HIDUP TAK SEMUDAH MEMBOLAK-BALIK DIKSI: MEMBAHAS PUISI-PUISI ANNISA FIRSTY

22/04/2025

 

SEDERHANA

Annisa Firsty

Terjun air merdu

Aku tertidur

Di bahumu

Yang nyaman

Terik matahari

Redup olehmu

Aku aman

Dekatmu

Oh,  begitu sederhana

Caramu menjemput

Kasih dariku

MALAM HARI DI BALIK JENDELA KAMARMU

Annisa Firsty

Rembulan naik

Lampu kamar pun redup

Kita telanjang

Ku di atasmu

Yang diterangi bulan

Kulitmu marun

Aku terpesona

Oleh gerhana malam

Pada matamu

Di malam ini

Kukecup rasi bintang

Pada tubuhmu

Bagai ayat-ayat kitab yang suci

JALAN PULANG KE PARANTUAN

Annisa Firsty

Menuju jalan ke perantauan,

Aku dijemput

Ramahnya angin terik

Menyembilu

Menuju jalan ke perantauan,

Kepulanganku

Dikecup panas knalpot

Sembir membius

Ke Tasikmalaya

Aku kembali

Pada dekap lain

Rumah yang asing

KEPADA MURA

Annisa Firsty

Puan, roman wajahmu alum

Menyapu biru dari terik

Di sekelibat kesanggupanmu

Menyandang makna Ibu

Kepadamu

Langit menuntut azab

Atas dosa yang tak dirampungkan

Bapak kepada pedusi

Dari ikrar yang suci

Kamu menyisakan tanda tanya

Di sela keriput wajahmu yang semakin bergelombang

Berpacu lebih cepat dari usia

Apa itu indung bagimu?

Kini ronamu berawankan langit abu

Di sela napasmu, setiap hari

Menjalani hidup yang tak hidup

MANUSIA INDONESIA MENURUT MOCHTAR LUBIS

Annisa Firsty

Kamu orang Indonesia

Munafik

Hangat bercengrama

Di pertemuan, ramah

Mencium pipi

Di belakang

Punggungnya kauludahi

Kamu orang Indonesia

Berjiwa feodal

Gemar

Menyucikan ustaz

Bekas minumnya

Diperebutkan

Namun orang Indonesia

Kau sugguh orang baik

Sedih senang kamu

Dirasa bersama

Perasaaan

Menunggal

Dukaku

Kau yang emban juga

HIDUP TAK SEMUDAH MEMBOLAK-BALIK DIKSI

Apalah hidup itu? Manusia mau-tidak mau dijejali segala kemungkinan. Ada yang apes ada juga yang untung. Sangat sah jika dikatakan sulit bahkan rumit. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, masalah yang dialami seseorang acap kali terbentur dengan hal lain. Misalnya, dalam kondisi negara yang saat ini dianggap genting, seseorang mesti membedah puisi.

Berbeda dengan opini sebelumnya. Ini terkesan asyik dan tanpa beban adalah seorang pensyair yang sedang meracik kata. Ia begitu mudah mengelompokkan kata-kata indah (klasik), mencari kata yang dianggap “asing”, bahkan nekat menyertakan kata yang dianggap tabu oleh beberapa orang. Seperti pada puisi yang saat ini akan dibahas, puisi-puisi karya Annisa Fisrty.

Diksi pada setiap puisi-puisi ini tampak serasi. Namun, jika ditelusuri lagil, sebenarnya ada ketidakcocokan. Seperti hubungan sepasang kekasih yang awet tapi sering cekcok. Itu ditemukan pada puisi yang berjudul Sederhana sebagai berikut.

