Interseksionalitas: Kompleksitas Penindasan Kelas, Gender, dan Agama

25/02/2025

 

Sering kita dengar orang membicarakan ketidakadilan itu fokusnya jika tidak di kelas, di gender, atau di agama. Coba pikir, jika ada perempuan miskin dari agama minoritas, apa masalahnya bisa kita mengerti hanya melihat dari kemiskinannya saja, perempuannya saja, atau agamanya saja? Tentu tidak bisa. Hidup tidak sesederhana itu. Jika kita hanya membahas satu hal, ibarat kita hanya mengintip dari satu jendela; kita tidak dapat melihat semuanya.

Interseksionalitas memberi tahu kita bahwa identitas sosial seperti kelas, gender, dan agama itu saling berhubungan, tidak dapat dipisahkan. Itu semua yang membuat pengalaman setiap orang unik. Perempuan Muslim yang pekerjaannya biasa saja, pasti berbeda pengalamannya dengan laki-laki Muslim yang kaya. Berbeda juga dengan perempuan Kristen yang sama-sama bekerja keras. Perbedaan seperti ini yang penting untuk kita pahami.

Artikel ini bukan untuk mengotak-ngotakkan pengalaman manusia. Justru, membuka diskusi soal penindasan. Dengan paham interaksi identitas sosial, kita bisa merumuskan strategi perlawanan efektif. Tak bisa lagi bicara "perjuangan kelas" tanpa memikirkan gender dan agama. Semua terkait.

Tujuan artikel ini menjelaskan interseksionalitas sebagai alat analisis penindasan ganda. Kita akan lihat bagaimana kelas, gender, dan agama jadi sumber penindasan, baik sendiri atau bersamaan.

Lebih jauh, artikel ini membahas bagaimana tertindas menemukan kekuatan dan melawan. Agama punya dua sisi; bisa jadi penindasan, tapi juga kekuatan. Pemahaman ini modal awal untuk perubahan sosial.


Landasan Teori: Interseksionalitas sebagai Kerangka Analisis

Interseksionalitas, singkatnya, itu konsep yang dikenalkan Kimberlé Crenshaw, seorang akademisi hukum. Di tulisannya tahun 1989, Crenshaw mengkritik wacana hukum dan gerakan sosial yang sering melewatkan pengalaman perempuan kulit hitam. Mereka ini, bukan, kena diskriminasi ganda, karena ras dan gender. Crenshaw pakai istilah "interseksionalitas" untuk menunjukkan bagaimana penindasan itu saling terhubung, membuat pengalaman yang berbeda sekali.

Konsep ini kemudian dipakai di banyak bidang ilmu, seperti sosiologi, studi gender, dan studi agama. Patricia Hill Collins, di bukunya tahun 1990, menambahkan dimensi kelas dan seksualitas. Jadi, pengalaman perempuan kulit hitam itu tidak cuma soal ras dan gender, tapi juga kelas sosial dan orientasi seksual. Interseksionalitas jadi makin kompleks dan lengkap saja.

Saya melihat, pendekatan interseksionalitas ini keren sekali buat menjelaskan rumitnya penindasan. Tidak menyederhanakan masalah, tapi justru melihat kerumitannya. Pendekatan ini juga menantang kita buat kritis sama pikiran kita sendiri, dan terbuka sama pengalaman orang lain. 

Jadi, interseksionalitas ini alat yang berguna sekali buat paham bagaimana kekuasaan itu bekerja, dan bagaimana kita bisa melawan ketidakadilan. Konsep ini penting untuk memahami penindasan ganda dalam konteks kelas, gender, dan agama.


