Kontradiktif Terjadi Saat Kemerdekaan Indonesia di Catatkan dengan Sebuah Narasi: Proklamasi

17/08/2024

Tadi malam, saya terbangun dan bergerak tipis ke lantai atas—tujuan ruangan kerja di rumah. Jam 2:10. Terlalu banyak ketidaksempurnaan yang terjadi saat ini, yang ternyata mempengaruhi cara berpikir Saya. Harusnya tadi malam, saya buat sebuah rencana untuk sebuah kondisi. Namun, kepala ini rasanya tidak bergerak, meski sudah ditemani si pahit kopi. Apa karena hari ini Indonesia Merdeka? Perasaan seperti ini mungkin yang 79 tahun lalu dirasakan Bung Karno. Naon-Nano!

Diputuskanlah! Lebih baik saya baca buku agar mengantuk. Karena di kepala ini baru saja terlintas nama Bung Karno. Saya ambil buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karyanya Cindy Adams yang terakhir dibaca selesai sekitar 6 tahun lalu. Saya buka kembali bab Proklamasi, dibacalah halaman 263 sampai 268. Menarik. Karena saat baca terakhir kali, saya tidak sampai menitikkan air mata, berbeda dengan saat ini.

Ada cerita lain saat kemerdekaan Indonesia dilahirkan 79 tahun lalu. Ada sudut pandang lain saat proklamasi dilantangkan secara semangat. Aktor utama saat itu hampir tidak sanggup mewakili rakyat, bahkan untuk sekedar memproklamirkan kemerdekaan yang katanya saat ini sedang kita nikmati. Bung Karno saat itu sedang demam tinggi dan tidak berdaya. Ia terserang malaria, pun memang belum tidur sekitar 2 hari. Saat Bung Hatta datang, Bung Karno masih terbaring dan keduanya tidak memiliki kata-kata berarti yang bisa dicatatkan dalam sejarah dan jelas tidak bergairah. Mereka sama-sama letih juga mungkin sedikit ketakutan.

Ternyata proklamasi dilakukan sama sekali tanpa kemegahan. Di atas ketidaksempurnaan. Pernyataan tidak dipahatkan di atas perkamen dari emas. Hanya pada buku bergaris biru, seperti yang dipakai di buku tulis anak sekolah. Tidak juga mencari pena bulu ayam agar sesuai tradisi. Bahkan pena bersejarah tidak tersimpan. Padahal, kata-kata abadi bagi bangsa lahir dari pena tersebut. Bung Karno pun lupa dari mana pena itu datang.

Di hari itu tidak ada terompet yang ditiup. Tidak ada paduan suara merdu dari bidadari. Tidak ada upacara keagamaan yang khusuk. Tidak ada pelayan istana berpakaian indah. Tidak diabadikan oleh wartawan, juru potret, dan pidato-pidato. Tidak ada juga dihadiri oleh orang-orang terkemuka. Tidak ada para wanita cantik berbaju satin dengan perhiasan berlian. Tempatnya juga bukan ruangan penobatan dari istana Ratu Juliana, melainkan sebuah ruangan kecil di rumah seorang Laksamana Jepang. Tidak ada seremonial apa pun, termasuk toast dan gentingan gelas seperti di pesta kelas atas. Sepanjang ingatan Bung Karno, kalau pun ada minuman yang disediakan, itu hanyalah segelas air soda hangat untuk membangkitkan kembali kekuatan orang-orang yang sudah tidak tidur selama berhari-hari.

Kemerdekaan Indonesia tidak lahir di dalam sebuah seremonial yang sakral. Ataupun lahir dalam kondisi yang baik-baik saja. Bisa dikatakan tidak sempat membuat sebuah rangkaian acara yang fantastis. Para pejuang saat itu tidak sempat berpikir melakukan itu. Ada hal lebih besar yang harus dipikirkan dan dikondisikan. Bahkan gairah merdeka pun tidak lahir, euforia itu terjadi setelahnya. Saat Revolusi sudah dimulai!

Terbayang betapa perihnya Bung Karno dan Bung Hatta saat itu. Setengah yakin, di kepala mereka kemerdekaan itu terjadi sangat indah. Minimal seremonialnya sajalah. Namun, nyatanya kontradiktif. Mereka terlalu sibuk dengan kepadatan dan keperihannya itu. Bahkan mungkin tidak sempat terharu. Dan bagi saya, itu adalah titik pengorbanan tertinggi seorang pemenang. Saat semua orang memiliki energi untuk berpesta, tidak dengan beliau yang baru sempat bernafas santai tapi tidak dengan si kopi pahit yang menemani. Hari itu, beliau tidak menikmati kemenangannya. Namun, Indonesia tetap merdeka. Terima Kasih, Bung!

 

Febi Salam, pebisnis.