Sekilas Antropolinguistik dalam Naskah Drama “Senandung Semenanjung” Karya Wisran Hadi

16/07/2024

 

Naluri manusia memiliki imajinasi yang akan melahirkan sebuah karya sastra. Namun, bukan berarti karena adanya perspektif dan pola pikir tersebut karya sastra tidak mempunyai arti apa-apa bagi kehidupan. Energi yang terkandung dalam karya sastra mampu menggerakkan titik acuan dari bahasannya yakni perasaan manusia untuk hal yang terkhusus dalam kehidupan. Oleh karena itu, banyak ibrah yang bisa di petik dari sebuah karya sastra. Pada hakikatnya, karya sastra memang suatu karya fiksi yang bersifat imajinatif, sebaliknya tidak dapat dipungkiri yang hakikatnya dalam karya sastra terdapat bahasa yang menjadi jembatan penghubung dalam memaknai isinya. Tercakup aspek pengetahuan dengan kata lain sebagai inspirasi dengan tujuan cermin  tentang persoalan manusia, sosial dan intelektual berujung untuk mengimplementasikan karya sastra sebagai cerminan atau pandangan masyarakatnya.

Dengan begitu, karya sastra tidak secara langsung bisa membangun fisik. Melainkan karena hal itu karya sastra mampu mengontrol manusia untuk membangun dunia. Sastra adalah ilustrasi dari beretika atau tidaknya suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat peradaban dunia  yang digambarkan dalam karya sastra maka akan berbanding lurus dengan tingginya peradaban bangsa itu yang sebenarnya secara nyata. Karya sastra merupakan buah yang berpangkal dari imajinatif dan berpuncak pada kenyataan. Maka dari itu, tidak heran jika gemerlap kilaunya peradaban dunia tidak akan lepas dari warisan karya sastra sebagai bukti yang relevan atas cerahnya peradaban tersebut. 

Beriringan dengan hal tersebut, Hippolyte Taine (dalam Fananie, 2000) menyatakan bahwa karya sastra tidak hanya sekadar fakta imajinatif dan bersifat pribadi, melainkan juga merupakan cerminan imajinatif dan budaya sebuah perwujudan pola pikir tertentu pada saat karya tersebut dilahirkan. 

Sementara itu pendapat lain dipertegas oleh Goldmann (dalam Endaswara, 2003) yang mengemukakan bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktural yang bermakna. Semua aktivitas merupakan respons dari subyek tertentu, kreasi untuk memodifikasi atau menginovasi kan keadaan yang ada supaya sejalan dengan argumentasinya. 

Salah satu karya sastra yang merupakan cerminan masyarakat adalah naskah drama "Senandung Semenanjung" karya Wisran Hadi. Naskah ini diadopsi dari buku yang berjudul Empat Lakon Orang Melayu yang diterbitkan oleh Angkasa Raya, Bandung pada tahun 2000. Naskah drama ini juga sekilas menyinggung tentang antrolinguistik yang dikemas dengan tersirat sehingga berhasil membuat pembaca, pengarang dan masyarakat terlibat di dalamnya sekaligus ,menarik struktur, aspek dan unsur karya sastra. Antroplinguistik merupakan cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki penggunaan bahasa dalam antropologi budaya. Bahasa merupakan salah satu fenomena budaya. Jika dilihat dalam naskah “Senandung Semenanjung” ini terdapat cakupan bahasa melayu yang ditampilkan tokoh untuk identitas masyarakat Melayu.  

Wisran Hadi adalah seorang sastrawan kritis terhadap berbagai hal seperti politik, ekonomi, budaya serta kehidupan sosial masyarakat. Melalui karya-karyanya, Wisran Hadi berani mengkritik bukan hanya mengibaratkan seniman-seniman yang memberontak dan mengabaikan masyarakat, tetapi juga dengan menonjolkan aspek budaya, sosial dan militer sebuah masyarakat. Sebagai contohnya yaitu tindakan kudeta dan monopoli kekuasaan sebagaimana yang dikisahkan dalam naskah drama "Senandung Semenanjung". 

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dirasa sangat bermanfaat untuk menganalisis naskah drama "Senandung Semenanjung" dari pandangan pembaca, masyarakat yang berkaitan erat dengan nilai-nilai moral, sosial-budaya yang terdapat di dalamnya. Naskah drama "Senandung Semenanjung" mengulik secara dalam mengenai budaya Melayu yang kental dengan kearifan lokal dari segala aspek karya sastra. Sehingga karya sastra tidak akan diragukan lagi setiap unsurnya lebih memperkuat satu sama lain dalam membangun bangsa sebagai salah satu aspek karya sastra yaitu aspek pengetahuan. Bagaimana aspek pengetahuan tentang sejarah dan budaya dapat mempengaruhi sebuah karya sastra? Karena pengetahuan ini mampu menciptakan latar belakang yang kaya dan autentik. 

