PKI (Partai Komunis Indonesia) meninggalkan jejak yang kelam dan menyakitkan bagi Indonesia hingga sampai saat ini, peristiwa demi peristiwa yang berkaitan dengan PKI selalu menimbulkan korban jiwa seperti peristiwa pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Namun peristiwa yang melibatkan PKI paling dikenal dan dikenang oleh masyarakat Indonesia adalah peristiwa G30S 1965 berupa penculikan dan pembunuhan para Jendral dan perwira TNI, akibat berita burung yang mengatakan bahwa beberapa Jendral dan Dewan Jendral akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno.
Soekarno menyatakan kejadian itu adalah “een rimpelite in de ocean” (riak kecil pada permukaan sebuah samudera). Namun kemarahan massa menyulut aksi penyerbuan terhadap Gedung-gedung kantor milik PKI pada 8 Oktober 1965 dan terjadi di berbagai tempat.
Akibatnya Partai Komunis Indonesia ditumpas setelah dikeluarkannya surat perintah 11 Maret (Supersemar), pimpinan PKI yaitu D.N Aidit tertangkap dan dibunuh tanpa diadili sehingga jasad serta makamnya tidak pernah ditemukan hingga saat ini. Peristiwa itu memberikan dampak yang Panjang dan luas, terutama pada para Perempuan anggota GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang berkubu komunis dan dipropaganda adanya penyimpangan seksual anggota GERWANI. Mereka yang telah ditangkap dipenjarakan tanpa diadili dan mengalami berbagai penyiksaan hingga pelecehan seksual seperti ditelanjangi dan difoto dengan dalih mencari cap GERWANI di tubuhnya dan pemerkosaan juga tidak bisa dihindarkan.
Dampak PKI masih berlangsung hingga kini, tidak bagi seluruh masyarakat Indonesia tapi bagi mereka yang mendapat “dosa turunan” karena dianggap sebagai keturunan PKI dan mengalami diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat. Stigma buruk tentang keturunan PKI masih dirasakan oleh sebagian orang meskipun pemerintah dan masyarakat tak lagi melabeli, namun stigma tersebut belum hilang.
Diskriminasi dan pelecehan secara besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap anggota PKI beserta keturunannya terutama Perempuan banyak disinggung oleh para sastrawan Indonesia, salah satunya oleh Tentrem Lestari seorang seniman lokal di Magelang yang juga berprofesi sebagai pengajar biologi di SMA Tidar dan aktif di komunitas seni bernama Medan Institut. Salah satu naskahnya yang menyinggung masalah perempuan adalah Balada Sumarah.
Naskah yang menceritakan seorang perempuan bernama Sumarah seorang gadis Jawa yang mempunyai semangat yang tinggi, gigih serta kuat memperjuangkan kehidupannya agar menjadi lebih baik. Sumarah juga gadis yang pandai di sekolah, nilainya selalu bagus dan itu dia harapkan dapat menjadi modal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya. Namun yang terjadi tidak demikian, Sumarah justru mendapatkan diskriminasi, penghilangan hak, serta kemiskinan akibat Sulaiman bapaknya yang ditangkap karena dianggap sebagai antek-antek PKI. Selain itu Sumarah juga harus menanggung patah hati karena gagal memadu kasih dengan seorang Tentara karena statusnya sebagai keturunan PKI.
Feminisme mulai diperhatikan di Indonesia adalah pada masa Orde Baru. Ratna (2004) menyebutkan bahwa pada Repelita III (1979/1980-1983/1984) pemerintah Indonesia mulai memperhatikan emansipasi wanita. Hal tersebut ditandai dengan pengangkatan Menteri Negara Urusan Wanita. Emansipasi wanita dalam sastra mulai diperhatikan sejak tahun 1920-an yang ditandai dengan hadirnya novel Balai Pustaka. Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana merupakan karya sastra yang membahas menganai emansipasi wanita.
Perkembangan gerakan feminisme ini memberi pengaruh terhadap perkembangan dunia sastra, gerakan yang merupakan tuntutan atas persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan, telah berkembang dan memengaruhi berbagai bidang kehidupan manusia.
Adanya kritik sastra feminis bukan berarti mengkritik perempuan atau kritik atas perempuan. Hellwig (2009) menyatakan bahwa kritik sastra feminis sebagai satu pendekatan membaca karya sastra Indonesia untuk menjawab satu permasalahan pokok, yaitu citra perempuan dalam sastra Indonesia.
