Apakah politik etis benar-benar merupakan balas budi bagi tanah yang dijajah? Jika benar, mengapa masih ada ketimpangan yang terjadi dalam program-program yang dibentuk oleh Belanda tersebut?
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menerapkan politik etis di Indonesia. Kebijakan ini diklaim pada tahun 1901 melalui pidato tahta kerajaan. Politik etis tujuan untuk menyelaraskan orang pribumi dan Belanda dalam satu masyarakat dan kebudayaan, yaitu kebudayaan Barat. Dalam misinya, pemerintah kolonial Belanda bertujuan untuk menyejahterakan rakyat pribumi melalui beberapa program dalam berbagai bidang seperti, edukasi, irigasi, promosi fasilitas kredit rakyat, serta pelayanan nasihat ahli di bidang pertanian.
Tujuan menyejahterakan rakyat pribumi terdengar seperti rayuan yang tampak menggoda. Pada kenyataannya, kebijakan-kebijakan yang dirancang masih bersifat mengikat dan tidak sepenuhnya memberi kebebasan pada masyarakat pribumi. Hal ini dilakukan agar masyarakat pribumi tidak melawan pemerintah kolonial. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Pemerintah kolonial mendirikan Balai Pustaka dengan skenario seolah-olah menyediakan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat pribumi. Padahal mereka menyediakan bahan bacaan sesuai dengan kepentingan dan pemikiran pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka merupakan lembaga penerbitan milik pemerintah yang sama seperti program-program politik etis lainnya, membatasi ruang gerak karena harus menyesuaikan dengan kerangka struktur sosial kolonial, kemapanan kekuasaan pemerintah dan orang Belanda di Indonesia (Faruk, 1994:37-371).
Balai Pustaka menyediakan beragam bahan bacaan yang diatur sedemikian rupa untuk masyarakat pribumi tidak terpapar dengan aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme, yang nantinya akan melawan pihak Belanda (Alisjahbana, 1992:20). Dengan demikian, karya sastra yang diterbitkan pada masa ini hanya karya sastra yang tidak membahayakan pihak pemerintah kolonial Belanda nantinya.
Meski telah dibatasi, pergerakan karya sastra yang diterbitkan di luar penerbitan Balai Pustaka masih tetap hadir mewarnai perkembangan sastra Indonesia pada masa tersebut. Salah satunya adalah Sastra Peranakan Tionghoa. Pada tahun 1939 muncul penerbit yang banyak mengangkat kumpulan cerita pendek yang diterbitkan dalam berbagai majalah (Salmon, 1985:206). Kegiatan ini menarik perhatian masyarakat pecinta sastra sehingga Balai Pustaka cukup merasa tersaingi oleh hal tersebut.
Sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka dan Sastra Peranakan Tionghoa memiliki perbedaan dari segi bahasanya (Damono, 1999:216). Karya Sastra Peranakan Tionghoa menggunakan bahasa Melayu rendah, sedangkan karya sastra Indonesia terbitan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu tinggi. Sastra Peranakan Tionghoa merupakan karya-karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu rendah dan asli hasil ciptaan kaum peranakan Tionghoa (Nio Joe Lan, 1950).
Karya sastra terbitan Balai Pustaka dan hasil Peranakan Tionghoa memiliki perbedaan yang menarik untuk diperbandingkan. Salah satu karya sastra yang dapat diperbandingkan adalah cerpen. Claudin Salmon (1985:86) mengamati cerita pendek Peranakan Tionghoa hingga kurang lebih berjumlah 900 judul yang ditulis oleh 250 orang pengarang. Meskipun Balai Pustaka lebih terkenal dengan karya romannya bukan berarti tidak ada cerpen yang diciptakan pada masa ini.