Kelas sebagai Lensa: Ketimpangan Ekonomi dan Akses Sumber Daya

Kelas sosial, kalau kita pakai kacamata Marx, itu soal posisi seseorang dalam ekonomi. Posisinya ditentukan, apakah dia punya alat produksi atau cuma punya tenaga untuk dijual. Yang punya alat produksi itu borjuis, yang hanya punya tenaga ya proletar. Ketimpangan kelas ini, kata Marx, sumber masalah di masyarakat kapitalis. Tapi, analisis kelas tidak cuma berhenti sampai di situ. Ketimpangan ekonomi itu juga terlihat dari tidak samanya akses ke sumber daya, seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya.


Misalnya, orang yang lahir dari keluarga kelas pekerja, mungkin sulit mendapatkan pendidikan bagus. Bukan cuma soal biaya, tapi juga lingkungan, kurang informasi, dan diskriminasi. Akhirnya, peluang mendapatkan pekerjaan layak dan hidup lebih baik jadi sulit. Kemiskinan ini seperti lingkaran setan. Jadi, kelas itu bukan cuma soal punya atau tidak, tapi juga soal akses.

Ketimpangan kelas ini juga sering berhubungan dengan penindasan lain, seperti gender dan agama. Perempuan kelas pekerja, misalnya, bisa terkena diskriminasi ganda. Sulit mencari pekerjaan, upah rendah, dan pekerjaan rumah yang berat. Kelompok agama minoritas kelas pekerja juga sama.

Menurut saya, memperkenalkan kelas itu penting sekali untuk mengupas masalah ketidakadilan. Ketimpangan ekonomi itu bukan hanya masalah satu dua orang, tapi sudah masalah sistemik. Kita tidak bisa hanya memberi bantuan saja, tapi harus mengubah sistem yang sudah tidak adil itu. Jadi, analisis kelas itu langkah awal untuk membuat perubahan sosial yang lebih baik dan bukan hanya sementara. Masalahnya besar, ya solusinya juga harus besar, setuju kan?


Gender sebagai Fokus: Patriarki dan Diskriminasi dalam Konteks Agama

Gender, sebagai konstruksi sosial, sering digunakan untuk membenarkan ketidakadilan terhadap perempuan. Sistem patriarki, yang menjadikan laki-laki sebagai pemimpin di mana-mana, sudah mengakar kuat di banyak budaya dan agama. Dalam agama, patriarki sering muncul dalam tafsir kitab suci yang berat sebelah, perempuan dibatasi dalam ibadah, dan dinomorduakan di struktur agama.

Tetapi, agama itu tidak selalu menjadi sumber penindasan perempuan. Banyak perempuan yang justru mendapatkan kekuatan dari agama untuk melawan ketidakadilan. Feminisme Islam, contohnya, itu perempuan Muslim menggunakan ajaran agama untuk melawan patriarki dan memperjuangkan kesetaraan. Mereka menafsir ulang kitab suci, membuat teologi feminis, dan membentuk gerakan sosial.


Agama sebagai Dimensi: Identitas, Spiritualitas, dan Resistensi

Bagi banyak orang, agama itu bukan hanya soal aturan atau ajaran, tetapi juga soal identitas, spiritualitas, bahkan perlawanan. Identitas agama ini bisa memberikan rasa memiliki tempat, memiliki arti dalam hidup, dan menjadi pegangan moral. 

Sedangkan, kalau spiritualitas itu lebih ke pengalaman pribadi tentang hubungan dengan Yang Maha Kuasa, dan bisa sekali menjadi sumber kekuatan dan inspirasi untuk menghadapi masalah hidup. Agama juga bisa digunakan untuk melawan ketidakadilan.

Sejarah mencatat banyak contoh agama jadi kekuatan dalam gerakan sosial. Di Amerika Latin, teologi pembebasan membuat orang semangat melawan diktator dan kemiskinan. Di Afrika Selatan, gerakan anti-apartheid didukung tokoh agama. Di Indonesia, tokoh agama ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Ini menunjukkan agama bisa menggerakkan orang banyak, menyuarakan keadilan, dan melawan yang tidak beres.

