Dalam adat perkawinan di Pariaman, adat yang berlaku adalah pihak wanita yang melamar, menjemput, dan membayar pihak pria saat hendak menikah, hal yang demikian dikenal dengan istilah perkawinan bajapuik. Tradisi bajapuik dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi pihak perempuan dengan memberikan sejumlah uang atau benda yang bernilai kepada pihak laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan (Welhendri, 2001:52). Persyaratan uang dalam perkawinan bajapuik tersebut terdiri atas: uang japuik, uang hilang, uang tungkatan, uang selo, mas kawin atau mahar dan uang parigiah jalang.
Dalam tradisi bajapuik Pariaman, tentu saja pasangan yang akan melangsungkan pernikahan lebih dahulu melalui beberapa alur, mulai dari perkenalan dengan calon mempelai, prosesi upacara perkawinan, hingga setelah perkawinan selesai dilaksanakan. Adapun prosesi-prosesi yang harus dilalui mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan ini dibedakan menjadi dua, yakni sebelum hari H perkawinan dan pada saat hari H perkawinan.
Ada pun prosesi sebelum hari H perkawinan:
1. Maratok tanggo / marambah jalan
Tahap ini merupakan tahap awal di mana sang mempelai wanita mengenal suaminya. Namun, tentu saja hal demikian tidak akan terjadi begitu saja, sebelum Mamak dari pihak perempuan mencarikan jodoh untuk kemenakannya. Apabila telah ditemukan lelaki yang dirasa cocok maka Mamak akan mencari tahu karakteristik, latar belakang, kedudukan sosial, pendidikan, asal usul, ekonomi, dan sebagainya. Selanjutnya, pihak perempuan akan mengunjungi rumah pihak laki-laki, di sinilah tahap awal mempelai wanita mulai mengenali calon suaminya. Apabila di antara keduanya terdapat kecocokan, maka kedua keluarga akan mengadakan musyawarah atau perundingan yang dalam masyarakat Pariaman dinamakan dengan mamendekkan hetongan, artinya keluarga pihak perempuan akan mengunjungi rumah pihak laki-laki lagi untuk melakukan perundingan.
2. Memendekkan Hetongan
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, mamendekkan hetongan, artinya keluarga pihak perempuan akan mengunjungi rumah pihak laki-laki lagi untuk melakukan perundingan. Di sini pula, Mamak akan bertanya kepada anak daro apakah sudah benar-benar siap untuk melangsungkan pernikahan, karena seluruh biaya baralek/pesta akan ditanggung oleh anak daro (pihak perempuan). Apabila keluarga pihak perempuan berasal dari keluarga sederhana, maka mereka akan menjual harta pusaka untuk biaya pernikahan.
3. Batimbang tando / Bertukar tanda.
Prosesi ini disebut juga dengan peminangan. Keluarga mempelai perempuan akan datang ke rumah mempelai laki-laki untuk membawa persyaratan yang telah ditetapkan saat proses memendekkan metongan. Di tahap ini mempelai laki-laki dan mempelai perempuan akan menerima tanda bahwa mereka akan segera menikah.
4. Manantauan Uang Japuik / Menentukan Uang Japuik.
Uang atau mahar yang disiapkan untuk bajapuik disesuaikan dengan gelar, pangkat, atau status sosial calon mempelai laki-laki. Seperti gelar sidi, sutan dan bagindo. Semakin tinggi gelar dan status sosialnya, maka uang bajapuiknya pun semakin tinggi pula. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman gelar kebangsawanan seperti sidi, sutan dan bagindo, tidak lagi menjadi tolak ukur tinggi rendahnya uang bajapuik. Akan tetapi, kini lebih dipengaruhi oleh status sosial berdasarkan gelar akademik dan profesi, seperti dokter, insinyur, atau dosen. Semakin tinggi status sosial calon mempelai laki-laki, semakin besar jumlah uang bajapuik yang diminta.
5. Bakampuang-kampuangan (Bermusyawarah sebelum Hari H Pernikahan).
Pada tahap ini alim ulama, ninik mamak, ipar, ataupun besan membicarakan peralatan apa saja yang diperlukan sebelum pesta pernikahan.
Pada saat hari H perkawinan:
1. Manjapuik Marapulai / Menjemput calon pengantin laki-laki.
Pada proses ini pihak perempuan akan menjemput pihak laki-laki untuk melangsungkan pernikahan di rumah pihak perempuan. Pihak perempuan akan membawa tiga barang wajib, yaitu; pakaian laki-laki dari atas hingga bawah, sirih, aneka kue, nasi kuning dengan lauk singgang ayam dan uang japuik.
2. Akad nikah
Akad nikah merupakan perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama sesuai dengan ajaran agama Islam. Akad nikah biasanya dilaksanakan di rumah pihak perempuan atau di masjid terdekat dari rumah (Kasim,1997:33).
3. Basandiang di rumah Anak Daro
Jika mempelai laki-laki telah tiba di rumah mempelai perempuan maka marapulai akan disandingkan dengan anak daro. Payung kuning akan dipasang di luar rumah sebagai penanda sedang terlaksananya pesta pernikahan. Pada acara basandiang biasanya diadakan penampilan tarian khas Minangkabau yang diiringi dengan musik tradisional.
