Ilmuwan atau Politikus: Siapa yang Lebih Berwenang dalam Keputusan Publik?

18/11/2024

 

Bagaimana perasaan kita ketika keputusan penting yang berdampak luas diambil oleh politisi, meskipun bertentangan dengan rekomendasi ilmiah? Hal ini menjadi kenyataan dalam banyak situasi di mana politisi harus memilih antara mengikuti sains atau mempertimbangkan kepentingan politik dan sosial. 

Ketegangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang sebenarnya lebih berwenang dalam pengambilan keputusan publik: ilmuwan yang berbasis data, atau politisi yang dipercaya oleh masyarakat?

Tujuan saya di sini adalah untuk mencoba mengeksplorasi peran dan otoritas ilmuwan dan politisi dalam kebijakan publik serta membahas apakah kedua belah pihak dapat bersinergi, atau justru sering berada di jalan yang bertolak belakang. 

Dengan memahami peran dan batasan keduanya, kita bisa lebih menghargai kompleksitas dalam pengambilan keputusan publik.


Otoritas Ilmuwan dalam Keputusan Publik

Ilmuwan memiliki peran penting dalam memberikan panduan berbasis data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan yang efektif. Mereka bekerja berdasarkan penelitian, data empiris, dan analisis yang cermat untuk memberikan rekomendasi yang dianggap objektif dan bebas dari bias politik. 

Sebagai contoh, dalam isu perubahan iklim, ilmuwan telah berulang kali memperingatkan pentingnya mengurangi emisi karbon untuk menghindari bencana lingkungan. Dalam konteks ini, ilmuwan memiliki otoritas moral untuk menyuarakan peringatan yang harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan.

Namun, otoritas ilmuwan sering kali terbatas pada level rekomendasi dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengeksekusi keputusan. Filosof Karl Popper, dalam gagasannya tentang falsifiability, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak menghasilkan kebenaran mutlak tetapi lebih kepada teori-teori yang dapat diuji dan mungkin dipatahkan. 

Popper menekankan bahwa sains bersifat dinamis dan terbuka terhadap penafsiran ulang seiring berkembangnya waktu. Dalam konteks kebijakan publik, konsep ini penting karena menunjukkan bahwa meskipun ilmuwan memiliki pandangan objektif, ilmu pengetahuan itu sendiri bersifat progresif dan dapat berubah.

Selain itu, ilmuwan sering kali terfokus pada aspek teknis dan mungkin kurang mempertimbangkan dampak sosial atau politik dari kebijakan yang diusulkan. Dalam beberapa kasus, kebijakan berbasis sains dapat dianggap terlalu idealis atau tidak realistis dalam konteks masyarakat yang beragam. 

Misalnya, rekomendasi ilmuwan untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor demi menurunkan emisi karbon mungkin sulit diterima oleh masyarakat yang masih sangat bergantung pada transportasi pribadi.


Peran dan Kekuasaan Politikus dalam Mengambil Kebijakan

Di sisi lain, politisi memiliki mandat dari masyarakat untuk membuat keputusan yang mencakup berbagai aspek, termasuk kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya. Politikus bertugas mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan sering kali harus mempertimbangkan berbagai kepentingan yang mungkin tidak selalu sejalan dengan rekomendasi ilmiah.

Mandat ini memberi mereka otoritas untuk menetapkan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan banyak orang.

Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan, mengemukakan bahwa masyarakat memerlukan otoritas politik untuk mencegah kekacauan dan memastikan keteraturan. Menurut Hobbes, masyarakat cenderung menyerahkan sebagian kebebasannya kepada pemimpin politik yang bertugas menjaga stabilitas. 

Dalam konteks ini, politisi memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan yang tidak hanya didasarkan pada data ilmiah tetapi juga memperhatikan dampak sosial yang lebih luas.

Politikus sering dihadapkan pada dilema untuk memilih antara kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Sebagai contoh, dalam menangani pandemi COVID-19, banyak politisi harus memilih antara mengikuti saran ilmuwan untuk menerapkan lockdown ketat atau mempertimbangkan dampak ekonomi yang mungkin terjadi.

Meskipun ilmuwan merekomendasikan lockdown demi kesehatan masyarakat, politisi mungkin merasa perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor ekonomi yang rentan.

Politikus juga harus memperhitungkan opini publik, terutama dalam sistem demokrasi di mana mereka dipilih oleh rakyat. Dalam hal ini, keputusan yang mereka ambil mungkin tidak sepenuhnya didasarkan pada sains tetapi lebih pada apa yang dianggap menguntungkan atau dapat diterima oleh konstituen mereka. 

