menilai sesuatu dari kulit luarnya saja ialah tindakan yang sangat berbahaya, oleh karena itu perlu adanya pemahaman kolektif yang mendalam untuk menjawab persoalan adat dan budaya. Karena persoalan budaya dan pemikiran kolektif bukanlah hal yang dapat di-upgrade dengan perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi. Seiring berjalannya waktu, pemikiran kolektif akan semakin tergerus perkembangan zaman, dan tugas generasi hari ini ialah melestarikannya sebagai identitas milik kolektif yang memuat khazanah pemikiran yang luar biasa di dalamnya.  


Rosidatul Arifah, Mahasiswi Aktif Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.  Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas. Beberapa karyanya telah dimuat dalam berbagai media cetak dan platform digital.