4. Malam Bainai
Prosesi ini biasanya diadakan pada malam hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Pada proses ini, jari-jari mempelai pengantin perempuan akan dipasangkan daun inai. Di tahap ini pula orang-orang terdekat dari mempelai pengantin akan memberi semangat agar mempelai pengantin tidak gugup pada hari h pernikahan.
5. Badantam/Badoncek/Baturun-turun.
Badantam atau badoncek merupakan kegiatan mengumpulkan uang dari sanak keluarga yang sedang melangsungkan pernikahan. Tradisi ini dapat digunakan untuk membangun kampung halaman baik dari orang yang sedang berada di rantau maupun yang berdomisili di daerah Pariaman (Armaidi Tanjung, 2012:172-174). Badoncek dilakukan pada saat malam bainai. Uang yang dikumpulkan tersebut akan digunakan untuk membantu keluarga anak daro dalam melangsungkan pernikahan.
6. Bainduak Bako / Babako Babaki
Pada saat acara bainduak bako, keluarga dari pihak ayah akan datang ke rumah calon anak daro atau pengantin perempuan bersama-sama dan membawa buah tangan berupa uang, perlengkapan, emas, pakaian, dan lauk pauk yang sudah matang, bahan perlengkapan dapur, dan aneka macam kue-kue. Pada saat kedatangan rombongan keluarga ayah ini akan diiringi oleh musik tradisional (Kasim,1997:17).
7. Manjalang Mintu / Mengunjungi Mertua.
Manjalang mintuo sama seperti halnya tradisi ngunduh mantu di jawa. Prosesi ini diselenggarakan oleh pihak laki-laki, agar anak daro makin mengenal keluarga marapulai. Keluarga anak daro yang datang mengunjungi kediaman marapulai akan membawa berbagai makanan, seperti rendang, singgang ayam, dan berbagai macam bolu. Keluarga anak daro yang datang nantinya akan disambut dengan tari panembahan atau tari gelombang.
8. Manduo
Umumnya manduo dilaksanakan setelah satu atau dua hari acara manjalang mintuo. Tujuannya adalah doa bersama guna keharmonisan rumah tangga kedua mempelai, serta agar keluarga kedua belah pihak akrab dan saling kenal mengenal.
9. Pulang malam
Pihak laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan dengan membawa peralatan dan pakaiannya sendiri, diiringi oleh 3 hingga 5 orang, dan kemudian akan pulang antara jam 4 sampai jam 5. Selanjutnya, jumlah orang yang mendampingi pihak laki-laki akan berkurang setiap harinya hingga hanya tersisa pengantin pria itu sendiri.
Demikian, serangkaian prosesi dalam adat perkawinan bajapuik. Namun, kawin bajapuik tidak termasuk dalam rangkaian upacara perkawinan di Minangkabau karena merupakan tradisi terpisah yang memiliki prosesi khusus dan berdiri sendiri, berbeda dengan rangkaian upacara perkawinan Minangkabau lainnya yang terkait erat dengan satu kesatuan, seperti pasambahan atau petatah-petitih antar mamak kaum.
Bagi masyarakat Pariaman, budaya bajapuik adalah hal yang lazim, tetapi banyak anggapan dari masyarakat luar yang berpandangan bahwa tradisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat agama Islam. Padahal budaya bajapuik dalam masyarakat Pariaman mengandung makna penting sebagai wujud penghargaan dan penghormatan terhadap peran laki-laki. Uang japuik yang diberikan oleh pihak perempuan kepada laki-laki melambangkan pengakuan atas peran ganda mereka sebagai kepala keluarga dan mamak bagi kaumnya, serta tanggung jawab besar terhadap istri dan keluarga. Melalui tradisi ini, tercipta saling penghargaan antara pihak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Pariaman, di mana penerimaan uang japuik oleh laki-laki juga menandai sikap timbal balik dan penghargaan yang akan diberikan oleh perempuan. Jumlah uang japuik yang diberikan oleh pihak perempuan tidaklah menjadi beban, karena besarnya jumlah tersebut telah disepakati secara sukarela antara kedua belah pihak tanpa adanya paksaan. Uang japuik yang diberikan kemudian dapat digunakan untuk keperluan bersama dalam kehidupan pernikahan.
Kawin bajapuik tidak hanya sekadar sebuah upacara pernikahan, melainkan juga merupakan warisan budaya yang kaya dan bernilai dalam masyarakat Minangkabau. Melalui serangkaian prosesi khusus dan tradisi yang melekat, kawin bajapuik tidak hanya mempererat ikatan antara kedua mempelai, tetapi juga memperkuat hubungan antara keluarga dan komunitas. Keberadaannya menjadi bagian integral dari identitas budaya Minangkabau yang perlu dilestarikan dan dihargai oleh generasi-generasi mendatang.
Salwa Ratri Wahyuni, lahir di sebuah kota kecil di Riau, pada pertengahan tahun 2005, merupakan mahasiswa aktif program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Instagram @waa.tashi