Menurut saya, agama itu rumit dan punya banyak sisi. Tidak bisa dikatakan bagus atau jelek saja. Agama bisa jadi baik atau buruk itu tergantung bagaimana orang memahami, menjalankan, dan memasukkannya dalam lembaga. Makanya, dialog antar agama, pendidikan agama yang kritis, dan spiritualitas yang tidak pilih-pilih itu penting, agar agama jadi baik dan tidak dipakai untuk yang buruk-buruk. Kita perlu terus berpikir dan negosiasi soal arti agama dalam hidup.


Interseksi yang Kompleks: Memahami Pengalaman yang Unik

Interseksionalitas, intinya, mengajarkan kita kalau penindasan itu tidak bisa dipisah-pisah. Pengalaman orang yang terkena penindasan ganda atau lebih itu tidak bisa dijumlahkan begitu saja. Tapi, gabungan dari banyak identitas sosial itu membuat pengalaman yang unik dan berbeda.

Saya berpikir, paham soal rumitnya gabungan ini penting sekali kalau mau membuat solusi yang ampuh. Kalau cuma fokus ke satu jenis penindasan, misalnya kesetaraan gender, mungkin tidak sesuai buat perempuan yang kena penindasan bermacam-macam. Solusinya harus lengkap, lihat kondisi sekitar, dan benar-benar memikirkan kebutuhan orang atau kelompok itu. Jadi tidak asal pukul rata.


Implikasi dan Relevansi: Mendorong Perubahan Sosial

Paham soal interseksionalitas itu penting dan berpengaruh ke banyak hal, apalagi kalau mau membuat perubahan sosial. Di bidang hukum, misalnya, bisa bantu membuat aturan dan undang-undang yang lebih adil buat kelompok yang suka disisihkan. 

Undang-undang anti-diskriminasi, contohnya, harus memikirkan bagaimana diskriminasi itu beragam dan membuat pengalaman orang berbeda-beda. Kebijakan yang membantu kelompok tertentu juga harus menggunakan cara pikir interseksionalitas, agar tidak cuma menguntungkan satu kelompok saja.

Menurut saya, interseksionalitas itu bukan cuma teori di atas kertas, tapi juga alat sebenarnya buat perubahan sosial. Dengan paham bagaimana penindasan itu berhubungan, kita bisa membuat cara yang lebih efektif. 


Menuju Pemahaman yang Lebih Holistik

Setelah membaca ini itu, kita jadi mengerti kalau interseksionalitas itu menunjukkan bagaimana penindasan itu menumpuk-numpuk dan tidak gampang. Dengan paham hubungan antara kelas, gender, dan agama, kita sadar kalau pengalaman tiap orang itu unik. Tidak bisa cuma dimasukkan ke satu kategori saja.

Interseksionalitas itu bukan hanya soal kenal perbedaan, tapi juga soal cari solusi dan cara melawan yang benar-benar menyentuh masalah dasarnya. Pemahaman ini mengajak kita buat lebih open minded, memikirkan lebih dalam, dan membuat pendekatan yang lebih menyeluruh buat mengatasi masalah ketidakadilan.

Hal di atas sebagai langkah awal yang penting buat membangun perubahan yang lebih adil dan awet. Jadi, Kita bisa membuat kebijakan, gerakan, dan diskusi yang tujuannya tidak cuma buat atasi masalah sementara, tapi juga menciptakan kehidupan yang lebih baik buat semua.


Referensi
• Collins, P. H. (2008). Black feminist thought: Knowledge, consciousness, and the politics of empowerment. London: Routledge.
• Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the intersection of race and sex: A black feminist critique of antidiscrimination doctrine, feminist theory and antiracist politics. University of Chicago Legal Forum, 1989(1), 139–167.
• Marx, K., & Engels, F. (2012). Manifesto Partai Komunis. Yogyakarta: RedBook.

 

Fadhel Fikri, Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu.