Tiang Gantungan sebagai Simbol Otoritas dalam Drama Bulan Bujur Sangkar

07/10/2024

 

Drama "Bulan Bujur Sangkar" karya Iwan Simatupang, pada awalnya berjudul "Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar". Ditulis tahun 1957. Ia menulisnya karena terinspirasi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), di tahun 1950-an, terutama di daerah Sulawesi dan Sumatera.

Pemberontakan ini awalnya dipicu oleh ketidakpuasan militer di Sumatera dan Sulawesi terhadap pemerintah pusat.  Mereka merasa alokasi dana pembangunan kala itu tidak adil dan merata. Selain itu, mereka juga memiliki keinginan akan otonomi daerah.

Ketidakpuasan ini kian memuncak saat terjadi pengurangan pasukan di angkatan darat. Ini membuat sebagian militer di daerah merasa dicampakkan. Akibatnya, mereka yang  merasa terhina. Padahal mereka yang di daerah-daerah, juga turut berjuang untuk negara Indonesia. Bukan mereka yang ada di pusat saja.

Dalam kurun waktu Desember 1956 hingga Februari 1957, ketidakpuasan ini menghasilkan pembentukan dewan perjuangan daerah. PRRI resmi berdiri pada 15 Februari 1958 di Padang, Sumatera Barat. Sementara Permesta sudah ada sejak 2 Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pusat operasi utama di Manado, Sulawesi Utara.

Pada dasarnya, PRRI dan Permesta adalah bentuk protes terhadap sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Kekuasaan yang dianggap tidak memperhatikan daerah-daerah lain seperti Sumatera dan Sulawesi. 

Simbolisme Tiang Gantung
Dalam konteks drama "Bulan Bujur Sangkar", simbolisme tiang gantung dapat dikaitkan dengan otoritas negara. Adegan pembuka memperlihatkan tokoh orang tua yang sibuk menyiapkan tiang gantung. Saya memandang ini sebagai lambang kekuasaan, atau hukum yang dilegitimasi oleh otoritas dalam masyarakat.

Tokoh orang tua ini berperan sebagai sosok yang memiliki kendali atas hidup orang lain. Dapatkan dikatakan, mencerminkan negara yang berwenang menggunakan kekerasan secara sah. Kesibukannya mempersiapkan tiang gantung, menggambarkan sistem yang represif. Di mana, tindakan kekerasan dianggap sebagai solusi atau bagian yang harus ditaati.

Berikut penggalan adegan dan kalimat dalam drama ini:

ORANG TUA (Sibuk Menyiapkan Tiang Gantungan).

”Kau siap. Betapa megah. Hidupku seluruhnya kusiapkan untuk mencari jenis kayu termulia bagimu. Mencari jenis tali termulia. Enam puluh tahun lamanya aku mengelilingi bumi, pegunungan, lautan, padang pasir. Harapan nyaris tewas. Enam puluh tahun bernafas hanya untuk satu cita-cita. Akhirnya kau ketemu juga olehku. Kau kutemukan jauh di permukaan laut. Setangkai lumut berkawan sunyi yang riuh dengan sunyinya sendiri. Kau kutemui jauh tinggi. Sehelai jerami dihimpit salju ketinggian, yang bosan dengan putihnya dan tingginya. Kau siap! Kini kau bisa memulai faedahmu!”

Kemudian, masuk tokoh anak muda dengan tampang liar, serta membawa senjata. Saya melihat ini sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Selanjutnya, muncul dialog antara orang tua dan anak muda tentang kehidupan dan kematian. Dialog yang mencerminkan konflik antara kekuasaan otoritatif dan keinginan individu untuk bebas.

Berikut penggalan adegan dan kalimat dalam drama ini:

MASUK PEMUDA, BERTAMPANG LIAR, LETIH, DAN MENENTENG MITRALIUR. IA KAGET, MELIHAT TIANG GANTUNGAN DAN ORANG YANG BERDIRI TENANG DI SAMPINGNYA. IA MENODONGKAN MITRALIURNYA.

ORANG TUA

”Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing. Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan atau yang dimatikan.”

ANAK MUDA

”Maksud Bapak?”

ORANG TUA

”Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan.” (Ia bisa mengambil mitraliur dari tangan anak muda)

Penggalan adegan dan kalimat di atas, memperlihatkan bagaimana tokoh orang tua memperingatkan tokoh anak muda, agar tidak tergesa-gesa. Orang tua memberitahunya bahwa dalam pertentang antara kekuasaan dan individu, ada aturan atau peran yang harus dimainkan.

Dialog mereka menjorok pada gagasan tentang siapa yang harus memegang kendali. Apakah pelaku yang berkuasa atau korban tunduk? Ini terlihat dalam adegan, di mana tokoh orang tua mengambil alih senjata dari tokoh anak muda.

Pandangan Kant dan Aristoteles
Untuk memahami simbolisme “tiang gantungan” ini lebih dalam, kita bisa merujuk pada pandangan Immanuel Kant dalam Perpetual Peace. Kant menyatakan bahwa menjadi warga negara yang patuh pada hukum dan menjadi individu baik secara moral tidak selalu berkaitan

Baginya, tujuan negara adalah mengatur perilaku warga negara, agar sesuai dengan hukum.  Bahkan, ketika individu  tidak menjadi orang yang bermoral secara pribadi. Bahasa gampangnya, negara berfungsi untuk menegakkan hukum, tanpa harus menilai karakter moral individu.

Sebaliknya, Aristoteles dalam Politics memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, negara memiliki tanggung jawab untuk membentuk individu  menjadi lebih baik secara moral melalui pembiasaan dan tindakan yang benar. Ini berarti negara hanya ghaesu memastikan ketaatan pada hukum, tapi bertanggung jawab atas perkembangan moralitas warga negaranya.

Perbedaan mendasar antara Kant dan Aristoteles terletak pada pendekatan terhadap hubungan antara hukum dan moralitas. Bagi Kant, pembiasaan tidak cukup sebagai dasar kebajikan moral karena keputusan moral harus didasarkan pada rasionalitas yang lebih tinggi. 

Sementara itu, bagi Aristoteles, pembiasaan dan tindakan yang benar dapat membentuk kebajikan moral seiring waktu, sehingga negara memiliki peran aktif dalam membentuk karakter moral individu.

Dalam konteks drama "Bulan Bujur Sangkar", simbol “tiang gantungan”, bisa dilihat sebagai gambaran dari kekuasaan negara yang memiliki otoritas untuk menentukan nasib seseorang berdasarkan hukum yang berlaku.

Melalui analisis ini, saya berusaha mengkaji pesan yang ingin disampaikan oleh drama ini.  Saya menemukan bahwa Iwan ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya kebebasan dan perjuangan melawan kekuasaan yang tidak adil.


Muhammad Ridwan Tri Wibowo, mahasiswa PBSI UNJ 2022.
IG: @mridwantw