Masalah-masalah yang dituangkan bermaksud dengan rinci untuk menyajikan cerita yang dibayangkan lewat segala aspek karya sastra terutama hal yang bersinggungan dengan bahasa, budaya, dan masyarakat. Ditinjau dari segi aspek yaitu : (1) Pengetahuan (Inspirasi) yang mengandung wawasan umum tentang persoalan manusia (pengarang), sosial (masyarakat) dan intelektual (pembaca) yang pada umumnya berisikan manfaat ; (2) Pemikiran Imajinatif (kreatif dan inovatif,) dan  (3) Model Bahasa (ungkapan dan ujaran). Untuk memahami naskah drama "Senandung Semenanjung" bisa melalui segala aspek. Mengapa demikian? Karena setiap bagian apa saja yang dibahas akan saling membangun kokoh masalah sebab akibat dalam ceritanya. 

Plot atau alur adalah hubungan kausalitas yang berawal dari sebab sebuah peristiwa dalam karya sastra guna mencapai klimaks tertentu. Alur juga disebut dengan rangkaian cerita yang talinya terjalin dari kerumitan masalah menuju puncak cerita dan berakhir dengan ide ditemukannya penyelesaian. Dalam tahapan alur dalam naskah drama "Senandung Semenanjung" dihimpun dengan mewakilkan perwatakan tokoh yang berperan untuk mewarnai cerita. Pengarang mengawali alur dalam naskah drama "Senandung Semenanjung" berupa orientasi yang berisi nyanyian-nyanyian atau dalam bahasa Melayu biasa disebut dengan istilah "Senandung". Masing-masing bagian dari cerita ditulis dengan bahasa Melayu yang tanpa disadari telah memberikan petunjuk bagi para pembaca untuk memutar pemikiran mereka. Wisran Hadi berupaya menghidupkan kembali mitologi dan budaya melayu dalam bentuk baru namun tetap berlandaskan pada masyarakat dalam naskah drama "Senandung Semenanjung" ini. Bahagian pertama nyata telah menggambarkan keseluruhan isi cerita selanjutnya. Hal menarik dan uniknya naskah drama "Senandung Semenanjung " ini dilagukan oleh tokoh yang nantinya memerankan perannya dalam cerita. Pembahasan berlanjut dengan konflik. Perlahan-lahan semua konflik secara beruntun terungkap oleh masing-masing tokoh yang membawa masalah-masalah yang berbeda akibat pembawaan karakter atau perwatakan dalam diri si tokoh. Kedua tokoh sentral dalam cerita ini misalnya, Hang Tuah terus mencoba menasihati dan menyadarkan saudaranya Hang Jebat yang selalu berteriak-teriak ketika tidur karena mimpinya mengenai ular-ular yang mengganggu kerajaan. 

Oleh sebab itu, Pengarang mentransformasikan alur cerita dengan membangkitkan kembali nilai-nilai lama dan mitologi Melayu dari tokoh ini yang memiliki karakter licik, angkuh, mudah berprasangka buruk kepada orang lain. Dalam artian berpura-pura melindungi serta menyelamatkan kerajaan dari busuknya pengkhianatan dirujuk dari kata "ular-ular".  Keinginan merebut kekuasaan dari tangan raja disimbolkan  dengan makna tersurat dari "ular-ular" tersebut. Dalam hal ini, Pengarang ingin menyampaikan secara tersirat alur cerita dari perwatakan tokoh. Disisi lain, secara tersurat juga dari dialog dan perbuatan tokoh Hang Jebat yang mengatasnamakan keselamatan kerajaan meskipun  tersimpan niat terselubung. 

Tokoh dalam naskah drama "Senandung Semenanjung" tak kalah bisa mengulik secara drama ini untuk mengetahui alur ceritanya. Salah satu tokoh dalam naskah "Senandung Semenanjung" yaitu Yang II (sebagai Datuk Bendahara) memikul masalahnya dengan begitu banyak kekhawatirannya bahwa akan terjadi malapetaka yang menimpa negeri. Adat tidak lagi selaras dengan tuntunan ajaran agama dan berkiblat ke barat akibat jajahan oleh kebudayaan lain. Masyarakat tidak lagi berpegang teguh pada adat istiadat budaya Melayu. 