Terjun air merdu

Aku tertidur

Di bahumu

Yang nyaman

Terik matahari

Redup olehmu

Aku aman

Dekatmu

Penulis memilih kata terjun air untuk menggambarkan keberlabuhan yang diungkapkan pada larik berikutnya. Air terjun di beberapa tempat dijadikan sebagai objek sebab keindahannya. Penulis mengambil latar suasana dan tempat yang dalam kesadaran kolektif ini merupakan situasi yang menenangkan. Itu terdengar serasi bukan? Namun, apakah suara air yang terjun atau terjunnya air menggambarkan kelembutan? Mungkin.

Lagi-lagi ini terjadi pada bait selanjutnya pada kata terik matahari apakah kata terik dan redup ini serasi? Jika dilihat dari segi proses, terik matahari berbarengan dengan adanya cahaya. Kata terik biasanya menjadi signified  bagi amarah, masalah, atau hal yang mengganggu seseorang. Lalu bagaimana dengan kata redup? Jalan menuju kesejukan yang berawal dari kata terik malah terpotong sebab hadirnya kata redup.

Pada puisi yang akan dibahas selanjutnya, penulis masih betah bermain dengan kata yang bikin cekcok dalam sebuah puisi. Itu bisa ditemukan pada puisi yang berujudul Jalan Pulang Ke Perantauan pada larik berikut.

Menuju jalan ke perantauan,

Aku dijemput

Ramahnya angin terik

Menyembilu

Kata ramahnya dan kata angin hampir serasi, tetapi kehadiran kata terik dan menyembilu yang membuatnya gagal mesra. Kata sembilu yang biasa digunakan untuk menunjukkan suasana yang jauh dari kata bahagia. Apakah memang sejak awal diasosikan sebagai masalah berdarah dingin yang mengganggu seperti seorang psikopat? Atau hanya sekadar gambaran latar dalam puisi?

Dikecup panas knalpot

Sembir membius

Penggalan puisi tersebut terkesan keren, tetapi ada yang bikin janggal. KENAPA HARUS PANAS DARI KNALPOT?

Puisi yang satu ini, Kepada Mura menawarkan realitas lain dan terasa lebih menarik. Penulis menunjukkan sisi interindividualnya, mengajak para pembaca untuk merenungi nasib Mura yang merupakan representasi dari seorang perempuan. Selain terdapat pandangan sosial dan budaya, pada puisi porsi kata terik cukup serasi.

Pada bait ini.

Puan, roman wajahmu alum

Menyapu biru dari terik

Di sekelibat kesanggupanmu

Menyandang makna Ibu

Muncul akar dari segala permasalahan yang dialami oleh subjek dalam puisi, yaitu seorang perempuan. Ini pantas kita renungkan. Kecapakan menjadi seorang ibu yang hanya sekelebat (sepintas) bisa menimpulkan mala petaka. Biasanya faktor penyebab itu bisa terjadi karena pernikahan yang terpaksa. Sebagai pembaca, saya digiring pada garis interseksional bahwa puisi ini tertuju pada seorang perempuan yang harus menghadapi pengalaman pahit, larut dalam pusaran patriarki.

Pada puisi ini penulis sengaja membangun ruang kosong, sehingga para pembaca akan menerka apa penyebab dari pengingkaran yang dilakukan tokoh bapak. Apakah ia mendua? Atau melakukan kekerasan?

Kita sama-sama bisa membayangkan begitu beratnya masalah yang diderita, terbukti pada larik berikut.

Di sela keriput wajahmu yang semakin bergelombang

Berpacu lebih cepat dari usia

Setelah membaca puisi-puisi Annisa, jadi terpikir sebuah pertanyaan “Apakah penulis pun perlu menentukan batasan dari dalam pemaknaan?” atau “Tugas penulis hanya membolak-balik diksi?”

Terlepas dari itu semua, Annisa bisa dianggap sebagai penulis yang emosial. Tak segan dalam menebarkan perasaannya. Masih banyak yang mesti diungkap dari ingar bingar ini. Mudah-mudahan puisi-puisi Annisa tidak berhenti untuk mengungkapkannya.

Indra Rahayu Permana