Terdapat dua cerpen yang cukup menarik untuk dibandingkan dari terbitan Balai Pustaka dan hasil karya sastra Peranakan Tionghoa. Cerpen tersebut adalah Habis Manis Sepah Dibuang karya Swan Pen dan Karena Hati karya Suman H.S. Kedua cerpen tersebut memiliki tema yang sama yaitu terkait penggambaran relasi gender antara perempuan dan laki-laki yang digambarkan pada masa tersebut. Cerpen pertama memiliki konflik laki-laki yang melakukan gaslighting dan love bombing pada pasangannya, yaitu ketika ia memanipulasi pasangannya seolah mencintainya begitu tulus lalu kemudian minggat setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. Sedangkan, cerpen kedua tokoh perempuan tertipu dengan Emotional exploitation yang dilakukan oleh mantan suaminya.
Cerpen Habis Manis Sepah Dibuang karya Swan Pen berkisah mengenai seorang perempuan pribumi yang ditinggal menikah oleh kekasihnya setelah memberikan kesuciannya. Ia merupakan seorang perempuan modern yang tidak ingin dikekang oleh adat dan aturan kolot dari orang tuanya. Bersama kekasihnya yang merupakan seorang laki-laki terpelajar, ia berpikir bahwa telah mendapat kebebasan yang diinginkannya. Sedangkan, cerpen Karena Hati karya Suman H.S. menceritakan kisah seorang janda muda yang sudah tiga kali menikah. Kemudian, ia dijodohkan kembali dengan seorang mantri. Namun, pernikahan tersebut juga tidak bertahan lama.
Kedua cerpen tersebut memiliki kesamaan tema yang membahas masalah relasi gender. Dalam kedua cerpen ini, perempuan digambarkan sebagai pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan laki-laki yang hanya memanfaatkan perempuan. Pada Cerpen Habis Manis Sepah Dibuang, seorang tokoh bernama Soenarti mendapatkan kemalangan dalam hidupnya. Ia adalah seorang perempuan modern yang diberikan kesempatan untuk dapat menikmati bangku sekolah. Namun, karena ia terjerumus dalam pergaulan yang salah, ia malah menyalahgunakan kesempatan tersebut. Baginya, perempuan modern tidak perlu taat pada aturan lama yang mengekang. Dengan bergaul seperti orang Eropa, ia telah mengikuti gaya hidup modern dan mendapatkan kebebasan.
Bersama kekasihnya, Martin, seorang laki-laki terpelajar yang ia temui di bangku sekolah, ia merasa mendapat kebebasan tersebut. Setiap hari mereka melakukan berbagai aktivitas yang banyak anak muda lakukan pada masa itu. Sampai mereka melewati batas norma yang ada di masyarakat. Terlebih, Martin dibiarkan tinggal di kediaman Soenarti. Alhasil terjadilah kejadian yang melanggar norma. Soenarti sebagai gadis yang dimabuk cinta tergoda oleh rayuan Martin yang ternyata hanya memanfaatkan kelemahannya untuk menodai perempuan tersebut.
Sedangkan, pada cerpen Karena Hati karya Suman H.S., terdapat seorang janda yang baru menginjak usia 20 tahun, tetapi sudah menikah 3 kali. Sitti Fatimah, nama tokoh tersebut diceritakan tetap laku meskipun sudah janda berkali-kali. Orang tuanya selalu menjodohkannya dengan beberapa pria sehingga ia tidak pernah menjanda dalam waktu yang lama. Kemudian, datanglah seorang mantri cacar yang masih muda. Ia dijodohkan dengan Sitti fatimah dan hanya menjalani pernikahan dalam waktu yang singkat. Namun, suatu hari mantan suaminya tersebut datang untuk meminta pertolongan. Rupanya, itu hanya tipuan semata.
Tokoh laki-laki pada kedua cerpen tersebut merupakan laki-laki yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari kepolosan perempuan. Mereka hanya memikirkan kepuasan sendiri dengan memanfaatkan kelemahan perempuan. Terdapat perbedaan latar dan karakter dari tokoh kedua cerpen tersebut. Pada cerpen Habis Manis Sepah Dibuang, latar kehidupan tokoh adalah kehidupan modern yang mengenyam bangku pendidikan. Sedangkan, latar cerpen Karena Hati adalah masyarakat di negeri kecil dan perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan. Hal ini mempengaruhi sifat tokoh perempuan, yaitu Soenarti yang berpikiran modern dan mementingkan kebebasan sebagai seorang perempuan, dan Sitti Fatimah yang menganggap dirinya seorang yang banyak diminati laki-laki karena telah berhasil menikah empat kali pada usianya yang baru menginjak 20 tahun.
