SEDERHANA
Annisa Firsty
Terjun air merdu
Aku tertidur
Di bahumu
Yang nyaman
Terik matahari
Redup olehmu
Aku aman
Dekatmu
Oh, begitu sederhana
Caramu menjemput
Kasih dariku
MALAM HARI DI BALIK JENDELA KAMARMU
Annisa Firsty
Rembulan naik
Lampu kamar pun redup
Kita telanjang
Ku di atasmu
Yang diterangi bulan
Kulitmu marun
Aku terpesona
Oleh gerhana malam
Pada matamu
Di malam ini
Kukecup rasi bintang
Pada tubuhmu
Bagai ayat-ayat kitab yang suci
JALAN PULANG KE PARANTUAN
Annisa Firsty
Menuju jalan ke perantauan,
Aku dijemput
Ramahnya angin terik
Menyembilu
Menuju jalan ke perantauan,
Kepulanganku
Dikecup panas knalpot
Sembir membius
Ke Tasikmalaya
Aku kembali
Pada dekap lain
Rumah yang asing
KEPADA MURA
Annisa Firsty
Puan, roman wajahmu alum
Menyapu biru dari terik
Di sekelibat kesanggupanmu
Menyandang makna Ibu
Kepadamu
Langit menuntut azab
Atas dosa yang tak dirampungkan
Bapak kepada pedusi
Dari ikrar yang suci
Kamu menyisakan tanda tanya
Di sela keriput wajahmu yang semakin bergelombang
Berpacu lebih cepat dari usia
Apa itu indung bagimu?
Kini ronamu berawankan langit abu
Di sela napasmu, setiap hari
Menjalani hidup yang tak hidup
MANUSIA INDONESIA MENURUT MOCHTAR LUBIS
Annisa Firsty
Kamu orang Indonesia
Munafik
Hangat bercengrama
Di pertemuan, ramah
Mencium pipi
Di belakang
Punggungnya kauludahi
Kamu orang Indonesia
Berjiwa feodal
Gemar
Menyucikan ustaz
Bekas minumnya
Diperebutkan
Namun orang Indonesia
Kau sugguh orang baik
Sedih senang kamu
Dirasa bersama
Perasaaan
Menunggal
Dukaku
Kau yang emban juga
HIDUP TAK SEMUDAH MEMBOLAK-BALIK DIKSI
Apalah hidup itu? Manusia mau-tidak mau dijejali segala kemungkinan. Ada yang apes ada juga yang untung. Sangat sah jika dikatakan sulit bahkan rumit. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, masalah yang dialami seseorang acap kali terbentur dengan hal lain. Misalnya, dalam kondisi negara yang saat ini dianggap genting, seseorang mesti membedah puisi.
Berbeda dengan opini sebelumnya. Ini terkesan asyik dan tanpa beban adalah seorang pensyair yang sedang meracik kata. Ia begitu mudah mengelompokkan kata-kata indah (klasik), mencari kata yang dianggap “asing”, bahkan nekat menyertakan kata yang dianggap tabu oleh beberapa orang. Seperti pada puisi yang saat ini akan dibahas, puisi-puisi karya Annisa Fisrty.
Diksi pada setiap puisi-puisi ini tampak serasi. Namun, jika ditelusuri lagil, sebenarnya ada ketidakcocokan. Seperti hubungan sepasang kekasih yang awet tapi sering cekcok. Itu ditemukan pada puisi yang berjudul Sederhana sebagai berikut.
Terjun air merdu
Aku tertidur
Di bahumu
Yang nyaman
Terik matahari
Redup olehmu
Aku aman
Dekatmu
…
Penulis memilih kata terjun air untuk menggambarkan keberlabuhan yang diungkapkan pada larik berikutnya. Air terjun di beberapa tempat dijadikan sebagai objek sebab keindahannya. Penulis mengambil latar suasana dan tempat yang dalam kesadaran kolektif ini merupakan situasi yang menenangkan. Itu terdengar serasi bukan? Namun, apakah suara air yang terjun atau terjunnya air menggambarkan kelembutan? Mungkin.
Lagi-lagi ini terjadi pada bait selanjutnya pada kata terik matahari apakah kata terik dan redup ini serasi? Jika dilihat dari segi proses, terik matahari berbarengan dengan adanya cahaya. Kata terik biasanya menjadi signified bagi amarah, masalah, atau hal yang mengganggu seseorang. Lalu bagaimana dengan kata redup? Jalan menuju kesejukan yang berawal dari kata terik malah terpotong sebab hadirnya kata redup.
Pada puisi yang akan dibahas selanjutnya, penulis masih betah bermain dengan kata yang bikin cekcok dalam sebuah puisi. Itu bisa ditemukan pada puisi yang berujudul Jalan Pulang Ke Perantauan pada larik berikut.
Menuju jalan ke perantauan,
Aku dijemput
Ramahnya angin terik
Menyembilu
…
Kata ramahnya dan kata angin hampir serasi, tetapi kehadiran kata terik dan menyembilu yang membuatnya gagal mesra. Kata sembilu yang biasa digunakan untuk menunjukkan suasana yang jauh dari kata bahagia. Apakah memang sejak awal diasosikan sebagai masalah berdarah dingin yang mengganggu seperti seorang psikopat? Atau hanya sekadar gambaran latar dalam puisi?
Dikecup panas knalpot
Sembir membius
…
Penggalan puisi tersebut terkesan keren, tetapi ada yang bikin janggal. KENAPA HARUS PANAS DARI KNALPOT?
Puisi yang satu ini, Kepada Mura menawarkan realitas lain dan terasa lebih menarik. Penulis menunjukkan sisi interindividualnya, mengajak para pembaca untuk merenungi nasib Mura yang merupakan representasi dari seorang perempuan. Selain terdapat pandangan sosial dan budaya, pada puisi porsi kata terik cukup serasi.
Pada bait ini.
Puan, roman wajahmu alum
Menyapu biru dari terik
Di sekelibat kesanggupanmu
Menyandang makna Ibu
…
Muncul akar dari segala permasalahan yang dialami oleh subjek dalam puisi, yaitu seorang perempuan. Ini pantas kita renungkan. Kecapakan menjadi seorang ibu yang hanya sekelebat (sepintas) bisa menimpulkan mala petaka. Biasanya faktor penyebab itu bisa terjadi karena pernikahan yang terpaksa. Sebagai pembaca, saya digiring pada garis interseksional bahwa puisi ini tertuju pada seorang perempuan yang harus menghadapi pengalaman pahit, larut dalam pusaran patriarki.
Pada puisi ini penulis sengaja membangun ruang kosong, sehingga para pembaca akan menerka apa penyebab dari pengingkaran yang dilakukan tokoh bapak. Apakah ia mendua? Atau melakukan kekerasan?
Kita sama-sama bisa membayangkan begitu beratnya masalah yang diderita, terbukti pada larik berikut.
Di sela keriput wajahmu yang semakin bergelombang
Berpacu lebih cepat dari usia
Setelah membaca puisi-puisi Annisa, jadi terpikir sebuah pertanyaan “Apakah penulis pun perlu menentukan batasan dari dalam pemaknaan?” atau “Tugas penulis hanya membolak-balik diksi?”
Terlepas dari itu semua, Annisa bisa dianggap sebagai penulis yang emosial. Tak segan dalam menebarkan perasaannya. Masih banyak yang mesti diungkap dari ingar bingar ini. Mudah-mudahan puisi-puisi Annisa tidak berhenti untuk mengungkapkannya.
Indra Rahayu Permana