Melacak Peranan Surau: Sebagai Sentral Pendidikan Pemuda Minangkabau yang Kian Luntur

26/08/2024

 

Asal muasal kata surau berawal dari istilah Melayu-Indonesia yang kemudian tersebar luas hingga ke Asia Tenggara. Sebutan surau sendiri berasal dari Sumatera Barat, (Minangkabau. Pada umumnya arti surau sering kali disamakan dengan musholla atau langgar di Jawa yang digunakan sebagai tempat salat, itikaf, dan zikir. Padahal pada mulanya istilah surau ini merupakan warisan dari agama Hindu-Budha. Pada masa silam surau awalnya digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang. Surau biasanya terletak di puncak atau daratan yang tinggi sebagai kontemplasi (asketis) masyarakat yang beribadah kepada Yang Maha Agung.

Menurut sejarah Minangkabau, surau pertama kali dibangun pada tahun 1356 M di daerah bukit Gombak oleh Raja Adityawarman. Pada masa ini memang agama Hindu-Budha sedang berada dalam puncak keemasan. Eksistensi dan fungsi surau digunakan sebagai tempat ritual bagi penganut agama Hindu-Budha. Barulah pada saat keberadaan Hindu-Budha mulai surut dan Islam datang menggantikan, terjadi akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Usai dari proses islamisasi tersebut, surau pun akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak saat itu surau tidak lagi dipandang sebagai hal yang mistis ataupun sakral. Surau menjadi tempat yang digunakan dalam berbagai aktivitas sosial dan pendidikan Islam.

Sebagaimana dijelaskan oleh A.A. Navis, surau adalah tempat di mana anak laki-laki yang sudah akil baligh berkumpul untuk tidur di malam hari dan belajar berbagai keterampilan dan pengetahuan. Fungsi ini tetap sama setelah kedatangan Islam, tetapi berkembang menjadi tempat ibadah dan menyebarkan ilmu Islam. Menurut cendekiawan Islam Azyumardi Azra, surau di Minangkabau memiliki posisi yang mirip dengan pesantren di Jawa. Namun, setelah kemerdekaan, keberadaan surau di Minangkabau berangsur-angsur berkurang karena lembaga pendidikan Islam di Indonesia harus tunduk pada undang-undang pemerintah.

Pada perjalanannya surau memiliki tempat penting di hati masyarakat Minangkabau. Surau secara tidak langsung berfungsi sebagai tempat di mana kaum remaja laki-laki dan dewasa berkumpul untuk berbagai aktivitas sosial dan keagamaan. Adat istiadat Minangkabau meyakini bahwa kaum laki-laki tidak memiliki kamar tidur di rumah ibu mereka. Oleh sebab itu, mereka menghabiskan malam di surau. Seorang anak laki-laki yang tidur di rumah ibunya akan dianggap memalukan. Ia akan diejek oleh teman-temannya jika tetap tidur di rumah orang tuanya, terutama jika ada perempuan dewasa yang belum menikah atau saudara perempuannya yang telah menikah. Karena hal tersebutlah, anak laki-laki akan tetap tinggal di surau sampai menikah, meskipun ia pulang ke rumah ibunya untuk makan. Apabila suatu saat telah menikah, anak laki-laki di Minangkabau hanya menjadi tamu "yang berkunjung" di rumah istrinya, bahkan juga di rumah asalnya. Pada usia tua pun, jika istri telah meninggal atau cerai, maka ia harus kembali lagi ke surau.

Menilik arti surau secara harfiah, surau merupakan sebuah masjid kecil, yang pada umumnya terbuat dari kayu, tempat di mana orang-orang bersembahyang setiap hari. Sebab mesjid besar hanya dipakai sekali dalam seminggu, yaitu pada hari Jumat. Surau biasanya merupakan kepunyaan guru agama yang mengajar di daerah setempat. Di surau inilah tempat kanak-kanak maupun orang dewasa belajar Al-Quran, fikih, dan ilmu agama lainnya. Karena kehidupan kaum laki-laki Minangkabau di dunia ibu (hidup di rumah gadang) hanyalah dari awal lahir
 
sampai balig, maka setelah balig kaum laki-laki diharuskan berpindah tempat tidur di surau. Jika mendapati pemuda Minang yang telah balig, namun masih tidur di rumah orang tuanya, maka konsekuensinya pemuda tersebut akan menjadi bahan tertawaan dan olok-olokan teman sebayanya.

Biasanya anak-anak kecil yang belum balig (dua belas tahun ke bawah) selepas selesai mengaji akan pulang ke rumah orang tuanya. Sementara bagi anak laki-laki yang berumur dua belas sampai dua puluh tahun akan tinggal di surau dan tidur di sana. Hal ini dikarenakan, akan terasa janggal apabila anak-anak muda tidur di rumah orang tuanya. Terlebih mereka akan malu dengan ipar-ipar yang datang ke rumahnya setiap malam. Lazimnya pemuda Minang yang telah berumur dua puluh tahunan akan merantau ke luar kampung kelahiran. Sementara itu, apabila masih menetap di kampung dan telah menikah, lazimnya mereka tidur di rumah istri.

Masing-masing dari pemuda yang akan tidur di surau biasanya akan membawa tikar, bantal, dan selimut sebagai perlengkapan tidur. Selain itu, surau juga memiliki fungsi lain sebagai tempat perlindungan bagi para pengembara, pedagang, dan sebagainya yang kebetulan singgah melewati kampung. Dari sanalah para pemuda Minang mendapat kesempatan untuk mendengarkan cerita-cerita kehidupan luar atau daerah rantau. Surau juga menjadi tempat pelestarian budaya. Selain silek (silat), adat istiadat Minangkabau yang diajarkan di surau adalah randai, petatah-petitih Minangkabau, serta petuah-petuah untuk hidup di rantau. Dalam mewujudkan masyarakat nan sakato, atau masyarakat yang sekata, sependapat dan semufakat, surau pun kerap kali jadi tempat penting dalam memusyawarahkan supremasi pengembangan suku, kaum, dan nagari. Oleh sebab itu, peran surau sangatlah sentral.

Poin utama peranan surau dalam masyarakat Minangkabau adalah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Hal ini pertama kali dilakukan saat kedatangan Syekh Burhanudin pada abad ke-17. Kedatangan Syekh Burhanudin dengan mendirikan surau di Ulakan Pariaman menjadi asal muasal terbentuknya karakter tradisional Islam di hampir daerah penyebarannya. Hal ini dikarenakan tarekat Syattariyah yang diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin mampu mengakomodasi tradisi lokal. Aspek-aspek tasauf dalam ajaran ini familiar sehingga penerimaan Islam lebih mudah sebab adanya kesamaan dengan ajaran Hindu/Budha yang telah ada sebelumnya.

Selain itu, sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Syekh Burhanudin sangatlah sederhana, yaitu dengan metode halaqah dan sorogan. Halaqah adalah cara belajar mengajar di mana murid akan duduk bersila mendengar ceramah dan penjelasan guru/kyainya. Guru/kyai akan menuturkan materi dengan dikelilingi murid. Hingga saat ini, metode halaqah ini masih sering dipakai di sebuah majelis maupun pesantren. Sedangkan metode sorogan, adalah metode belajar mengajar di mana guru/kyai mendengarkan laporan bacaan murid tentang materi yang telah ditugaskan sebelumnya. Metode individual ini nantinya akan membentuk otoritas absolut terhadap pemahaman dan penguasaan teks-teks yang tersedia dengan cara hafalan atau dengan penerapan materi yang sebelumnya diberikan.

Mengutip Steenbrink dari tulisan Snouck Hurgronje “Pengajian Al-Quran ini diberikan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau surau. Mereka membaca dan melagukannya selama seperempat atau setengah jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kajian kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang tercampur aduk menjadi satu. Tetapi
 
karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak tergantung suara murid yang lain.”

Terdapat dua tingkat jenjang pendidikan di surau, yaitu jenjang pelajaran Al-Quran tingkat rendah, yang mempelajari huruf hijaiah, juz ‘amma (surat ke 78- surat ke 114), dan melaksanakan ibadah. Sementara jenjang kedua adalah pengkajian kitab (tingkat atas), di sini murid yang dirasa telah mampu menguasai baca tulis Al-Quran, akan melanjutkan materi mengkaji kitab. Materi mengkaji kitab yaitu para murid mempelajari huruf-huruf arab dan menghafalkan teks-teks yang ada di dalam Al-Quran. Selain itu, murid juga diajarkan tentang peraturan dan tata tertib salat, wudu, dan beberapa doa.

Adapun surau mulai menerapkan sistem kelas untuk pertama kalinya di Sumatera Thawalib Padang Panjang, yang saat itu di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amarullah pada tahun 1921. Keputusan ini diambil karena para ulama menyadari bahwa sistem pendidikan surau tidak sesuai dengan kondisi Indonesia dan jumlah murid yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Dalam proses belajar-mengajar pendidikan di surau menggunakan sumber literatur keagamaan yang dijadikan acuan pembelajaran, yaitu Al-Quran dan Al-sunnah. Keduanya dikaji karena dianggap sebagai literatur yang autentik, penuh nilai-nilai tinggi, dan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang tak pernah sepi dipelajari.