Dalam kedua cerpen ini, tokoh perempuan sama-sama dirugikan. Soenarti yang kehilangan kesuciannya karena percaya pada kekasihnya yang ternyata pada akhirnya meninggalkannya menikah dengan Corrie, perempuan lain dan kabur ke tempat kelahirannya Makassar. Sedangkan, Sitti Fatimah, kehilangan masa mudanya dengan menikah sebanyak 4 kali. Dianggap seperti barang jualan yang laku terjual ketika ia cerai dari mantan-mantan suaminya. Lalu, ia dimanfaatkan oleh mantan suami terakhirnya dengan pura-pura sakit dan meminta kain dan selimut untuk menghangatkan badannya. Ternyata itu hanya tipuan untuk mencuri secara halus.
Perempuan digambarkan sebagai sosok yang polos dan tidak berpikir secara kritis. Mereka cenderung spontan dalam mengambil tindakan dengan mementingkan perasaannya. Meskipun, sudah mengenyam pendidikan, Soenarti tetap kalah oleh cintanya kepada Martin, sehingga ia ditinggalkan kekasihnya tersebut. Sitti Fatimah yang sudah berkali-kali menikah, tetap saja tidak bisa menafsirkan gerak-gerik lelaki sehingga pada akhirnya ia tetap dimanfaatkan.
Gaya penulisan dalam kedua cerpen tersebut juga cukup berbeda. Selain bahasa yang digunakan yaitu melayu tinggi dan melayu rendah, penceritaan yang digunakan oleh kedua penulis juga berbeda. Bahasa Melayu punya dua tingkat formalitas yaitu tinggi dan rendah. Bahasa melayu tinggi lebih baku dan formal, sementara bahasa rendah lebih santai dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Cerpen Tionghoa lebih bergaya cerpen melodis, sentimental, dan fokus pada tragedi yang terjadi. Seperti pada kutipan berikut: "Kakanda!" jawab Soenarti, "kalau benar begitu kata kakanda, pada kakandalah terserah nja wa adinda, kakandalah jang beruntung mendapat diri adinda, sebab memang pemuda seperti kakandalah jang adinda cintai untuk jadi suami adinda, tempat adinda menumpangkan diri.” Sedangkan, cerpen terbitan Balai Pustaka bercerita dengan gaya humor satir yang ringan, tetapi memberikan konflik yang tetap kuat. Seperti pada kutipan berikut: Setengah jam kemudian, terdengarlah sumpah serapah dari mulut Sitti Aminah. "Jantan penipu! Jantan penipu!" teriaknya berulang-ulang.
Kedua cerpen ini menunjukkan bagaimana perempuan, pada masa politik etis dan kolonial, sering kali menjadi korban eksploitasi oleh laki-laki yang memanfaatkan kelemahan mereka, baik melalui manipulasi emosional, rayuan, atau ketergantungan sosial. Sastra peranakan Tionghoa dan sastra terbitan Balai Pustaka memiliki perbedaan dalam gaya dan bahasa, namun keduanya mencerminkan ketimpangan sosial dan eksklusivitas kekuasaan yang ditanamkan oleh kolonialisme Belanda. Di balik kebijakan yang diklaim sebagai "politik etis," perempuan pribumi tetap terjebak dalam ketidaksetaraan gender, meskipun mereka telah diberikan akses pendidikan dan fasilitas lain.
Siti Rubaiah Al Adawiyah merupakan mahasiswi. Beberapa karyanya sudah dimuat dalam media cetak maupun media online. Ia bisa dihubungi melalui akun instagramnya: @strubaaiiah.