Heboh Sastra 1968: Cerpen `Langit Makin Mendung` Karya Kipanjikusmin Memicu Perdebatan Pro dan Kontra

17/02/2025

 

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad Saw.

Pada tahun 1968 Cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin yang ada di dalam majalah Sastra No.8 Agustus 1968, hlm. 3-8. Cerpen LMM mengakibatkan kasus yang disebut “Heboh Sastra 1968”.  Cerpen “Langit Makin Mendung” banyak tuai pro dan kontra, dikarenakan cerpen itu membawa-bawa Nabi Muhammad Saw. Menimbulkan kehebohan antara umat Islam dan sastrawan. jika dibaca lebih rinci, cerpen ini memuat kritikan mengenai dunia pada masa itu. T. Mulya Lubis mengatakan cerpen “Langit Makin Mendung” tidak mengandung unsur penghinaan agama. Tuhan digambarkan seolah-olah manusia biasa yang menggelengkan kepala, senyum dengan penuh pengertian dan penuh kebapaan, bukanlah suatu penghinaan. Kutipan yang dimaksud T. Mulya Lubis sebagai berikut.

“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. Nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”

Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian–penuh kebapaan.

Menurut pandangan Jassin T. Mulya Lubis tertarik pada isi percakapan-percakapan dan menangkap sesuatu yang pengarang akan katakan sesungguhnya ialah keadaan zaman sebelum gestapu. Cerpen “Langit Makin mendung” banyak menarik perhatian banyak orang, untuk pertama kalinya suatu karya sastra menghebohkan di pengadilan. 

Melihat pendapat dari sisi yang kontra, cerpen “Langit Makin Mendung” Karya Kipanjikusmin (1968) dalam majalah Sastra. Mengimajinasikan Sikap Nabi, Malaikat, dan Tuhan dengan imajinasi yang liar dalam penyampaian di cerpennya.

“Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi,

Dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.”

Pada kutipan di atas, seakan-akan mengatakan bahwasanya Malaikat Jibril yang sudah tua, padahal umat muslim percaya malaikat terbuat dari cahaya, dan bentuknya tak kasat mata tidak bisa kita bayangkan.

Sebagai umat Islam bahkan kita tidak diperbolehkan dengan sembarangan membayangkan Nabi dan Tuhan seenaknya. Hal demikianlah yang menuai kontra bagi para alim-ulama.

Hamka mengemukakan sebagai seorang ulama merasa tersinggung dengan cerpen tersebut, Hamka menganggap bahwa penulisnya sangat berdosa bahkan pantas untuk dibunuh. Tanggapan itu ditentang oleh Bahrum Rangkuti. Bahrum Rangkuti tidak setuju atas pendapat Hamka, dia mengatakan bahwa tujuan pengarang sebenarnya hendak menyucikan Islam dari racun-racun paham baru (Nasakom) yang menyesatkan sehingga banyak mengikutinya dengan sadar maupun tidak sadar telah memperbincang dan melumpuhkan Islam. Iman dan Islam menjadi pimpinan permainan bayar bibir Semata.

Menurut beberapa sastrawan dan para pembaca yang Pro, Cerpen ini tidak bermaksud untuk merusak Aqidah umat muslim, atau untuk menjatuhkan kepercayaan umat muslim, Menurut Budak Tuhan tanggal 6 Mei 2010, pada komenan Wordpress Sawali Tuhusetya 20 November 2007 cukup menarik, ia mengatakan, 

“Sesungguhnya cerpen ini adalah satir politik dan tidak menghina Islam  Dia lebih menyinggung orang-orang yang menggeneralisasikan kebenaran dan memersonifikasikan Tuhan. Hanya ke dangkalan pikiran beberapa orang saja yang tidak dapat memahami makna sesungguhnya dari kekuasaan Tuhan apakah anda tidak merasa bahwa sebenarnya dihina adalah pandangan dangkal anda mengenai Islam dan bukan Islam itu sendiri.”

Kipanjikusmin selaku penulis Cerpen “Langit Makin Mendung” mengeluarkan surat permohonan maaf kepada semua pembaca cerpen pada tanggal 22 Oktober 1968. Kipanjikusmin juga merasa menyesal karena cerpennya dianggap masyarakat banyak sudah menghina agama Islam. Walaupun ia tidak bermaksud seperti itu. Cerpen tersebut dibuat untuk menggambarkan hasrat pribadinya dengan mengadakan Tuhan, Nabi, Surga, dan lain-lain. selain itu ia ingin menertawakan sikap kebodohan di masa pemerintahan Soekarno pada saat itu.

Seperti pada kutipan di bawah yang membawa nama Soekarno ke dalam cerpen “Langit Makin Mendung”

Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.
Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.

“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.

“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah menggerogoti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.

Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.

Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Betapa halus dan menohoknya kritikan yang ingin disampaikan Kipanjikusmin terhadap Soekarno. Seolah-olah Soekarno ialah nabi palsu yang harus disembah dan dipercaya, yang memberikan ajaran Nasakom kepada rakyatnya, beberapa pembaca mengatakan bahwa cerpen yang dibuat Kipanjikusmin adalah “nakal” karena membuat para ulama dan sastra menjadi heboh.

Walau cerpen ini sudah dihapus oleh pengarangnya, tetapi majalah sastra masih harus berurusan dengan pengadilan. Kipanjikusmin (lahir tahun 1941) adalah nama samaran. Nama sebenarnya hanya diketahui oleh redaksi majalah Sastra. Redaksi majalah Sastra tidak mau membukakan identitas Kipanjikusmin. H.B. Jassin dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen tersebut. Majelis hakim memutuskan H.B. Jassin dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Karena keputusan itu H.B. Jassin mengajukan banding, namun sampai beliau meninggal keputusan banding itu tidak diperolehnya 

Siapa Kipanjikusmin H.B. Jassin tetap merahasiakan peristiwa tersebut terkenal dengan “Heboh Sastra” yang mana beliau menjawab dengan menggunakan gabungan pola teori sastra dan ayat-ayat Al-Quran dan hadis.

Beberapa kalimat yang diucapkan H.B. Jassin di depan majelis hakim yang menangani perkara “Langit Makin Mendung” sesuai dengan kutipan buku Jassin.

“Suatu karya sastra bukanlah buku ketekismus dan bukan buku sejarah janganlah anda membaca cerita fiktif seperti membaca riwayat hidup seseorang yang otentik.” (hlm. 122)
 
“Dalam menghadapi cerita pendek ini orang membuat kesalahan mengira bahwa percakapan Tuhan dengan Nabi Muhammad terjadi sesungguhnya, histories, padahal hanya dalam imajinasi pengarang” (hlm.164)

“Dalam hal Kipanjikusmin dan ‘Langit Makin Mendung’ saya berpendapat bahwa pengarang tidak ada niat untuk menghina siapa-siapa..” (hlm. 172)

“Sebagai penanggung jawab majalah Sastra, sedikit pun saya todak bermaksud menghina golongan Islam, malahan sebaliknya berhasrat meningkatkan golongan Islam dalam apresiasi dan pengertiannya terhadap sastra” (hlm 182)

Menurut saya dengan semua pendapat yang dikatakan H.B Jassin benar adanya dan dapat dibuktikan melalui pembacaan secara detail cerpen “Langit Makin Mendung”, kita dapat melihat, bagaimana Kipanjikusmin menggambarkan bagaimana politik pada zaman itu, dan bagaimana perilaku rakyat ketika Nabi dan Tuhan melihat umatnya yang sangat jauh dan berantakan, banyak orang yang beragama Islam, tetapi yang benar-benar Islam itu sedikit dan hanya beberapa.

Pada cerpen tersebut juga menceritakan bagaimana Soekarno dalam bertugas atau dalam mengambil keputusan, Kipanjikusmin juga melakukan sindiran yang sangat menarik seperti di kutipan yang ada pada cerpen LMM

Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkam.

Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR.

“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”

“Tidak, Pak.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”

“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”

Pada kutipan di atas, yang menanyakan “flu berbahaya apa tidak?, yang berbahaya komunis”, itulah fakta yang ada di Indonesia, komunis itu dianggap berbahaya karena tidak sesuai dengan pengamalan Pancasila, komunis berjalan tanpa adanya aturan agama, mereka tidak meyakini adanya dunia selain dunia yang mereka jalanin sekarang, sama halnya pada saat adanya PKI yang banyak memakan korban.

 

Daftar Pustaka
Safitriani. (2022, 20 Juni). Mengulas Kembali Peristiwa Heboh Sastra 1968. Diakses pada 5 Januari 2024, dari https://www.g-news.id/mengulas-kembali-peristiwa-heboh-sastra-1968/
Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makim Mendung Kipandjikusmin: 17-41, 2004. MELIBAS: Jakarta.
Kemdikbud. 2016. Heboh Sastra 1968. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Diakses pada 6 Januari 2024, dari https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Heboh_Sastra_1968
Amin, Basri, dkk. 2022. Mencerdaskan Bangsa H.B. Jassin 1917-2000, Pahlawan Kebudayaan Pembela Imajinadi Manusia Indonesia. Manado: Yayasan Serat Manado (Anggota IKAPI). 
Tuhusetya, Sawali. (2007, 20 November). Langit Makin Mendung. Diakses pada 5 Januari 2024, dari https://kangpanut.wordpress.com/2007/11/20/langit-makin-mendung/

 

Mutia Yulanda. Kuliah di Universitas Andalas, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya. Instagram : @mutiayulandaa