Saat Matdon gencar mosting buku barunya yang berjudul Kisah-Kisah Tak Penting di media sosial beberapa hari lalu, hati kecil saya langsung berkata, “Itu pasti dusta!”. Eh benar saja, tak berselang lama, saya dapat kiriman pesan darinya via WhatsApp. Ia menyebutkan, buku ini berisi kisah nyata dan ia sama sekali tak menyebutkan, buku ini berisi kisah-kisah tak penting.
Sepertinya, ia tak berani menyebutkan buku ini benar-benar berisi kisah-kisah tak penting, setidaknya kepada saya. Barangkali ia tahu, kisah-kisah di dalam bukunya ini bisa jadi sangat penting bagi saya.
Sebelum menjadi guru, cita-cita saya dulu memang ingin jadi wartawan. Pernah sekali coba melamar ke salah satu redaksi koran ternama saat itu. Beberapa tahapan tes berhasil lulus dengan gemilang. Sayangnya, pada tahap pengisian kuesioner, tiba-tiba otak saya beku. Jari jemari tangan kaku. Tak bisa menuliskan sesuatu. Pasalnya, ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu, yaitu “Apakah Anda memiliki saudara/rekan/kolega di sini? Jika ada sebutkan!”
Alamak! Pertanyaan macam apa pula itu? Jelas-jelas, saya melamar sendirian. Tak ada “beking-bekingan”. Dengan sedikit menggerutu, saya remas dan buang lembar kuesioner itu, lalu keluar kantor redaksi. Sejak detik itu, saya kubur dalam-dalam cita-cita jadi wartawan.
Mungkin bakal lain ceritanya, jika saat itu saya bertemu Matdon di pojokan gedung. Lalu, ia tiba-tiba mengajak saya ngopi merek MSB dan ngobrol tentang dua wartawati yang datang ke ruang wartawan di Mapolwiltabes Bandung, dan menyatakan ingin meliput di sana.
Kisah dua wartawati itu ada di halaman 19 buku ini. Judulnya, Melamar jadi Wartawan. Sungguh, saya langsung tertawa geli usai membacanya. Oalah, ternyata ada juga ya wartawan yang suka mengisengi wartawan/calon wartawan lain pakai gaya aktual dan faktual macam jargon siaran berita? Penasaran? Baca saja sendiri ceritanya di buku ini. Hey! Jangan-jangan, dulu pun saya termasuk korban keisengan mereka. Tahu begitu, lembar kuesioner itu pastilah takkan saya buang ke tong sampah di parkiran.
Jujur, membaca semua kisah di dalam buku Kisah-Kisah Tak Penting karya Matdon ini, seperti membuka kotak Jumanji berulang-ulang. Sementara itu, kata pengantar yang ditulis Bode Riswandi sebagai mata dadunya, yakni pembuka gerbang menuju sejuta teror sarat nutrisi.
Lah, kok bisa? Ya bisa lah. Apa sih yang tak bisa di negeri ini? Abah Opik saja bisa beli kangkung satu beca tanpa ia sadari (Lihat judul Beli Kangkung Sebeca). Atau, massa beda parpol era sebelum reformasi saja bisa akur saat sedang mengantarkan jenazah untuk kampanye (Lihat judul Kampanye dan Jenazah). Satu lagi, masa hukuman beberapa koruptor pun bisa didiskon gede-gedean macam obral celana dalam di emperan (Eit! Maaf, kisah ini mah tak ada di buku ini). Nah, ibarat kata, kata pengantar di buku ini adalah suntikan vaksin dosis dua kali kala pandemi, sebelum virus kisah-kisah teror bernutrisi diserap jaringan-jaringan tubuh.
Pegang dada saya! Detak jantung saya masih berdebar-debar setelah membaca “kisah-kisah tak penting” ini. Kalau tak percaya, tanya saja Matdon yang sudah diteror Agus dan Euis dengan kartu undangan pernikahan (Lihat judul Jodoh di Angkot) atau tanya juga Willy Fahmi yang berhasil diteror Ahda dan Matdon dengan legalisir ijazah (Lihat judul Pertemuan Sastrawan dan Ijazah). Terakhir, kalau masih belum percaya detak jantung saya berdebar-debar, tanya saja puisi yang diteror habis-habisan oleh hujan dan sepi dengan setrum, “Aaaaa…..Allahu Akbar!” (Lihat judul Baca Puisi dan Hujan).
Barusan, buku ini baru saja saya tutup. Entah mengapa, di dalam dendang telinga saya terus terngiang-ngiang kalimat terakhir di halaman 49, “Hadirin sekarang kita dengar grup musik dari Bandung, Matdon Band.”
Alamak! Matdon Band, sekarang mulai meneror saya!*
HN, 7 Agustus 2021
Heri Nurdiansyah seorang guru SMP Al-Irsyad, Padalarang, Bandung.
*Referensi:Kisah-Kisah Tak Penting karya Matdon, Wartawan dan Penyair (Langgam Pustaka, 2021)