Perdagangan budak transatlantik adalah salah satu babak tergelap dalam sejarah manusia, meninggalkan dampak yang mendalam dan bertahan lama di benua Afrika dan rakyatnya. Di tengah kengerian dan kekejaman perdagangan ini, ada orang-orang yang menanggung penderitaan yang tak terbayangkan dan memainkan peran penting dalam melanggengkan sistem perbudakan. Salah satunya adalah Pata Seca, seorang budak yang dibeli khusus untuk menghamili para budak wanita.
Pata Seca, juga dikenal sebagai Roque José Florêncio. Lahir pada tahun 1828 di Sorocaba, Sao Paulo, Brasil. Dia ditangkap dan diperbudak oleh pemilik tanah bernama Joaquim Jose de Oliveira. Setelah ditangkap, dia bekerja sebagai buruh ladang dan juga sebagai budak “pembibitan”, artinya dia dipaksa melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita yang diperbudak untuk menghasilkan lebih banyak anak yang nantinya anak-anak itu akan menjadi budak.
Praktik seperti ini sudah tidak asing dilakukan oleh para pemilik budak. Selain membeli atau menculik budak kulit hitam, para pemilik lahan bisa meminimalisir biaya pembelian dengan memastikan budak-budak perempuan mereka beranak pinak. Namun, bukan hanya asal beranak, anak-anak yang dihasilkan harus kuat dan bisa mewarisi pekerjaan orang tua mereka sebagai budak. Untuk memastikan anak-anak mereka lahir sehat, kuat, dan berbadan tangguh, budak laki-laki yang paling bagus fisiknya disuruh “kawin” dengan budak-budak perempuan.
Seperti itulah tugas Pata Seca, meskipun ia bekerja sebagai buruh di ladang, tapi tugas utamanya adalah sebagai budak untuk menghamili banyak budak perempuan. Setiap hari, ia wajib menyetubuhi budak perempuan untuk menebar benihnya. Ia diperlakukan layaknya sapi peternak dibanding manusia.
Pata Seca sengaja dipilih karena ia adalah pria yang luar biasa, tingginya lebih dari 2,18 meter dan memiliki fisik yang berotot. Dia dikenal karena keberanian, kecerdasan, dan karismanya. Dia juga memiliki rasa keadilan dan martabat yang kuat. Dia sering memberontak melawan penindasnya dan mencoba melarikan diri beberapa kali.
Jumlah pasti perempuan yang dia tiduri ini masih belum diketahui. Namun, diperkirakan bahwa Pata Seca adalah ayah dari lebih 200 anak yang mewarisi status budak ayah mereka. Akibatnya, mereka juga mengalami kehidupan perbudakan, dengan beberapa dijual untuk mendapatkan keuntungan dan yang lain dipaksa bekerja keras di perkebunan pemiliknya.
Karena keberhasilannya menghasilkan keturunan yang cukup banyak bagi pemiliknya, Pata Seca mendapatkan perlakuan yang relatif baik. Dia diberikan hak istimewa dan bahkan menerima sebidang tanah dari tuannya ketika perbudakan dihapuskan di Brasil pada tahun 1888.
Setelah mendapatkan kebebasannya, Pata Seca menemukan cinta dan persahabatan pada seorang wanita bernama Palmira, yang dinikahinya. Bersama-sama, mereka dikaruniai sembilan anak, membentuk fondasi keluarga mereka sendiri. Di tanah yang diberikan kepadanya oleh mantan majikannya, Pata Seca mendedikasikan dirinya untuk membangun kehidupan baru bagi orang-orang yang dicintainya.
Merangkul peran sebagai petani, Pata Seca memiliki dan mengoperasikan “Sítio Pata Seca,” pertaniannya sendiri. Di sini, dia bekerja keras tanpa lelah dalam produksi dan penjualan rapadura, suatu bentuk padat dari gula tebu yang tidak dimurnikan. Meskipun penghasilannya kecil, Pata Seca memanfaatkannya untuk menafkahi keluarganya.
Namun, tragedi menimpa kehidupan Pata Seca ketika dia secara tidak sengaja menginjak paku pada suatu pagi. Cedera yang diakibatkannya menyebabkan tetanus, dan meski mendapat perawatan langsung dari tabib lokal, kondisi Pata Seca memburuk dengan cepat. Akibatnya, Pata Seca meninggal dunia pada Februari 1958 pada usia 130 tahun, hanya tiga bulan setelah berpartisipasi dalam parade ulang tahun kota sebagai pria tertua di kabupaten tersebut.
Penting untuk disadari bahwa kisah Pata Seca bukanlah kisah yang terisolasi. Di seluruh diaspora Afrika, tak terhitung banyaknya orang seperti dia yang mengalami keadaan serupa, melanggengkan siklus perbudakan dari generasi ke generasi. Pengalaman mereka menyoroti dehumanisasi dan komodifikasi kehidupan manusia yang menjadi ciri perdagangan budak transatlantik.
Hari ini, warisan Pata Seca dan orang lain seperti dia berfungsi sebagai pengingat ketidakadilan yang mengakar yang menimpa orang-orang Afrika selama periode kelam sejarah ini. Sangat penting untuk mengakui dan menghadapi kenyataan menyakitkan dari perbudakan untuk memastikan bahwa kekejaman seperti itu tidak pernah terulang. Dengan mendidik diri kita sendiri tentang kengerian masa lalu, kita dapat memperjuangkan masa depan yang berakar pada kesetaraan, keadilan, dan rasa hormat untuk semua manusia, terlepas dari ras atau asal mereka.
Saat kita merenungkan kehidupan Pata Seca, mari kita mengingat ketangguhan dan kekuatan luar biasa dari individu-individu yang menanggung perbudakan. Kisah-kisah mereka memaksa kita untuk menentang segala bentuk penindasan dan bekerja menuju dunia di mana martabat dan hak setiap orang dilindungi dan dihargai.
Sumber:
https://talkafricana.com/pata-seca-the-enslaved-african-breeder/
Langgam Pustaka.