Hal ini memperlihatkan bahwa otoritas politisi lebih fleksibel tetapi juga lebih rentan terhadap pengaruh eksternal yang tidak selalu ilmiah.


Kasus-Kasus Kontemporer: Ketika Sains dan Politik Berkonflik

Seiring berkembangnya isu global, kita menyaksikan berbagai kasus di mana pandangan ilmiah dan keputusan politik bertentangan. Salah satu contoh paling jelas adalah perubahan iklim. 

Ilmuwan di seluruh dunia sepakat bahwa tindakan drastis diperlukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim, termasuk pengurangan emisi karbon. Namun, beberapa politisi, terutama yang berasal dari negara industri besar, cenderung mengabaikan atau meminimalkan rekomendasi tersebut karena kekhawatiran terhadap dampak ekonomi.

Di Amerika Serikat, kebijakan terkait lingkungan sering kali berubah-ubah tergantung pada pemerintahan yang berkuasa. Misalnya, pada periode tertentu, pemerintah mungkin berfokus pada pengembangan energi terbarukan, sementara di periode lain fokus bergeser kembali pada eksploitasi bahan bakar fosil. 

Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa keputusan politik sering kali bergantung pada agenda ekonomi dan politik yang lebih besar, meskipun berlawanan dengan konsensus ilmiah.

Pandemi COVID-19 juga memberikan gambaran nyata tentang konflik antara sains dan politik. Di beberapa negara, rekomendasi ilmuwan untuk mengunci wilayah atau membatasi mobilitas diterima dengan baik oleh pemerintah, sementara di negara lain keputusan politik lebih condong pada pertimbangan ekonomi. 

Hasilnya, pendekatan yang berbeda-beda ini menghasilkan dampak yang bervariasi pada masyarakat dan tingkat penyebaran penyakit.


Tantangan Etis: Siapa yang Harus Diutamakan dalam Kondisi Darurat?

Dalam kondisi darurat, seperti pandemi atau bencana alam, sering muncul pertanyaan tentang siapa yang seharusnya lebih diutamakan: ilmuwan atau politisi? 
Ilmuwan mungkin lebih fokus pada solusi teknis dan berbasis data untuk mengatasi masalah, sementara politisi mungkin lebih mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi.

John Stuart Mill, seorang filsuf moral, dalam teorinya tentang utilitarianism menyatakan bahwa kebijakan publik seharusnya berorientasi pada kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Namun, siapa yang lebih tepat dalam menafsirkan prinsip ini?

Misalnya, dalam situasi pandemi, ilmuwan mungkin merekomendasikan langkah-langkah ketat seperti lockdown, yang dapat menurunkan penyebaran virus. Namun, politisi perlu mempertimbangkan efek sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut, seperti dampak pada pekerjaan, kesehatan mental, dan sektor bisnis.

Tantangan ini menimbulkan dilema etis tentang siapa yang harus lebih diutamakan dalam kondisi darurat. Apakah keputusan harus diambil berdasarkan data ilmiah semata atau harus mempertimbangkan dampak sosial secara keseluruhan? 

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk menemukan cara yang tepat untuk menyelaraskan peran ilmuwan dan politisi dalam pengambilan keputusan.


Kesimpulan

Dalam pengambilan keputusan publik, baik ilmuwan maupun politisi memiliki peran yang penting tetapi juga memiliki keterbatasan. Ilmuwan memberikan data, analisis, dan prediksi yang berbasis pada penelitian empiris, yang penting sebagai landasan dalam pembuatan kebijakan. 

Namun, ilmuwan juga memiliki keterbatasan dalam mempertimbangkan dinamika sosial-politik yang kompleks. Di sisi lain, politisi memiliki kekuasaan untuk menetapkan kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat, meskipun kebijakan tersebut mungkin tidak sepenuhnya berbasis pada rekomendasi ilmiah.

Kedua pihak perlu bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan yang baik dalam pembuatan kebijakan publik, terutama dalam isu-isu yang kompleks dan berdampak luas seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan keamanan nasional. 

Pertanyaan reflektif yang dapat diajukan adalah, siapa yang kita percayai dalam pengambilan keputusan publik, dan bagaimana kita sebagai masyarakat dapat berperan dalam menyeimbangkan kekuasaan antara ilmuwan dan politisi? 

Kesadaran tersebut, penting agar kita dapat memahami bahwa pengambilan keputusan publik adalah proses yang multidimensional dan tidak selalu mudah untuk menentukan mana yang lebih berwenang.

 

Referensi
•    Hobbes, Thomas. Leviathan. New York: Oxford University Press, 2019.
•    Mill, John Stuart. Utilitarianism. New York: Cambridge University Press, 2018.
•    Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. New York: Routledge, 2021.

 

Fadhel Fikri. Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu