Perkembangan sastra di Indonesia telah banyak menghasilkan perspektif-perspektif baru mengenai bagaimana sastra yang seharusnya dikaji secara akademik atau dikaji secara serius. Perkembangan tersebut setidaknya telah banyak juga melahirkan para kritikus-kritikus yang menjadikan sastra tersebut semakin hidup di Indonesia, tetapi dari beberapa perspektif yang ada, tak jarang ditemukan kerancuan dalam hal mana yang lebih proposional untuk dikaji secara akademik, sastra populer atau sastra serius. Sastra populer dan sastra serius sering menjadi objek perbandingan dari para penggiat sastra. Pembicaraan mengenai hal ini adanya secara tidak langsung terus menjadikan arena perbandingan dalam dunia sastra terasa semakin hidup. Tetapi seiring berjalannya waktu dan seiring berkembangnya kedua sastra tersebut, setidaknya ditemukan beberapa fenomena yang lebih mencondongkan bentuk ketidakadilan terhadap adanya karya sastra populer. Kritikan yang bermetamorfosis menjadi penyudutan ini tidak lebih dari sebuah pengkultusan terhadap apa yang dianggap sebagai bagian fundamental dari sastra itu sendiri, yang dalam arti sastra serius dinilai sebagai sastra yang luhur dan memiliki nilai esensial yang lebih yang tidak ada di dalam sastra populer. Problema ini yang menjadikan sastra populer terus bermandikan stereotip buruk.
Jika dilihat dari problema antara sastra populer dan sastra serius, nyatanya keduanya selalu berjalan beriringan dalam perkembangan sastra di Indonesia. Tetapi pada awal kemunculannya memanglah sastra populer tidak banyak diterima oleh kalangan-kalangan yang berpengaruh pada masa awal kemunculannya, dilihat pada masa hadirnya Balai Pustaka saja sastra populer dianggap sebagai sastra murahan pada saat itu, dan penerbitan karya sastranya pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini didasari oleh Balai Pustaka sebagai Lembaga penerbit miliki pemerintah belanda menganggap bahwa sebuah karya yang lahir bukan dari Balai Pustaka sebagai karya sastra yang ilegal. Stereotip ini adanya masih melekat bagi sastra populer itu sendiri hingga perkembangan sastra saat ini, minimnya kritik sastra populer dalam ranah akademik hingga menghadirkan bayang-bayang tentang, apakah sastra populer tidak pantas dikaji secara akademik? apakah sastra populer yang berisi ‘hiburan’ tidak dapat dikaji secara serius? pertanyaan yang lebih mengarah kepada kritikan terhadap suatu bentuk ‘hegemoni’ dalam ranah akademik.
Dalam perkembangan sastra modern di Indonesia, terdapat pembagian dua arus sastra yang dikenal dengan sastra populer dan sastra serius. Dua hal yang selalu disandingkan dan diperdebatkan mana yang lebih baik dan lebih proporsional untuk masuk dalam ruang kritik akademis. (Dewiati, 2015) dalam sejarah kesusastraan Indonesia, telah dikenal istilah ‘sastra diresmikan’ dan ‘sastra tidak diresmikan’ atau yang sering disebut sebagai sastra pinggiran. Pelabelan tersebut tidak lepas dari kemunculan penerbit Balai Pustaka tahun 1920-an. Karya- karya yang terbit melalui Balai Pustaka dianggap sebagai karya yang memiliki standarisasi tinggi dan dianggap sebagai sastra resmi. karya-karyanya seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Salah Asuhan karya Abdul Muis, dua karya yang dinilai monumental dalam sejarah perkembangan sastra modern di Indonesia. Di samping penerbit Balai Pustaka, adapun beberapa penerbit yang tidak berafiliasi dengan pemerintah pada saat itu atau dapat disebut penerbit nonpemerintah yang menerbitkan karya sastra pada saat masa pemerintahan belanda. Penerbit itu seperti Lekar, beberapa penerbit milik etnis Tiongkok dan beberapa penerbit ilegal lainnya. Karya sastra yang lahir bukan dari Balai Pustaka sering kali dimarginalkan dan sering mendapatkan dan sering dilarang untuk menjadi konsumsi masyarakat.