Martabat dan sikap beragama masyarakat Minangkabau ialah bercikal bakal dari keberhasilan pendidikan anak laki-laki di surau. Keberhasilan tersebut ditandai dengan taat beribadah, pandai mengaji, berakhlak mulia, menguasai bela diri (silat), pandai petatah-petitih adat, menguasai kesenian anak nagari, serta mampu menjalankan tata krama adat. Kehidupan surau ini benar-benar menggambarkan falsafah Minangkabau, yaitu Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai.

Namun, di era sekarang tampaknya peranan surau sebagai lembaga pendidikan tidak lagi relevan. Terdapat dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dikarenakan menyusutnya minat masyarakat terhadap institusi surau. Penyebabnya ialah kurangnya dan tidak efektifnya perangkat-perangkat pendukung terselenggaranya proses pendidikan di surau. Pada masa sekarang surau hanya menjadi tempat mengaji dan belajar membaca Al-Quran, tanpa ada pembelajaran soal adat istiadat. Adapun guru-guru yang mengajar di surau saat ini kebanyakan hanya bisa mengajar ilmu agama saja dan belum mampu mengajarkan adat istiadat dan budaya seperti guru-guru di masa lampau. Kelangkaan terhadap guru-guru ini juga bukan tanpa sebab, hal ini dilatarbelakangi oleh tidak ada kebijaksanaan pembiayaan guru-guru yang mengajar di surau oleh masyarakat dan pemerintah. Serta tidak adanya calon penerus yang akan menjadi guru di surau. Sementara itu, apabila dilihat dari faktor eksternal disebabkan pengaruh dunia luar yang cenderung berubah. Masyarakat modern akan bertindak dan berpikir secara rasional yang tentunya memberikan pengaruh terhadap pandangan masyarakat lainnya bahwasanya institusi surau berperan sebagai lembaga pendidikan sudahlah kuno.

Seiring berkembangnya zaman, dengan menjamurnya lembaga pendidikan yang disertai fasilitas lengkap dan mewah. Generasi muda tidak mengenal lagi yang dinamakan dengan berkumpul dan tidur bersama di surau, apalagi untuk belajar agama dan budaya. Lunturnya tradisi ini berimbas pada proses transformasi budaya. Terlebih lagi jenjang pendidikan yang ada hanya mementingkan pelajaran umum dan cenderung melupakan pengetahuan budaya dan
 
tradisi lokal. Kalaupun ada, kurikulum muatan lokal, yaitu Budaya Alam Minangkabau (BAM) hanya menekankan aspek kognitif, amat berbeda dengan pendidikan di surau pada masa silam.

Namun, belakangan merujuk pada Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2000, pemerintah menggalakkan program baliak ka nagari sebagai wujud pelestarian tradisi Minangkabau. Salah satunya ialah dengan mengembalikan peranan surau sebagai tempat berproses dalam pembentukan mental, karakter, dan pengetahuan generasi muda. Pengembalian alih peranan surau ini didasarkan agar masyarakat Minangkabau terhindar dari kebodohan dan keterbelakangan moral, sebab pendidikan di surau amatlah mendidik dan bermanfaat.

Dibutuhkan keterlibatan semua pihak, baik unsur para pemuka adat, para ulama, bahkan akademis guna mengembalikan peranan surau yang semula hanyalah tempat melaksanakan ibadah menjadi institut pendidikan karakter dan pengembangan pemuda Minangkabau. Karena menelisik masa sekarang, tidak hanya terjadi krisis terhadap tokoh asli Minangkabau, akan tetapi juga karakter asli orang Minangkabau sulit untuk ditemui. Sehingga sukar lagi menjumpai cadiak pandai (cerdik pandai) yang pandai basilek lidah (bersilat lidah) demi kepentingan dan kemaslahatan bersama. Oleh sebab itu, sangat diperlukan perhatian khusus terhadap pengembalian pendidikan surau tersebut. Generasi muda sudah sepatutnya tidak melupakan karakter dan kepribadian asli orang Minangkabau, karena dengan karakter dan kepribadian itulah mereka akan memperjuangkan segala sesuatu yang benar dan menentang segala hal yang salah.


Salwa Ratri Wahyuni, lahir di sebuah kota kecil di Riau, pada pertengahan tahun 2005, merupakan mahasiswa aktif program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Instagram @waa.tashi