Dalam naskah drama Balada Sumarah, perempuan yang mendapat dosa turunan PKI di deskripsikan sebagai berikut :
1. Mendapat diskriminasi dari Masyarakat
Sulaiman bapak Sumarah ditangkap karena dianggap sebagai antek PKI padahal yang dilakukan hanyalah menyetor gula kepada seorang yang bernama Pak Wasto. Sejak saat itu Sumarah mendapat pandangan buruk dari Masyarakat sekitar termasuk dilingkungan sekolahnya. Hal itu tampak pada penggalan monolog di bawah ini :
Dari kecil saya tidak berani mendongakkan wajah apalagi di Karangsari, desa tempat saya dilahirkan. Orang-orang Karangsari selalu membuat saya gugup dengan bisik-bisik dan tatapan curiga mereka, kegugupan itu bermula, di suatu ketika di kelas. Pak Kasirin guru madrasah menerangkan :
“ Pembunuhan para Jendral itu dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat keji yang tergabung dalam organisasi PKI. PKI itu benar-benar biadab. Untuk itu dihapus dan dilarang berkembang lagi. Seluruh antek PKI dihukum.
“Eh bapaknya Sumarah itu kan PKI”
“Apa iya, lah sekarang di mana?”
“Ya sudah diciduk! Sttt…anak cidukannya mulai menoleh ke sini”
2. Penghilangan dan pembatasan hak
Sebagai seseorang yang dianggap keturunan PKI, Sumarah tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Ia menderita kemiskinan, sebab kepintarannya selama sekolah tak berarti, tak dapat ia gunakan untuk mencari pekerjaan karena pembatasan hak yang disebabkan identitasnya. Hal itu tampak pada penggalan monolog di bawah ini :
- Tiga ijazah saya punya, dengan nilai yang cukup bagus. Bahkan nilai NEM SMA saya bagus dibanding teman-teman. Tapi kebanggaan itu runtuh ketika Dimana-mana saya terdepak dari pintu ke pintu mencari pekerjaan. Terjegal karena bayangan bapak yang terus menguntit di belakang nama saya. Bayangan bapak menggelapkan nama saya ketika mencari surat keterangan bersih diri terbebas dari ormas terlarang sebagai salah satu syarat mendaftar PNS. Saya ingat betul kata Pak Lurah waktu itu. Ia bilang benar-benar tidak dapat memberi surat yang saya butuhkan. Nyawanya taruhannya, karena ia tahu siapa bapakku.
- Kalau benar bapakku bersalah, lantas apa iya, Aku, Simbok, Yu Darsi, Kang Rohiman, harus menanggung dosa itu selamanya? Dikucilkan, dirampas hak-hak kami, selalu terdepak di negeri sendiri.
3. Dipaksa bungkam tak boleh melawan
Tinta merah yang melekat pada identitas Sumarah, membuat ia dan keluarganya tak mampu memberikan perlawanan apa pun walaupun hanya pertanyaan di mana bapaknya, salah apa bapaknya. Hingga bekerja pun Sumarah hanya mampu hidup merangkak di bawah kaki orang. Hal itu tampak pada penggalan monolog berikut :
- Ya inilah saya Sumarah. Bertahun-tahun saya menjilati kaki orang, merangkak dan hidup di bawah kaki orang. Bertahun-tahun saya tahan mulut saya, saya lipat lidah saya, agar tidak bicara.
- Saya hanya bisa menjerit dan meraung-raung dalam bibir yang terkunci.
- Di negeri sendiri, saya menjadi rakyat selipan, setengah gelap dan tak boleh mendongakkan kepala serta bicara. Saya didepak sana-sini, dikuntitkan bayangan bapak yang dihitamkan oleh mereka untuk menggelapkan nama saya.
- Seperti budak yang hala dibinatangkan. Bertahun-tahun saya Cuma diselipkan di negeri sendiri, kepala saya tidak boleh menyembul di tengah kerumunan.
Berdasarkan isi drama tersebut tergambar bahwa keadaan lingkungan saat itu secara umum menempatkan para orang-orang yang tertuduh sebagai keturunan PKI menjadi kaum yang termarjinalkan, terpinggirkan, hingga menjadi korban. Hingga saat ini stigma Masyarakat terhadap keturunan PKI masih sama, meskipun tak ada lagi label yang diberikan.
Jihan Putri Utami Merupakan mahasiswi aktif program studi sastra Indonesia, Universitas Andalas.Instagram : @_jeyyyy