Dalam perkembangan sejarah, istilah "patriarki" memiliki makna yang berkembang dari waktu ke waktu. Awalnya, patriarki merujuk pada sistem keluarga yang dipimpin oleh laki-laki, di mana laki-laki dianggap memiliki otoritas dan kekuasaan yang lebih tinggi dalam lingkup keluarga. Namun, dalam perkembangannya, istilah ini lebih sering digunakan untuk merujuk pada dominasi laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, serta sistem yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah atau subordinat.
Dalam perspektif Al-Quran, konsep patriarki dan kesetaraan gender menjadi subjek diskusi yang penting. Al-Quran menawarkan pandangan yang berbeda terkait peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Teks suci ini menegaskan pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, serta menguraikan tanggung jawab keduanya sebagai khalifah di bumi.
Dalam tulisan ini, kami akan menggali konsep kesetaraan gender dari perspektif Al-Quran, serta meninjau kritik terhadap patriarki yang ada dalam teks suci tersebut. Kami juga akan menyelidiki bagaimana pandangan Al-Quran membawa harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis, di mana semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau latar belakang, dihormati dan diperlakukan secara setara. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk merangsang pemikiran kritis dan pemahaman yang lebih dalam terkait konsep-konsep tersebut dalam konteks agama dan masyarakat.
Perspektif Al-Quran tentang Patriarki dan Kesetaraan Gender
Di masa lalu, patriarki berarti sistem keluarga yang dipimpin oleh laki-laki. Artinya laki-laki dianggap mempunyai kekuasaan lebih dalam keluarga, sedangkan perempuan, anak, dan anggota lainnya dikendalikan oleh laki-laki. Saat ini, kata tersebut lebih sering digunakan untuk berbicara tentang dominasi laki-laki, dan sistem yang menempatkan perempuan di bawah kendali laki-laki.
Jadi, patriarki bisa disebut sebagai sistem yang memberi laki-laki lebih banyak peluang untuk mengontrol. Hal ini terjadi hampir di semua bidang. Namun yang penting di sini adalah bagaimana perempuan dianggap kurang penting dalam pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai administrator.
Perempuan harus tahu bahwa mereka sering dianggap kurang penting dalam banyak hal. Salah satu penulisnya mengatakan, perempuan muslim harus tahu bahwa banyak kendala yang bisa menghalangi mereka untuk maju. Gagasan bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Itu sebabnya, dalam Islam, laki-laki dan perempuan dianggap sama pentingnya.
Nasaruddin Umar pun angkat bicara soal gagasan umat. Artinya setiap orang di dunia ini mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang, tidak peduli di mana mereka tinggal atau dari kelompok mana mereka berasal.
Gagasan ini menjadi menarik jika dibandingkan dengan patriarki yang biasanya menganggap perempuan berada di bawah laki-laki. Namun dalam Al-Quran tidak ada diskriminasi seperti itu. Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah setara di mata Allah dalam hal kemanusiaan. Padahal, Alquran dengan jelas mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki sama pentingnya sejak awal penciptaannya. Allah berfirman:
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa 3:1)
Menurut mayoritas penafsir Al-Quran, "nafs wahidah" mengacu pada Adam, sedangkan "zaûj" (pasangan) mengacu pada Hawa, istri pertama Adam. Hawa diyakini oleh sebagian besar ulama diciptakan dari bagian tubuh Adam yaitu tulang rusuknya, sebagaimana disebutkan dengan istilah “minha” (darinya) dalam ayat tersebut. Konsep ini sejalan dengan hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Dalam penuturan Amina Wadud, ayat ini menegaskan bahwa manusia berasal dari satu kesatuan, yaitu kesatuan sepasang laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pasangan ini dalam membentuk manusia. Artinya manusia tidak bisa dilahirkan dari laki-laki atau perempuan saja, melainkan memerlukan keterlibatan keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa proses penciptaan manusia melibatkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, proses terciptanya manusia, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan laki-laki dan perempuan itu sendiri. Manusia tidak bisa dilahirkan hanya dari laki-laki atau perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia melibatkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan.
Selain proses menciptakan laki-laki dan perempuan secara setara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Al-Quran juga mengkritisi patriarki dengan menekankan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam hal bekerja dan bertindak, serta dalam memproduksi sesuatu. Konsep ini menekankan bahwa Allah akan membalas prestasi mereka dengan pahala yang sama, tanpa memandang jenis kelamin.
Artinya setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat pahala sesuai dengan perbuatannya. Allah tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan perbuatan dan niatnya. Allah SWT berfirman;
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl/16:97)
Menurut Ibnu Katsir, Allah menjanjikan kebaikan kepada siapa saja yang berbuat baik, baik laki-laki maupun perempuan. Jika kedua jenis kelamin berbuat baik sesuai ajaran agama, maka Allah akan memberikan pahala yang sama, yaitu hidup bahagia.