Sementara itu, Dang II (sebagai Dang Merdu) adalah tokoh dengan pengabdiannya sepenuh hati kepada Hang II (sebagai Hang Jebat) akan tetapi ia malah di fitnah telah berkhianat dan memberontak. Tokoh lainnya Yang II (berperan sebagai Fatih) dalam cerita ini ditonjolkan sikap tanggung jawab seorang yang berkeinginan mengembalikan kekuasaan raja dan menyelamatkan kerajaan. 

Ada pun Tun II (berperan sebagai Tun Kudangsa) melakukan hal yang sama bentuk pengabdiannya kepada raja yang ingin mengusir Hang Jebat yang dianggap sebagai pengkhianat kerajaan dan berniat ini menjatuhkannya. Konflik demi konflik terus saja muncul dan memuncak. Pengarang mengakhiri segala konflik yang terjadi di atas pentas yang menewaskan salah seorang tokoh. 

Klimaks kembali dihadirkan dalam cerita melalui tokoh yang ingin membakar amarah rakyat sehingga mendapatkan reaksi yang buruk dengan pembunuhan sebagai balasannya. Tetapi, dampak tersebut berimbas kepada Hang Jebat. Dari situ rakyat mulai menyadari bahwa Bang Jebat pantas dibela. Penyesalan berakhir dengan ungkapan pesan terakhir Hang Jebat untuk Negeri tercinta sebelum ia meninggal dunia. 

Karakter biasanya bertolak ukur dari kepribadian, emosi/perasaan, perbuatan, guna membentuk tokoh dalam cerita. Penokohan akan lengkap jika ada karakter, jika tidak maka tokoh akan mati tanpa nyawa berkesinambungan dengan plot, yang nantinya akan berefek pada perubahan tidak hanya pada diri tokoh tapi juga pada pembaca.

Tokoh dalam naskah "Senandung Semenanjung" terdiri dari 19 orang tokoh yang memerankan peran aktif tentunya dengan perwatakan yang kompleks. Hang Tuah dan Hang Jebat dipusatkan sebagai tokoh sentral. Dan beberapa tokoh lainnya, Datuk Bendahara, Dang Merdu, Tun Dikungsa, Patih, dan masih banyak lagi sebagian tokoh sampingan.  

Kentalnya budaya Melayu mencerminkan ciri khas yang menarik perhatian banyak orang untuk membaca naskah drama ini. Banyak penghargaan kekayaan yang diwariskan oleh budaya Melayu salah satunya yaitu karya sastra. Naskah "Senandung Semenanjung" merupakan realitas relevan untuk menjelajah kearifan lokal budaya Melayu. Merujuk pada nilai-nilai budaya, tradisional, militer/pemerintahan serta bahasa. Peran budaya lokal amat penting guna membangun dan membentuk identitas kehidupan bermasyarakat. Sebagai jejak yang mengangkat elemen kaya sebuah karya.

Bahasa yang digunakan Pengarang dalam naskah "Senandung Semenanjung" dilihat dari ungkapan bahagian, penyamun-penyamun, geladak, belakon, dan terkapar untuk memperjelas budaya Melayu. Pengarang memanfaatkan properti- properti sebagai simbol-simbol yang ikut turut serta membangun cerita. Properti tersebut didominasi oleh warna kuning dan merah yang melambangkan kerajaan melayu. Kuning melambangkan kekuasaan dan merah pada selendang Hang Tuah melambangkan keberaniannya untuk mengembalikan kekuasaan raja dari tangan Hang Jebat. 

Naskah drama ‘Senandung Semenanjung” memiliki struktur, aspek, dan unsur yang kokoh sehingga satu amat lainnya saling berhubungan amat erat dalam membangun sebuah rangkaian cerita. Ketidakadaannya bagian dari salah satunya maka cerita akan menjadi tidak utuh. Aspek karya sastra yang digambarkan tersirat untuk pembaca sekilas mengenai antropolingustik yang terselubung dalam aspek karya sastra yang didukung penuh dari unsur-unsur cerita. 

DAFTAR PUSTAKA
Azwar. 2016. Artikel Kearifan Lokal Masyarakat Melayu dalam Naskah Drama “Senandung Semenanjung”. Jakarta.


Maryatul Kuptiah, mahasiswa aktif jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Hobi menulis puisi dan artikel. Saat ini sedang bergiat di Labor Kepenulisan Kreatif FIB Unand. Telah menerbitkan sebuah novel yang berjudul "serapuh ranting patah". 
@xo.iaa_