TIKI-TAKA DI HALAMAN GANJIL
Entah malam atau siang, kala itu, kopi terasa begitu nikmat. Bukan pasal seduhan kopinya saja, melainkan juga karena tontonan tiki-taka peragaan para pemain Barcelona selalu menyajikan sesuatu yang membuat hati penggemarnya kelojotan.
Dalam ingatan kita, tiki-taka masih begitu segar. Guardiola menyempurnakan gaya permainan itu dan membawa Barcelona menyabot 14 trofi termasuk dua trofi Liga Champions pada medio 2008-2012. Sontak, gaya permainan ini menyita perhatian para penggemar sepak bola dunia dan menuai banyak pujian.
Saya yang tak terlalu mahir memainkan Si Bundar itu melihat tiki-taka sebagai gaya permainan yang sama sekali tidak berusaha menggerakkan bola, tetapi lebih pada tenung umpan-umpan pendek yang berusaha menggerakkan lawan ke arah yang direncanakan. Setelah itu, tanpa diduga, bola sudah berada di area yang tak bisa diprediksi. Arah dan area yang diciptakan tiki-taka ini hanya bisa diciptakan oleh pemain dengan intelegensi, skill, dan stamina yang prima.
Pola permainan tiki-taka juga pernah coba diadopsi oleh Timnas Indonesia. Kita juga tentu masih ingat dengan peristiwa 30 November 2011 lalu ketika Timnas Indonesia Selection melakukan laga persahabatan dengan LA Galaxy. Saat itu, para pemain Timnas mencoba memperagakan permainan tiki-taka yang membuat pemain kelas dunia, David Beckham sempat dibuat pusing. Tak ayal, ia melayangkan tackling keras terhadap Andik Vermansyah. Rupanya, dalam permainan itu, simple football kerepotan menghadapi tiki-taka yang coba diperagakan Andik dan kawan-kawan.
Saya sebagai penikmat sepak bola yang juga penikmat puisi, melihat R. Abdul Azis menjadi seorang striker dalam pola permainan tiki-taka puisi-puisinya. Mengapa saya mengatakan demikian, karena membaca Halaman Ganjil tak akan lepas mata sebelum syair usai, seperti menonton tiki-taka. Jika masih mungkin, saya akan menyebut puisi-puisi RAA: mengganjilkan, genapnya datang kemudian.
Mengganjilkan yang saya maksud adalah bahwa puisi-puisi RAA ini memberi umpan kepada kita sebagai pembaca dengan diksi/kata yang pendek-pendek seperti tiki-taka. Kemudian, ia menempatkan makna pada ruang-ruang penafsiran yang tak terduga, seperti tiki-taka. Dia sebagai penyair, begitu mudah menceploskan isi ke dalam gawang perasaan setiap pembacanya. Kemudian.
Kita tonton puisi RAA ‘Nama Kecil’.
NAMA KECIL
dalam doa harianku
yang cuma sebisa-bisa
ada nama kecil
juga cinta subtil
semoga ya semoga
keduanya menepi di sana
di langit yang tenang
di bumi yang riang
HG, hlm 4.
Pada permainan puisi di atas, bola ‘Nama kecil’ diumpankan RAA kepada pembaca dengan umpan pendek dua larik pertama: / dalam doa harianku / yang cuma sebisa-bisa //. Entah doa apa yang RAA panjatkan. Namun, sesederhana apa pun doa tentu saja memiliki tujuan khusus, luas, dan dalam. Ketika berdoa, mutlak, seseorang harus memosisikan diri sebagai hamba yang tak punya daya dan upaya. Ya, dengan ‘Cuma sebisa-bisa’ itulah RAA mengopernya. Pendek. Tiki-taka.
Larik selanjutnya: ada nama kecil / juga cinta subtil. Nama kecil diikuti cinta yang subtil muncul tiba-tiba. Nama siapakah atau apakah yang kecil itu? Kecil dalam larik pendek ini bukan benar-benar kecil, subtil dalam larik singkat ini tak berarti benar-benar subtil, melainkan sebaliknya. Saya yakin seyakin-yakinnya kalau nama dan cinta yang dimaksud RAA adalah nama dan cinta yang besar juga mulia. Lagi-lagi, kebesaran dan kemuliaan itu disepak RAA dengan umpan kata-katanya yang begitu pendek.
Nah, pada larik / semoga ya semoga / keduanya menepi di sana / di langit yang tenang / di bumi yang riang // sebuah gol indah tercipta. Setelah pembaca digiring ke tempat yang penuh tanda tanya, RAA menendang bola puisinya ke gawang pembaca, bahwa nama itu, doa itu hanya mampu ditampung bumi dan menggantung di langit. Terbukti bukan?
Kepiawaian RAA dalam menerapkan gaya tiki-taka kata-kata dapat kita temukan hampir pada semua puisi dalam antologi ‘Halaman Ganjil’ ini. Semuanya dahsyat. Namun, apakah tiki-taka kata-kata ini dapat diterapkan oleh semua penulis? Tentu saja tidak. Sekali lagi, penulis yang akan menerapkan gaya ini harus memiliki kepintaran yang tinggi, stamina yang kuat, dan skill yang mumpuni, karena sedikit saja terpeleset, fatal akibatnya. Pembaca tidak akan siap menerima umpan pendek yang tak terduga itu.
Kita tonton contoh puisi berikut.
DEKADEN
tinggal di sini
tunggal menyepi
hidup seremeh ini
kenang yang tak henti
esok mati siapa punya
esok mata siapa buka
sedikit lagi yang kita bisa
sedikit saja biar percuma
HG, hlm 8.
Menafsir puisi ‘Dekaden’ di atas, yang pertama mungkin dilakukan pembaca adalah mencari padanan lain untuk kata ‘Dekaden’. Dekaden memiliki berpadan dengan kata jatuh, merosot, mundur. Kita terima kalau jatuh, merosot, dan mundur itu sebagai umpan pendek yang harus kita terima dan mengerti. Kemudian, pembaca pasti bertanya: apa yang jatuh, mundur, atau merosot itu? Jawabannya harus ada, disiratkan pada larik-larik puisinya.
Kita anggap dua larik pertama: tinggal di sini / tunggal menyepi // sebagai bola pendek yang berarti bahwa penyair (tokoh) sedang sendirian (menyendiri, dibiarkan sendiri, merasa sendiri). / hidup seremeh ini / kenang yang tak henti // kita artikan sebagai sebuah anggapan penyair terhadap kualitas kepedulian orang lain kepada dirinya (tokoh), padahal / esok mati siapa punya / esok mata siapa buka // kita artikan bahwa tidak ada yang tahu tentang kematian, tidak ada yang tahu mata siapa yang masih terbuka esok. Ketika kematian itu datang, tentu tak ada yang bisa mengubur jasad sendiri.
Dua larik akhir, bagi saya merupakan umpan pendek tiki-taka yang paling sulit ditangkap: / sedikit lagi yang kita bisa / sedikit saja biar percuma // jika berkenan saya parafrase mungkin bunyinya begini: / sedikit lagi yang (masih) kita bisa / sedikit saja biar(pun) percuma // secara lebih gamblang: / walau tinggal sedikit lagi yang masih kita bisa / sedikit saja biarpun dianggap percuma //. Jika demikian, maka yang mengalami dekaden ini adalah kepedulian terhadap sesama.
R. Abdul Azis memperagakan tiki-tika dalam puisinya bukan berarti dia tidak terbiasa atau tidak mampu menulis puisi dengan pilihan paduan diksi yang panjang dan tidak terlalu ketat. Dalam antologi ‘Halaman Ganjil’, RAA menghadirkan ‘Gugunungan’ dengan pilihan paduan diksi yang tidak terlalu ketat.
GUGUNUNGAN
/1/
sebelum aku modar
sebelum halaman tua kereta api itu diperlebar
biar kata-kata menyusuriku kembali ke jalan riwayatmu
sebentar
karena rumah teman kecil di sisi rel, dulu
–sebut saja begitu–
mempertanyakan puisiku
/2/
dulu, kutahu, untuk menujumu
perlu memberanikan diri
menyusuri teralis besi setinggi dua orang dewasa
memisahkan pasar, rel, dan mimpi
menyusuri sederet rumah yang susah diintip
matahari
...
Sebagian puisi ‘Gugunungan’ yang saya kutip tersebut berbeda dengan puisi-puisi RAA yang lain. Diksi dalam lariknya terasa lebih terbuka, memudahkan pembaca menemukan makna, namun dengan kedahsyatan yang sama dengan puisi tiki-taka. Sekali lagi, saya katakan, tiki-taka hanya sekedar pilihan RAA saja. Dia mampu menulis puisi dengan gaya main mana saja.
Akhirnya, sampai pula pada peluit panjang tanda uraian dangkal saya terhadap puisi dalam antologi ‘Halaman Ganjil’ ini harus berakhir. Saya sebagai pembaca merasa berbahagia bisa bertemu dengan puisi tiki-taka cerdas, gol-gol yang begitu indah milik RAA. Dari ini, saya semakin yakin bahwa puisi adalah kata-kata yang padat dan di antaranya terdapat jalinan makna juga logika yang kokoh. Salam.
Yana S. Atmawiharja lahir di Garut. Saat ini sampai saat yang tidak ditentukan masih gemar berteater bersama Teater 28 dan Teater Suami Istri. Menulis naskah drama, cerpen, fiksimini dan puisi yang dimuat di beberapa media. Mengamalkan ilmu pendidikan di SMP IT Al-Faqih Manonjaya. Beberapa kali menjadi pemantik dalam seminar, workshop, dan bedah buku.
Beberapa karya yang sudah dibukukan, di antaranya, kumpulan puisi “Akhir-akhir Ini, Aku Gemar Menerka-nerka” (Langgam Pustaka, 2017), “Kampung Halaman” (Langgam Pustaka, 2018), dan kumpulan cerpen “Bagaimana Aku Kehilangan Cinta, Bagaimana Aku Menemukan Cinta” (Langgam Pustaka, 2020). Antologi puisi “Galunggung Ahung” (Langgam Pustaka, 2021) yang masuk nominasi Buku 5 Hari Puisi Indonesia. Lalu karya lainnya bisa dibaca di antologi puisi “Memotret Wajahmu, Perempuan adalah Puisi” lomba L.writersfest 2022.