Kesempatan Sama dalam Islam
Ayat ini mengatakan bahwa Allah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang ingin bekerja. Menurut Al-Buthi, bekerja merupakan hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga hasil yang diperoleh sepadan dengan usaha yang dilakukannya. Nasaruddin Umar juga berkomentar bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan haknya. pahala dari Allah sesuai dengan seberapa besar usaha yang mereka lakukan.
Jadi, ayat ini menghilangkan sistem yang menjadikan perempuan dianggap inferior dalam patriarki. Dalam sistem patriarki, laki-laki biasanya lebih dominan dalam bekerja. Namun dengan ayat ini, setiap orang diberikan kesempatan yang sama untuk bekerja. Jadi, dalam Islam, tidak ada lagi dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam hal pekerjaan
Tuhan menciptakan pria dan wanita untuk merawat dan memperkaya bumi sebagai pengelolanya. Artinya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang sama untuk menjaga bumi ini sebagai khalifah. Jadi, tugas kita adalah melindungi lingkungan dan menjadikannya tempat tinggal yang lebih baik. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah/1:30)
Musdah Mulia menyampaikan, tugas kita sebagai khalifah di muka bumi adalah membawa kebaikan, kedamaian dan kehormatan bagi dunia ini. Artinya kita harus saling membantu untuk berbuat baik dan menghindari hal-hal buruk. Pria dan wanita bekerja sama untuk membuat hidup lebih baik dan lebih indah.
Nasaruddin Umar juga mengatakan bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai tanggung jawab yang sama sebagai khalifah di muka bumi. Artinya kita semua akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Allah. Semoga ini lebih mudah dipahami.
Oleh karena itu, Alquran mengajarkan bahwa tidak boleh ada lagi sistem yang berpihak pada satu gender atau kelompok tertentu. Semua orang harus dihormati dan diperlakukan secara adil, tanpa diskriminasi atau ketidakadilan. Harapannya dengan prinsip-prinsip tersebut, kita dapat menciptakan masyarakat yang demokratis dan saling menghormati.
kesetaraan Gender dalam Al-Quran
Dari pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa konsep kesetaraan gender dalam perspektif Al-Quran menawarkan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Al-Quran menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan di hadapan Allah, serta mempunyai tanggung jawab yang sama sebagai khalifah di bumi untuk menjaga dan memperkaya alam semesta.
Patriarki, yang dalam sejarahnya telah menjadi sistem yang mendominasi dan menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi, dikritisi oleh Al-Quran melalui penekanan pada kesetaraan kesempatan dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Teks suci ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi dalam pandangan Allah terhadap laki-laki atau perempuan, dan bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki nilai yang sama di mata-Nya.
Dengan menggugat patriarki dan mengedepankan prinsip kesetaraan gender, Al-Quran membawa harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan menghormati satu sama lain. Harapan ini tercermin dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya saling menghormati, bekerja sama, dan membangun lingkungan yang lebih baik bagi semua individu.
Harapan untuk Masyarakat yang Adil
Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang beragam, kita memiliki tanggung jawab untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana setiap individu, tanpa terkecuali, dapat berkembang dan berkontribusi secara maksimal untuk kebaikan bersama.
Daftar Pustaka
Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996.
Buthi, Sa’id Ramadhan Al-. Perempuan: Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam. Solo: Era Intermedia, 2002.
Kasir, Ibnu. Tafsir Ibnu Kasir: Juz 14 Al-Hijr 2 s.d An-Nahl 128. Bandung: Sinar baru algensindo, 2004.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.
Mulia, dkk, Siti Musdah. Keadilan dan Kesetaraan Gender, Perpektif Islam. Cet. II. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003.
Qazan, Shalah. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. Terjemahan Khazin Abu Fakih, 2021.
Sari, Seplia Sartika, dan Yenni Hayati. “Perempuan Dalam Budaya Patriarki: Kajian Karya Sastra Penulis Perempuan Indonesia.” ANTHOR: Education and Learning Journal 2.1 (2023): 117–25. https://doi.org/10.31004/anthor.v2i1.87.
Suryana, Nana. “IRONI PEREMPUAN DI TENGAH ISU SENTIMEN GENDER (TELAAH SOSIOLOGIS NOVEL KONTEMPORER INDONESIA).” Jurnal Sosiohumaniora 3.3 (2001).
Tim Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Juz 1-10. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019.
---. Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Juz 11-20. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019.
Umar, Nasaruddin. Ketika Fikih Membela Perempuan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.
Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan: Membaca kembali Kita Suci dengan Semangat Keadilan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.
BIO SAYA:
Nama Penulis: Martina Mulia Dewi
Atribusi/Deskripsi:
Lifelong Learner, content writer, recipe writer, blogger, and feminist activist. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu
Website:
https://sabdaliterasi.shop
Email:
martinamulia04@gmail.com