Hal ini didasari dari praktik hegemoni kekuasaan pemerintah pada saat itu yang menilai sastra tidak diresmikan tersebut sebagai suatu bentuk ancaman bagi pemerintah. Hegemoni kekuasaan ini merambat hingga masuk ke dalam dunia sastra, (Dewiati, 2015) konstruksi hegemoni sastra dibentuk oleh individu dan Lembaga yang memegang kekuasaan (politik) pada masa itu. Hal tersebut menjadikan sastra pinggiran dinilai tidak memiliki fungsi serta tujuan sosial. Tujuan dari Balai Pustaka sendiri memanglah terdapat unsur politik di dalamnya, karena pada masa itu masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran-kesadaran untuk merdeka, dan masyarakat sudah merasa bahwa bangsa mereka sedang dijajah. Balai Pustaka sebagai badan penerbitan milik pemerintah pada saat itu bersaing dengan penerbit-penerbit ilegal dengan maksud meredam “batuan liar” istilah yang dimaksudkan untuk bacaan-bacaan yang berasal dari para penerbit nonpemerintah. Secara tidak langsung kehadiran Balai Pustaka ini melahirkan pula strata kelas dalam sastra, yang di mana sastra terbitan Balai Pustaka dinilai lebih superior daripada karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka yang di mana dinilai sebagai sastra kelas rendahan yang hanya menggunakan Bahasa Melayu sederhana yang hidup sebagai Bahasa sehari-hari dalam perdagangan antar pulau di Indonesia. Sedangkan karya sastra terbitan Balai Pustaka dinilai sebagai karya sastra yang serius dengan menggunakan Bahasa Melayu tinggi dan diperuntukkan pengetahuan tertentu untuk memahaminya lalu diasumsikan sebagai “Yang diperuntukkan bagi kaum pribumi berpendidikan”.
Perkembangan sastra populer di Indonesia mengalami fase naik turun. Pada masa pendudukan jepang (1942-1949) sastra populer di Indonesia mengalami surut karya yang diakibatkan pergolakan sosial politik, pada masa pendudukan jepang ini tidak banyak yang terdeskripsikan lebih lanjut mengenai perkembangan sastra populer. Gejala ledakan sastra populer sendiri dimulai pada tahun 70-an, Jako Sumarjo (1982: 37-39) menjelaskan bahwa istilah ‘sastra populer’ mulai lazim dipakai pada tahun 70-an lewat suksesnya novel Karmila (Marga T.) dan Cintaku di Kampus Biru (Asyhadi Siregar). Hal ini ditandai dengan semakin besarnya jumlah pembaca sastra dengan latar belakang sekolah menengah dan perguruan tinggi. Pembaca sastra populer ini kebanyakan adalah perempuan remaja dan ibu rumah tangga. Lalu terjadi gairah baru dalam akhir tahun 1990-an awal 2000-an dalam dunia sastra populer. Lahirnya chicklit, teenlit, sastra wangi, dan sastra pop-islami. Sebuah gerakan baru terhadap perkembangan sastra populer di Indonesia, fenomena ini semakin mengukuhkan sastra populer yang masih memiliki penikmat. Dengan semakin meledaknya sastra yang dianggap ‘tidak serius’ ini mulai menjadikan sastra tersebut semakin populer di kalangan masyarakat. Namun polemik dari para penggiat sastra yang menilai bahwa kata ‘populer’ dinilai sebagai kata yang rendahan, dan murahan hal ini menjadikan citra dari sastra populer tersebut tidak luput dari kritikan para penggiat sastra. Fenomena tersebut semakin mengukuhkan adanya posisi hierarki sastra yang berpegang teguh pada sastra serius yang dinilai sebagai sastra yang luhur dan monumental. Pengklaiman terhadap sastra serius yang dinilai lebih memiliki porsi yang banyak guna di kaji secara akademis ini telah secara tidak langsung seperti menganak-terikan sastra populer yang dinilai hanya memberikan hiburan semata. Fenomena tersebut juga seakan menjadikan lahirnya pengkultusan terhadap sastra serius yang dinilai memiliki sebuah keistimewaan dan keluhurannya dalam menawarkan gagasan yang bukan hanya sebatas imajinatif saja.
Budi Darma (2004) sastra populer selalu diidentikkan dengan karya yang hanya mengedepankan hiburan belaka. Sastra hiburan dianggap tidak sah untuk dikaji secara serius karena hanya menawarkan hiburan semata. Fenomena pengotakan sastra ini pun masuk dalam ruang lingkup akademik. Pengkotakan Sastra populer ini tak jauh dari sebuah bentuk kelas sosial, yang dimana sastra serius akan mendapatkan kelayakan dalam ruang lingkup akademik, tetapi sastra populer akan memiliki porsi yang lebih sedikit untuk difokuskan dalam ruang lingkup akademik. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang di mana kritik sastra terutama terhadap sastra populer masih minim ditemukan dalam sejarah sastra Indonesia, karena anggapan stereotip terhadap sastra populer yang dinilai tidak memiliki keseriusan dan hanya berisi kecenderungan hiburan. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat (Barthes,1987), teks haruslah tetap dipandang sebagai teks. Ia bebas ditafsirkan sebagai sastra. tanpa perlu ditempatkan kuberkutuan dan kesahihannya. Hal semacam ini semakin menghadirkan corak dari adanya kelas-kelas dalam sastra. Sastra populer yang dianggap murahan dan sering terpinggirkan nyatanya memiliki banyak penikmat dari kalangan masyarakat ataupun dari kalangan sastra itu sendiri. Para penikmat sastra populer ini didasari atas kebutuhan hiburan dan pelarian dari pekaknya situasi sekitarnya. Kesederhanaan dan kemudahan mengakses pengetahuan untuk memahami sastra populer setidaknya menjadi beberapa alasan dari banyak nyai penikmat sastra populer ini. Berbeda dengan metode pemahaman sastra serius yang sering kali harus mengacu terhadap pengetahuan yang aksesnya sulit didapatkan oleh masyarakat. Maka secara tidak langsung kritik terhadap penikmat sastra populer dan karya sastra populer merupakan sebuah bentuk penindasan terhadap kelas-kelas yang kesulitan dalam mendapatkan akses pengetahuan untuk memahami sastra serius.
Pada akhirnya problem antara sastra populer dan sastra serius ini agaknya sulit untuk diselesaikan tanpa kesadaran dari para penggiat sastra, ataupun seseorang yang berada dalam ruang lingkup sastra di ranah akademik. Tugas utama dari kritik adalah bukan condong terhadap penyuburan karya sastra serius. Pandangan kritik perlu diarahkan kepada sastra populer, tetapi bukan jadi malah menimbulkan persepsi sastra populer sebagai musuh kritikus. Sudah seharusnya kritikus dituntut untuk berbaur dengan sastrawan populer, guna memberikan penerangan terkait problem-problem sosial untuk kemudian diaplikasikan dalam sastra populer. Secara tidak langsung dua arus sastra ini saling beriringan, saling memberikan andil dalam perkembangan sastra di Indonesia khususnya andil dalam mengenalkan bentuk sastra terhadap masyarakat. Sastra populer masuk dengan kesederhanaan isi dan hiburannya berhasil dinikmati masyarakat yang kesulitan dalam akses pengetahuan. Sastra serius yang masuk dalam ranah lebih serius ini memiliki andil dalam segi kelahiran para pengarang-pengarang luar biasa di Indonesia. Tanpa hadirnya sastra serius pada sejarah sastra Indonesia, dunia sastra di Indonesia tidak akan terlihat semegah hari ini, di samping itu tanpa kehadiran sastra populer dalam sejarah sastra Indonesia para masyarakat yang kesulitan akses pengetahuan akan kesulitan menemukan bentuk dari sastra itu bagaimana. Andil keduanya memiliki peranan penting dalam perkembangan sejarah sastra di Indonesia. Maka eksploratif kritik sastra populer dalam ranah akademik agaknya perlu dibebaskan secara luas, tidak hanya mengagung- agungkan sastra serius karna memiliki nilai esensial yang lebih dari sastra populer, tetapi lebih kepada bagaimana menerima sastra populer sebagai sebuah arus sastra yang seharusnya diperhitungkan. Lebih tepatnya adalah dengan tidak mereduksi kebermanfaatan sastra populer dengan kritik yang lebih kepada penyudutan sastra populer yang hanya karna dinilai menawarkan hiburan semata. Keseriusan dalam pengkajian sastra populer dalam ranah akademik juga perlu lebih diperhatikan agar tidak terjadi sebuah hegemoni akademik yang efeknya akan selalu berpacu terhadap pemahaman sastra serius dan mengesampingkan eksplorasi sastra yang telah mengalami perkembangan akibat arus globalisasi ini, seyogyanya hal ini harus menjadi tugas utama para kritikus sastra agar lebih bersifat adil tidak meluhurkan sastra serius agar tidak melahirkan bentuk kelas-kelas dalam sastra.
Karena sejatinya fungsi sastra menurut Horace (dalam Tageuw, 1998) sebagai dile eta untili, menghibur dan bermanfaat. Maka tidak sah-sah saja jika sastra populer yang dinilai hanya berisikan hiburan dan menawarkan sedikit kebermanfaatan, karena sejatinya sastra populer masih menjadi daya tarik magis dalam masyarakat sedikitnya memahami bentuk karya sastra itu seperti apa, walau berangkat dari sastra populer.
Daftar Pustaka
Barthen, Roland (1987). “Theora of Ext.”, dalam Robert Young, Unting The Ext.: A Pos- Structuralist Radar. London dan New Yori: Routledge dan Kesan Paul.
Darma, B. (2004). Pengantar teori sastra. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarjo, Jako. “Sastera Populer dan Pengajaran Sastera”, dalam Basis no. 5, Th. XXXI, Mei 1982.
Yovanta, A. (2014). Kritik Sastra dan Sastra Populer. Diakses pada 19 Juni 2023, dari https://indoprogress.com/2014/06/kritik-sastra-dan-sastra-populer/
Dewojati, C. (2021). Sastra Populer Indonesia. UGM PRESS.
Teeuw, A. (1998). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Giri Mukti.
Muhammad Zaiden, +6287882543306, @Sir.aden (Instagram).